JOGJA - Sepuluh
dari 42 saksi kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B
Sleman atau Cebongan belum siap bersaksi di persidangan. Kalapas Supriyanto
menyatakan ketidaksiapan kesepuluh saksi tersebut berdasarkan hasil rekomendasi
tim pendamping psikologis. "Masih ada traumatiknya," jelasnya,
kemarin (24/6).
Mengenai pelaksanaan teleconference, Supriyanto
mengaku, sudah menyiapkan sarana prasarananya. Persiapan dilakukan tim Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pelaksanannya tinggal menunggu instruksi
dari pengadilan militer.
Menurut Supriyanto, teleconference disiapkan khusus
bagi 10 saksi yang mengalami trauma. Kendati begitu, tak menutup kemungkinan
bagi saksi lain bisa memanfaatkan fasilitas peralatan komunikasi jarak jauh
tersebut. "Belum ada keterangan. Pemanggilan para saksi juga belum ada,"
bebernya.
Sementara mengenai pengamanan saksi, Supriyanto
menegaskan, tak ada masalah. Hanya, dia tak berani menjamin pengamanan di luar
persidangan. Terlebih setelah vonis dibacakan majelis hakim. "Itu belum dibicarakan.
Masih kami koordinasikan lebih lanjut," katanya.
Kendati begitu, Supriyanto mengaku, pengamanan
telah dijamin polisi yang dibantu TNI. Sebelumnya Komandan Kodim 0732/SIeman
Letkol Inf Satrijo Pinandojo menyatakan telah menyiagakan pasukan sebanyak 2 SSK
(satuan setingkat kompi). 1 SSK berjumlah 100 personel. Pasukan disebar di
sepanjang rute perjalanan saksi dari area lapas sampai Pengadilan Militer II-11
Jogjakarta di Bantul. Sebagian pasukan tetap disiagakan di lapas.
"Prinsipnya kami membantu polisi dan pemerintah," ujar Satrijo.
Komisioner LPSK, Teguh Soedarsono menegaskan,
secara prinsip sebagian besar saksi siap bersaksi. Tapi mereka butuh jaminan
keamanan. "Itu yang paling penting. Soal kepastian bersaksi is ok,"
jelas Teguh saat menyambangi Lapas kemarin.
Teguh menyebut, saksi yang tak layak dan tidak
kompeten bersaksi secara psikologis ada sebelas orang. Jumlah itu bisa
bertambah. Sebab sisanya, 31 saksi dinilai cukup kompeten oleh 18 psikolog
pendamping. "Itu artinya belum 100 persen. Bisa saja bertambah yang tak
kompeten," jelasnya.
Menurut Teguh, stabilitas psikologis para saksi tak
hanya masalah keamanan. Sebab, mereka juga menaggung beban hukuman perkara yang
harus dijalani di Lapas. Teguh mengatakan, teleconference bukan satu-satunya
alternatif untuk memperoleh keterangan saksi. "Pengalaman sidang pertama
dan selanjutnya membuat mereka (para saksi) lebih ketakutan," tandasnya.
Menurut Teguh, tanpa jaminan keamanan, para saksi
enggan memberikan keterangan dalam sidang. Kendati hadir, para saksi akan diam
atau memberikan keterangan setengah-setengah. (yog/jpnn), Sumber Koran: Indo Pos (25 Juni 2013/Selasa, Hal. 06)