Lagi-lagi kita
disuguhi peristiwa memalukan yang dipicu oleh persoalan yang sepele.Bentrok
anggota TNI dengan Polri di Karawang, Jawa Barat hanya karena saling pandang,
menunjukkan betapa rendahnya mental para aparat kita. Bentrok yang dipicu persoalan sepele dan terus berulang menunjukkan bahwa institusi
TNI dan Polri belum mampu melakukan pembinaan mental para personelnya. Yang ada
hanyalah solusi sementara pasca bentrok bahkan hanya bersifat
seremoni.
Bentrokan ini
menunjukkan bahwa aparat kita masih mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan
persoalan. Kekerasan sepertinya masih menjadi solusi yang benar dalam menyelesaikan persoalan. Padahal jika menggunakan
logika sederhana, aparat negara harusnya lebih mengedepankan langkah-langkah
persuasif dari tingkat bawah hingga atas. Jika langkah persuasif tidak menemukan
titik temu, tentu ada proses hukum. Apalagi jika persoalan sepele seperti
hanya saling pandang, tentu persoalan tersebut bisa diatasi dengan tidak
menyuburkan emosi.
TNI dan Polri
tentu wajib berbenah dengan beberapa peristiwa bentrokyang sering terjadi.
Pertama yang mungkin ditelaah adalah bagaimana proses pendidikan dan pembinaan.
Perlu ada pendidikan untuk menumbuhkan mental yang mengedepankan otak daripada
otot. Jika memang langkah tersebut telah diambil, akan lebih baik jika cara
pendidikan ditinjau kembali dan mempertanyakan kepada diri sendiri mengapa cara pendidikan
tersebut masih melahirkan personel yang lebih mengedepankan kekerasan. Tentu, TNI dan Polri bias menggandeng banyak tokoh pendidikan untuk merumuskan
kurikulum atau silabus pendidikan yangbisa melahirkan personel yang tidak
gampang disulut emosinya.
Selepas
pendidikan, perlu ada pembinaan dari para senior ataupun atasannya untuk
menularkan energi anti kekerasan dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Jika memang
ada anggota yang melakukan kesalahan dengan melakukan tindak kekerasan atau
bersalah secara hukum, harus ada ganjaran yang jelas bukan malah melindungi.
Inilah kultur yang tampaknya masih terbina.
Dengan alasan
semangat korsa atau institusi, anggota yang salah biasanya mendapat
"ampunan" atau bahkan dilindungi. Cara seperti ini bukan
pembinaan yang tepat, justru melakukan pembiaran tindakan yang salah.
Hal lain yang
bisa dilakukan adalah dengan melakukan kontrol. Secara berkala para pimpinan TNI dan Polri
melakukan kontrol terhadap perilaku para anggotanya. Pengontrolan ini bisa
diukur dengan cara pengawasan terhadap kegiatan anggota secara
berkala, apa yang telah anggota lakukan lalu memberikan punish terhadap anggota
yang melanggar atau memberikan reward kepada anggota yang telah melakukan
tindakan yang benar.
Dengan kontrol
secara berkala,setiap kegiatan anggota terus dipantau oleh atasannya. Jika memang hal ini telah dilakukan,
TNI dan Polri juga semestinya mengevaluasi pola kontrol anggota yang telah
dilakukan.Jika memang masih terjadi bentrok, berarti ada kontrol anggota yang
salah dan harus dibenahi.
Tentu kita ingin
melihat TNI dan Polri selalu damai dan bisa menjadi tulang punggung negeri ini dalam menjaga keamanan negeri ini. Semua niat itu
bisa dilakukan jika pucuk pimpinan kedua institusi bisa melakukan pembenahan. Kedua pucuk pimpinan harus
benar-benar menunjukkan komitmennya, karena pemimpin menjadi penentu
keberhasilan dalam sebuah perubahan. Dalam teori manajemen inovasi maupun
perubahan factor utama keberhasilan dari pemimpinnya. Nah, kapolri maupun panglima TNI harus benar-benar
memperhatikan ini.
Bentrok TNI dan
Polri jelas semakin mencoreng muka kedua institusi tersebut.Bentrok dua aparat
adalah aib bagi mereka yang semestinya dihindari.Ini momentum ketika Jenderal
Polisi Sutarman baru dilantik sebagai kapolri dan Jenderal Moeldoko yang juga
baru dilantik menjadi panglima TNI harus menempatkan persoalan pembenahan
personelnya sebagai agenda utama kepemimpinan mereka.Keduanya harus menunjukkan
komitmennya.Dan, kitayakinTNI maupun Polribisa melakukan halini demi
mewujudkan TNI dan Polri yang lebih manusiawi atau humanis.Sumber Koran:
Seputar Indonesia (20 November 2013/Rabu, Hal. 07)