YOGYAKARTA, Hingga menjelang sidang ketiga kasus
penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan, Sleman, Pengadilan
Militer II-11 Yogyakarta, Oditur Militer II-11 Yogyakarta, dan para penasihat
hukum belum bersedia memberikan dokumentasi dakwaan atau eksepsi kepada
wartawan serta elemen masyarakat yang hendak memantau peradilan militer.
Padahal, publik berhak mendapatkan informasi atau dokumen persidangan yang
telah disampaikan di persidangan secara terbuka.
Berkas dakwaan terhadap 12 terdakwa anggota Grup 2
Komando Pasukan Khusus—bukan Komando Pasukan Khas seperti keterangan foto,
Selasa (25/6)—Kandang Menjangan, Kartasura, telah disampaikan oditur dalam
persidangan Kamis (20/6) di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Berkas eksepsi
juga telah dibacakan penasihat hukum dalam persidangan Senin lalu.
Menurut Direktur Indonesian Court Monitoring Tri Wahyu, surat dakwaan dan eksepsi
yang telah disampaikan di persidangan merupakan dokumen publik. Artinya, sesuai
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
pengadilan militer melalui pejabat pengelola informasi dan dokumentasi setempat
semestinya bisa membagikan dokumen itu kepada publik, termasuk wartawan.
"Pengadilan militer yang berada di bawah
Mahkamah Agung (MA) harus mengikuti UU No 14/2008. Apalagi, dakwaan ataupun
eksepsi tidak termasuk dalam informasi yang dikecualikan sesuai Pasal 17 U No
14/2008," ujarnya, Selasa, di Yogyakarta.
Menurut Tri Wahyu, dalam Surat Keputusan Ketua MA
Nomor 1-144/KMA/SK/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan, MA
juga lelah menjamin keterbukaan informasi. Surat keputusan itu merupakan
pengganti Keputusan Ketua MA Nomor 144/KMA/VIII/2007 tentang Keterbukaan
Informasi di Pengadilan.
Saat Kompas serta beberapa jurnalis hendak meminta
dokumen dakwaan serta eksepsi kasus Cebongan, Kepala Humas Pengadilan Militer II-11
Yogyakarta Mayor Syaiful Maarif tidak bersedia menyerahkan dokumen tersebut.
"Ini bukan wewenang kami. Kami hanya menangani teknis persidangan, kami
tunggu beliau (majelis hakim) berkenan atau tidak," ucapnya.
Formasi majelis hakim, oditur, dan penasihat hukum
juga menarik dikritisi. Pangkat tertinggi dijabat Ketua Tim Penasihat Hukum
Kolonel Chk Rokhmad, sedangkan Ketua Majelis Hakim Letkol (Chk) Joko Sasmito
serta Kepala Oditur Militer Letkol (Sus) Budiharto berpangkat lebih rendah.
"Bagaimana mereka bisa menjadi lebih tegas dalam persidangan? Sebab, dalam
militer, fungsi kepangkatan sangatlah kuat," kata Tri Wahyu.
Menanggapi hal itu, Wakil Kepala Pengadilan Militer
II-11 Yogyakarta Mayor Chk Warsono mengatakan, begitu masuk dalam ruang sidang,
majelis hakim tetap memiliki otoritas untuk memimpin persidangan. "Dalam
sidang, otomatis mereka menyesuaikan diri. Kedudukannya, ya, sama dengan
persidangan umum lain," ujarnya.
(ABK), Sumber Koran: Kompas (26 Juni 2013/Rabu, Hal. 04)