Selasa, 26 November 2013

Langkah Menghadapi Penyadapan



Dalam minggu ter­akhir ini, media nasional diramai­kan berita penyadapan terhadap para pejabat In­donesia oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Australia di Jakarta.

Tanggapan dari sejumlah kom­ponen masyarakat pun ramai bermunculan, rata-rata dengan nada keras. Namun, pemerintah secara resmi baru menyampai­kan tanggapan kerasnya setelah media Australia memublikasikan keterangan paling anyar dari Edward Snowden, mantan agen Ba­dan Keamanan Nasional (NSA) AS, tentang disadapnya sepuluh pejabat tinggi Indonesia, terma­suk Presiden SBY dan Ibu Ani Yudhoyono.

Secara geografis Indonesia bercirikan negara Kepulauan, le­taknya sangat strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Secara demografis memiliki pen­duduk 230 juta orang, nomor empat terbesar di dunia. Kondisi ini membuat banyak negara ma­ju, terutama AS, Australia, dan China, berkepentingan terhadap Indonesia agar pemerintah dan rakyatnya dapat dikendalikan atau paling tidak dapat bekerja sama dengan mereka.

Karena itu, sejak kemerdekaan Indonesia, AS dan Australia tidak pernah absen dalam setiap per­gantian   pemerintahan,   selalu berusaha untuk campur tangan secara terbuka atau diam-diam. Dalam mewujudkan kepenting­annya, tentu mereka membutuh­kan data intelijen yang akurat, untuk itu penyadapan adalah cara paling gampang, cepat, dengan hasil berakurasi tinggi. Jadi, jangan pernah berharap agar me­reka   berhenti   memata-matai, termasuk lewat penyadapan.

Sebenarnya penyadapan ter­hadap pejabat atau institusi In­donesia oleh Australia sudah ber­langsung Lama Lebih intens lagi saat Timor Timur menjadi ba­gian dari Indonesia dan puncaknya pada saat dilakukan jajak pendapat tahun 1999. Pernah ter­jadi, transkrip pembicaraan an­tara seorang perwira Indonesia yang bertugas di Timor Timur dan Panglima TNI di Jakarta dipublikasikan media Australia beberapa hari sebelum pelaksa­naan jajak pendapat. Protes pun dilayangkan, tetapi tindakan intel-mengintel memang tidak akan pernah berhenti.

Sebagai negara maju, Australia memiliki kemampuan dan pe­nguasaan teknologi jauh di atas Indonesia.Fasilitas radarnya yang berkedudukan di Alice Spring, Australia Tengah, memi­liki kemampuan mengcover sebagian wilayah Indonesia.Me­reka bisa mendeteksi pergerakan pesawat tempur kita sejak me­lakukan airborne dari pangkalan udara di Madiun atau Makasar.

Pada sisi lain, suatu kenyataan kodrati bahwa Indonesia dan Australia merupakan negara te­tangga yang seharusnya hidup berdampingan secara harmoni, bersahabat dengan tulus, serta saling menghargai dan mengun­tungkan. Namun, sepanjang se­jarah kemerdekaan Indonesia, hubungan kedua negara justru sering kali diliputi masalah.

Penyebabnya, pertama jurang perbedaan kultur Barat dan Ti­mur yang cukup lebar. Kedua, mungkin karena dilatari kesama­an kultur dan kepentingan, orientasi diplomasi Australia le­bih memilih menjadi anteknya AS yang terletak nun jauh di sana ketimbang menjadi tetangga dan sahabat baik Indonesia serta ne­gara ASEAN lainnya.Kedua hal inilah yang sering menjadi pe­nyebab terjadinya gesekan antara Indonesia dan Australia.

Menatap ke depan
Globalisasi adalah proses "si­apa mengendalikan siapa". Bagi AS dan Australia, globalisasi me­lupakan peluang emas untuk bisa mengendalikan dan memanfaat­kan sumber daya serta potensi pasar Indonesia. Karena itu, me­reka akan selalu berupaya "mengglobali" kita.

Agar tidak selalu "diglobali", kita "harus" berusaha keras un­tuk pada saat yang sama meningkatkan dua kemampuan se­kaligus, yaitu kemampuan me­wujudkan "integrasi internal" agar dapat dicapai tingkat kohesivitas tinggi yang ditandai har­moni dalam keanekaragaman. Selain itu, kemampuan "adaptasi eksternal" agar mampu melaku­kan pembaruan-pembaruan dan modernisasi.Harus jujur diakui bahwa dalam kedua hal ini kita belum cukup kuat, bahkan cen­derung melemah setelah kita membuka keran kebebasan nya­ris tanpa batas saat memasuki era reformasi.

Bagi Indonesia yang memiliki kemajemukan superlebar-multidimensional, ditambah ciri geo­grafisnya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.Mem­buat kita menghadapi potensi konflik yang cukup besar dan risiko ekonomi biaya tinggi da­lam pembangunan nasional.Itu berarti, betapa beratnya per­juangan mewujudkan dua ke­mampuan di atas.Itu sebabnya Indonesia sungguh memerlukankepemimpinan nasional yang ku­at, bersih, berkarakter, berkom­petensi, serta teladan.

Dalam mewujudkan dua ke­mampuan tersebut, patut men­jadi perhatian bersama kata-kata Bung Hatta sebagai berikut: "Se­lama Indonesia belum benar-be­nar merdeka dan mandiri, ber­satu hati dengan Barat biasanya tidak akan ditolong, tetapi di­golong." Itu pula sebabnya Bung Karno tidak pernah mau me­nyerahkan pengelolaan SDA kita terhadap kaum kapitalis (Barat) selama kita belum memiliki kemampuan sendiri untuk menge­lolanya.

Kerja sama intelijen
Memang, tidak mungkin kita mengucilkan diri dari dunia in­ternasional, kita juga belum me­miliki kemampuan teknologi me­madai untuk mengelola SDA, maka kita perlu menjalin kerja sama (termasuk bidang intelijen) dengan banyak pihak, termasuk Barat. Namun, tak boleh mengor­bankan kepentingan nasional dan jangan pernah berperilaku membungkuk terhadap mereka, tetapi harus berani berdiri sama tegak. Cerita tentang Bung Karno mengancam akan meninggalkan Gedung Putih apabila Presiden Eisenhower tidak segera menemuinya dalam 15 menit, setelah beliau tersinggung karena harus menunggu cukup lama, adalah contoh konkret dari seorang pe­mimpin bangsa yang berani dan berkarakter.

Kewaspadaan tinggi adalah hal lain yang mutlak harus dilakukan karena tidak ada perang tanpa "pengelabuan" dan tidak ada dip­lomasi tanpa "intrik". Harus pula menjadi perhatian bahwa dalam perang ataupun diplomasi, akan selalu ada oknum pengkhianat, oportunis yang mencari keun­tungan pribadi sehingga tega mendukung kepentingan pihak asing ketimbang bangsanya sen­diri.(KIKI SYAHNAKRI sbg Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat), Sumber Koran: Kompas (26 November 2013/Selasa, Hal. 07)