Rabu, 20 November 2013

Bentrok TNI-Polri



Lagi-lagi kita disuguhi peristiwa memalukan yang dipicu oleh persoalan yang sepele.Bentrok anggota TNI dengan Polri di Karawang, Jawa Barat hanya karena saling pandang, menun­jukkan betapa rendahnya mental para aparat kita. Bentrok yang dipicu persoalan sepele dan terus berulang menunjukkan bahwa institusi TNI dan Polri belum mampu melakukan pembinaan mental para personelnya. Yang ada hanyalah solusi sementara pasca bentrok bahkan hanya bersifat seremoni.

Bentrokan ini menunjukkan bahwa aparat kita masih mengede­pankan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Kekerasan sepertinya masih menjadi solusi yang benar dalam menyelesaikan persoalan. Padahal jika menggunakan logika sederhana, aparat negara harusnya lebih mengedepankan langkah-langkah persuasif dari tingkat bawah hingga atas. Jika langkah persuasif tidak menemu­kan titik temu, tentu ada proses hukum. Apalagi jika persoalan se­pele seperti hanya saling pandang, tentu persoalan tersebut bisa di­atasi dengan tidak menyuburkan emosi.

TNI dan Polri tentu wajib berbenah dengan beberapa peristiwa bentrokyang sering terjadi. Pertama yang mungkin ditelaah adalah bagaimana proses pendidikan dan pembinaan. Perlu ada pendi­dikan untuk menumbuhkan mental yang mengedepankan otak da­ripada otot. Jika memang langkah tersebut telah diambil, akan lebih baik jika cara pendidikan ditinjau kembali dan mempertanyakan kepada diri sendiri mengapa cara pendidikan tersebut masih melahirkan personel yang lebih mengedepankan kekerasan. Tentu, TNI dan Polri bias menggandeng banyak tokoh pendidikan untuk merumuskan kurikulum atau silabus pendidikan yangbisa melahirkan perso­nel yang tidak gampang disulut emosinya.

Selepas pendidikan, perlu ada pembinaan dari para senior ataupun atasannya untuk menularkan energi anti kekerasan da­lam menyelesaikan sebuah persoalan. Jika memang ada anggota yang melakukan kesalahan dengan melakukan tindak kekerasan atau bersalah secara hukum, harus ada ganjaran yang jelas bukan malah melindungi. Inilah kultur yang tampaknya masih terbina.

Dengan alasan semangat korsa atau institusi, anggota yang salah biasanya mendapat "ampunan" atau bahkan dilindungi. Cara se­perti ini bukan pembinaan yang tepat, justru melakukan pem­biaran tindakan yang salah.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kontrol. Secara berkala para pimpinan TNI dan Polri melakukan kontrol ter­hadap perilaku para anggotanya. Pengontrolan ini bisa diukur de­ngan cara pengawasan terhadap kegiatan anggota secara berkala, apa yang telah anggota lakukan lalu memberikan punish terhadap anggota yang melanggar atau memberikan reward kepada anggota yang telah melakukan tindakan yang benar.

Dengan kontrol secara berkala,setiap kegiatan anggota terus dipantau oleh atasannya. Jika memang hal ini telah dilakukan, TNI dan Polri juga semestinya mengevaluasi pola kontrol anggota yang telah dilakukan.Jika me­mang masih terjadi bentrok, berarti ada kontrol anggota yang salah dan harus dibenahi.

Tentu kita ingin melihat TNI dan Polri selalu damai dan bisa menjadi tulang punggung negeri ini dalam menjaga keamanan negeri ini. Semua niat itu bisa dilakukan jika pucuk pimpinan kedua institusi bisa melakukan pembenahan. Kedua pucuk pimpinan harus benar-benar menunjukkan komitmennya, karena pemimpin menjadi pe­nentu keberhasilan dalam sebuah perubahan. Dalam teori manajemen inovasi maupun perubahan factor utama keberhasilan dari pemimpinnya. Nah, kapolri maupun panglima TNI harus benar-benar memperhatikan ini.

Bentrok TNI dan Polri jelas semakin mencoreng muka kedua institusi tersebut.Bentrok dua aparat adalah aib bagi mereka yang semestinya dihindari.Ini momentum ketika Jenderal Polisi Sutarman baru dilantik sebagai kapolri dan Jenderal Moeldoko yang juga baru dilantik menjadi panglima TNI harus menempat­kan persoalan pembenahan personelnya sebagai agenda utama kepemimpinan mereka.Keduanya harus menunjukkan komit­mennya.Dan, kitayakinTNI maupun Polribisa melakukan halini demi mewujudkan TNI dan Polri yang lebih manusiawi atau humanis.Sumber Koran: Seputar Indonesia (20 November 2013/Rabu, Hal. 07)