Selasa, 25 Juni
2013 | 19:51 WIB
TEMPO.CO,
Yogyakarta- Polemik penggunaan video telekonferensi untuk saksi kasus
penyerangan LP Cebongan semakin seru. Ada yang meminta penggunaannya juga ada
yang menentang. Namun, Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta yang menyidangkan
kasus ini belum memberikan sinyal boleh atau tidaknya penggunaan teknologi
telekonferensi itu.
Bagi Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, penggunaan alat video telekonverensi sangat
penting bagi para saksi. Sebab, semua saksi kebertan hadir dalam sidang dengan
terdakwa 12 anggota Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan Kartosuro Sukoharjo.
“Kalau adanya penolakan dari beberapa elemen masyarakat soal telekonferensi itu
termasuk intervensi terhadap proses peradilan,” kata Divisi Pemenuhan Hak Saksi
dan Korban LPSK Teguh Soedarsono, Selasa 25 Juni 2013.
Intervensi itu
merupakan pelanggaran seperti sebagaimana diatur pasal 37, 38, dan 40 jo pasal
9 jo pasal 5 ayat (1) jo pasal 43 Undang-undnag nomor 13/2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Pihaknya mengaku sudah menerima surat keberatan
soal telekonferensi. Juga tindakan berbagai aksi demonstrasi di Pengadilan
Militer juga dinilai menjadi bukti telah terjadi indikasi intervensi peradilan.
Kondisi psikologi
42 saksi dari Cebongan yang terdiri dari sipir dan tahanan dinilai tidak siap
datang langsung di kantor pengadilan. Apalagi dengan adanya aksi-aksi
demonstrasi dukungan kepada Kopassus. Para saksi itu jelas akan memberatkan pelaku
penyerang. Sehingga bisa jadi ada tindakan intimidatif terhadap mereka para
saksi.
Elemen masyarakat
yang mengirim surat itu antara lain Paksi Katon, Sekretariat Bersama
Keistimewaan, Gerakan Pemuda Anshor, Laskar Srikandi Mataram, dan Jogja Wallnation
dan elemen lainnya. Surat itu diterima oleh LPSK pada Senin lalu dengan
tembusan Komandan Korem 072 Pamungkas, Gubernur dan Kepala Polda Daerah
Istimewa Yogyakarta. Elemen masyarakat itu juga telah mengirim surat ke pihak
LP Cebongan pada Minggu yang lalu. Mereka menganggap jika telekonferensi
digunakan, seolah-olah Yogyakarta tidak aman.
Menurut Kepala Tata
Usaha Urusan Dalam Pengadilan Militer II - 11 Yogyakarta, Kapten Aulisa Dandel,
metode video telekonferensi yang diajukan LPSK sampai saat ini masih belum
disetujui oleh majelis hakim. Untuk memutuskannya membutuhkan alas an dari para
saksi. “Soal telekonferensi masih menunggu pertimbangan dari majelis
hakim," kata dia.