Senin, 25/11/2013 11:51
WIB
Adiyansyah Lubis
& Hendri Parjiga
Peluncuruan
buku 70 tahun Letjen TNI (Purn) Muzani Syukur di Hotel Bumiminang, Padang,
Jumat (22/11) malam berlangsung haru. Muzani tak mampu menahan haru dan air
mata tatkala menyampaikan sambutan di hadapan ratusan tamu undangan, dan ibunya
tercinta Basinar, 87. Ibunya masih mampu menghadiri acara, meski hanya duduk
diam dalam usia senja.
Dia
memeluk ibunya yang sudah berusia uzur, dan tidak bisa berbuat banyak itu.
Sesaat kemudian, Komisaris Utama PT Semen Padang itu, menyeka kedua sudut
matanya. Tampak ada bulir bening jatuh di pelupuk mata.
”Saya
bisa seperti sekarang ini karena Amak (panggilannnya kepada sang ibu, red).
Bagi saya Amak adalah motivasi hidup dan orang yang berjasa membesarkan saya,”
ungkap Muzani dengan suara tertahan, terisak menahan haru.
Suasana
haru itu terjadi pada malam peluncuran buku ‘Jejak Sang Infenteri’ yang
dihadiri para Jenderal, seperti Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar (Mantan
Kasad), Letjen TNI (Purn) Azwar Anas, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (Mantan
Wakasad), Mayjen TNI (Purn) Mulchis Anwar, Jenderal (Purn) Amir Baharuddin
(Mantan Komjen Kobangdiklat Malaysia).
Suasana
haru makin bertambah ketika diputar film profil singkat Muzani yang salah satu
skripnya memperlihatkan jenderal itu membacakan Sapta Marga dengan suara
lantang dan penuh wibawa. Ketika itu, pria kelahiran Jorong Kampungpalak,
Nagari Pasirtalang, 5 November 1943 tersebut menjadi Pangdam III/ Siliwangi.
Terkait itu, mantan Kepala Staf Angkatan Darat
Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar mengaku pernah dua kali memerintahkan
Muzani membaca Sapta Marga dalam upacara militer. Pertama, ketika Muzani menjadi
Panglima Divisi 1F 2 Kostrad pada HUT Kostrad di Singosari Malang, dan ketika
menjadi Panglima Kodam III Siliwangi saat HUT ke-48 tahun 1994 di Bandung.
”Pada
kedua iven itu, Jenderal Muzani mampu mengucapkannya dengan lancar dalam intonasi yang tepat dan
penuh penjiwaan. Oleh sebab itu saya terkesan pada Jenderal Muzani dan selalu
menekankan setiap perwira harus mampu dan memberi contoh dalam pengucapan dan
pelaksanaan Sapta Marga itu di hadapan prajuritnya,” kata Wismoyo.
Buku
“Jejak Sang Infanteri”, Biografi Letjen TNI (Purn) Muzani Syukur setebal 340
halaman itu, mengisahkan jejak langkah Muzani
sebagai seorang prajurit infanteri, yang selama 36 tahun tahun hidupnya diabdikan
di dinas ketentaraan.
Bagi
teman-temannya, Muzani dikenal sebagai tentara yang pantang menyerah. Dia
pantang mundur sebelum memenangi pertempuran dalam setiap operasi yang dia
pimpin.
”Dia
(Muzani, red) adalah komandan yang punya kepemimpinan yang tegas dan percaya
diri, harga dirinya tinggi dan pantang menyerah,” kata Mayjen TNI (Purn)
Mulchis Anwar, sahabatnya sesama di militer ketika bedah buku yang dipimpin
Basril Djabar, dan menghadirkan empat nara sumber. Selain Mulchis Anwar, juga
dibedah wartawan Eko Yanche Edrie, anggota DPRD Sumbar Bachtul dan Ekonom
Firwan Tan.
Selama
menjadi tentara, di mata Mulchis, Muzani adalah taruna yang menonjol dibanding
taruna lain. Muzani selalu berhasil di setiap operasi militer. “Beliau (Muzani,
red) punya insting dan indra keenam di daerah pertempuran,” ujarnya..
Bagi
Muzani apa yang dilakukan teman-temannya menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah
buku adalah suatu hal istimewa dan membanggakan. ”Teman saya Mulchis Anwar mendorong
saya untuk menulis buku,” ujarnya.
Dia
pun mengungkapkan alasan kenapa dirinya meluncurkan buku ini di Padang. “Saya
tidak melaunching buku ini di Jakarta, tapi justru di sini, karena saya cinta tanah
kelahiran saya. Saya pernah hidup di sini selama 18 tahun, dan melanglangbuana
ke hampir seluruh daerah di Indonesia,” ujarnya.
Muzani
ingin buku ini menjadi motivasi bagi generasi muda. “Apa yang baik dari cerita
saya di buku ini ambil saja, yang buruk buang saja,” tuturnya.