Selasa, 4
Juni 2013 11:56 WIB
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Komandan Korem
072/Pamungkas Brigjen TNI, Adi Widjaja menuding Lembaga Perlindungan Saksi dari
Korban (LPSK) yang sebenarnya menginginkan teleconference dalam sidang kasus
penyerangan terhadap Lapas Kelas 2B Sleman.
Menurut Adi, tidak ada saksi yang merasa keberatan
untuk memberikan kesaksian langsung di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. "Yang
menginginkan itu (teleconference-red) LPSK atau saksinya? Enggak ada
(saksi-red) yang keberatan, yang keberatan itu LPSK karena ada anggaran
pengadaan CCTV," katanya ketika ditemui Tribunjogja.com,
seusai mengikuti acara penandatanganan nota kesepakatan bersama di Mapolda DIY,
Selasa (4/6/2013).
Adapun, wacana teleconference mencuat setelah hasil
investigasi yang dilakukan LPSK menunjukkan bahwa para saksi tak bersedia
memberikan kesaksian secara langsung dengan alasan masih trauma. Anggota LPSK,
Irjen (Purn) Teguh Soedarsono, ketika dihubungi wartawan Senin (3/6/2013)
menjelaskan, pihaknya terus melakukan persiapan peralatan teleconference
meskipun usulan tersebut belum disetujuan Mahkamah Agung (MA). "Kami terus
melakukan persiapan. Terserah nanti mau digunakan atau tidak," katanya. Adapun
jika nantinya disetujui, rencananya akan ada tiga titik yang dilengkapi
peralatan teleconference. Yakni di Lapas Kelas 2B Sleman, di Pengadilan Militer
II-11 Yogyakarta serta satu lagi berada di kantor LPSK Jakarta. Pihaknya tak
serampangan dalam mengambil keputusan tersebut lantaran secara hukum sebenarnya
sudah ada aturan yang menaunginya yakni dari Pasal 36 UU no 13/2006, yang
menyebutkan bahwa LPSK bisa bekerja sama dengan berbagai instansi pemerintahan.
Sementara usulan teleconference sendiri dianggap
mendesak lantaran kondisi psikologis para saksi yang masih dinyatakan belum
stabil, la berharap tidak ada pemaksaan bagi para saksi untuk hadir di
persidangan, lantaran bisa memperparah kondisi psikologis para tahanan yang
kini masih trauma. Lebih jauh lagi, pemaksaan itu juga beresiko terjadinya
pelanggaran HAM.
Secara tegas dirinya mengatakan, bahwa wacana
teleconference hanya semata-mata untuk melindungi para saksi, la menampik
anggapan bahwa hal itu merupakan bagian dari upaya menjatuhkan kredibilitas
militer. Sebaliknya, justru bisa membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap militer.
"Militer Indonesia saat ini sedang disorot
karena kasus Cebongan. Untuk membersihkan, caranya melalui peradilan
terbuka," imbuhnya.