Kamis, 21
November 2013 01:49 WIB
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Pakar teknologi komunikasi Sarwoto Atmosutarno mengatakan
liberalisasi telekomunikasi yang telah diberlakukan sejak tahun 1995 telah
menyebabkan TIK Indonesia terlalu terbuka, baik secara pengelolaan maupun
pemilihan teknologi.
Salah satu
dampak paling buruk dari liberalisasi ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh
jajaran pejabat pemerintahan yang seyogyanya sarat pengamanan terabaikan dan
mendapatkan perlakuan layaknya komunikasi publik. Sementara, desain komunikasi
publik adalah jaringan terbuka yang rawan penyadapan.
“Cyber War itu
nyata dan tidak perlu deklarasi perang. Geopolitik dan geostrategi mendesak
kita untuk segera membangun cyber defense berbasis teknologi terestrial maupun
ruang angkasa atau satelit berbasis digital,” ujar Sarwoto dalam keterangan
pers yang diterima Tribunnews.com, Rabu (20/11/2013).
Sejak
liberalisasi, papar Sarwoto, jaringan telekomunikasi militer dan keamanan
Indonesia tertinggal dibanding jaringan telekomunikasi publik. Ketertinggalan
ini kemudian diperparah dengan belum adanya kesadaran akan pentingnya
keberadaan cyber war dan cyber defense di kalangan pembangun dan pengelola
jaringan tersebut yang seharusnya segera direalisasikan dan tidak hanya menjadi
wacana.
“Selama pejabat
publik menggunakan jaringan komunikasi publik jelas tidak aman. Sudah saatnya
komunikasi pemerintahan dibuatkan sistem telekomunikasi khusus. Padahal UU No.
36/1999 telah menyebutkan soal ini tetapi pelaksanaannya minim, bahkan
prioritasnya terabaikan,” kata mantan Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler
Indonesia (ATSI) itu.
Sarwoto
mengungkapkan bahwa idealnya pejabat dan instansi pemerintah serta pihak-pihak
yang rawan mendapatkan serangan dalam cyber war difasilitasi dengan Jaringan
Pengguna Khusus (Closed User Group, CUG) yang lebih aman. Dengan jaringan
semacam ini, aktivitas telekomunikasi pejabat dan instansi pemerintah atau
bahkan figur publik dapat dilindungi keamanannya secara khusus dan tertutup,
dengan hierarki yang jelas standar operasinya.
Menurut Sarwoto,
hierarki jaringan akses, pengumpul, dan backbone bisa didesain dengan algoritma
yang berlapis-lapis dan diacak. Interkoneksi jaringan khusus dengan jaringan
publik dibatasi dan terkendali baik untuk layanan suara, data, dan video
termasuk internet protokol yang digunakan.
“CUG dengan
disain topologi jaringan khusus saat ini digunakan oleh banyak negara yang
sudah sangat sadar peranan cyber war dalam perang modern,” ujarnya.
Dengan sumber
daya yang ada, Sarwoto optimistis Indonesia mampu membangun jaringan cyber
defense yang tangguh. Menurutnya, kurang lebih dalam jangka lima tahun kita
sudah bisa mengejar ketertinggalan di bidang ini.
“Yang penting
ada konsistensi perencanaan dan tidak tergantung pada periode siapa yang
berkuasa untuk melaksanakannya,” katanya. (Penulis: Bahri Kurniawan & Editor:
Willy Widianto)