Selasa, 26 November 2013

Sang Jenderal Itu Terisak di Hadapan Amaknya_Dari Peluncuran Buku ’Jejak Sang Infanteri’, Letjen TNI (Purn) Muzani Syukur



Senin, 25/11/2013 11:51 WIB
Adiyansyah Lubis & Hendri Parjiga

Peluncuruan buku 70 tahun Letjen TNI (Purn) Muzani Syukur di Hotel Bumiminang, Padang, Jumat (22/11) malam berlangsung haru. Muzani tak mampu menahan haru dan air mata tatkala menyampaikan sambutan di hadapan ratusan tamu undangan, dan ibunya tercinta Basinar, 87. Ibunya masih mampu menghadiri acara, meski hanya duduk diam dalam usia senja.

Dia memeluk ibunya yang sudah berusia uzur, dan tidak bisa berbuat banyak itu. Sesaat ke­mudian, Komisaris Utama PT Semen Padang itu, menyeka kedua sudut matanya. Tam­pak ada bulir bening jatuh di pelupuk mata.

”Saya bisa seperti sekarang ini karena Amak (panggilannnya kepada sang ibu, red). Bagi saya Amak adalah motivasi hidup dan orang yang berjasa membesarkan saya,” ungkap Muzani de­ngan suara tertahan, terisak me­nahan haru.

Suasana haru itu terjadi pada malam peluncuran buku ‘Jejak Sang Infenteri’ yang dihadiri pa­ra Jenderal, seperti Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar (Mantan Kasad), Letjen TNI (Purn) Azwar Anas, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (Mantan Wakasad), Mayjen TNI (Purn) Mulchis Anwar, Jenderal (Purn) Amir Baharuddin (Mantan Komjen Kobangdiklat Malaysia).

Suasana haru makin bertambah ketika diputar film profil singkat Muzani yang salah satu skrip­nya memperlihatkan jenderal itu membacakan Sapta Marga dengan suara lantang dan penuh wibawa. Ketika itu, pria kelahiran Jorong Kampungpalak, Nagari Pasirtalang, 5 November 1943 tersebut menjadi Pangdam III/ Siliwangi.
 Terkait itu, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar me­ngaku pernah dua kali memerintahkan Muzani membaca Sapta Marga dalam upacara militer. Pertama, ketika Muzani menjadi Panglima Divisi 1F 2 Kostrad pada HUT Kostrad di Singosari Malang, dan ketika menjadi Panglima Kodam III Siliwangi saat HUT ke-48 tahun 1994 di Bandung.

”Pada kedua iven itu, Jenderal Muzani mampu mengucapkannya  dengan lancar dalam intonasi yang tepat dan penuh penjiwaan. Oleh sebab itu saya terkesan pada Jenderal Muzani dan selalu menekankan setiap perwira harus mampu dan memberi contoh dalam pengucapan dan pelaksanaan Sapta Marga itu di hadapan prajuritnya,” kata Wismoyo.

Buku “Jejak Sang Infanteri”, Biografi Letjen TNI (Purn) Muzani Syukur setebal 340 halaman itu,  mengisahkan jejak langkah Muzani sebagai seorang prajurit infanteri, yang selama 36 tahun tahun hidupnya diabdikan di dinas ketentaraan.

Bagi teman-temannya, Muzani dikenal sebagai tentara yang pantang menyerah. Dia pantang mundur sebelum memenangi pertempuran dalam setiap operasi yang dia pimpin.

”Dia (Muzani, red) adalah komandan yang punya kepemimpinan yang tegas dan percaya diri, harga dirinya tinggi dan pantang menyerah,” kata Mayjen TNI (Purn) Mulchis Anwar, sahabatnya sesama di militer ketika bedah buku yang dipimpin Basril Djabar, dan menghadirkan empat nara sumber. Selain Mulchis Anwar, juga dibedah wartawan Eko Yanche Edrie, anggota DPRD Sumbar Bachtul dan Ekonom Firwan Tan.

Selama menjadi tentara, di mata Mulchis, Muzani adalah taruna yang menonjol dibanding taruna lain. Muzani selalu berhasil di setiap operasi militer. “Beliau (Muzani, red) punya insting dan indra keenam di daerah pertempuran,” ujarnya..

Bagi Muzani apa yang dilakukan teman-temannya menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah buku adalah suatu hal istimewa dan membanggakan. ”Teman saya Mulchis Anwar mendorong saya untuk menulis buku,” ujarnya.

Dia pun mengungkapkan alasan kenapa dirinya meluncurkan buku ini di Padang. “Saya tidak melaunching buku ini di Jakarta, tapi justru di sini, karena saya cinta tanah kelahiran saya. Saya pernah hidup di sini selama 18 tahun, dan melanglangbuana ke hampir seluruh daerah di Indonesia,” ujarnya.

Muzani ingin buku ini menjadi motivasi bagi generasi muda. “Apa yang baik dari cerita saya di buku ini ambil saja, yang buruk buang saja,” tuturnya.