Pengadilan Militer Yogyakarta dianggap tak siap
menggelar sidang kasus Cebongan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban khawatir
terhadap keselamatan para saksi.
SERGAHAN itu menyelinap ketika Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Siti Noor Laila diwawancarai wartawan di ruang tamu
Pengadilan Militer Yogyakarta, Kamis siang pekan lalu. "Kalian pasti
dibiayai luar negeri!" kata pria tak dikenal itu. "Dasar antek-antek
Amerika!" Belum habis rasa kaget Siti, belasan pria merubung perempuan itu
seraya menyergah, "Komnas HAM pengkhianat!"
Siti mundur, lalu berlindung di ruangan Kepala Tata
Usaha Pengadilan. Sejumlah tentara menjaga pintu agar para pria berbaju loreng
hitam-merah itu tak menerobos. Siti menelepon sopirnya agar memarkir mobil di
depan pintu utama pengadilan. Setengah jam kemudian, ia keluar dari ruangan dan
menerobos kerumunan orang-orang yang menamakan diri "Aliansi Masyarakat
Sipil Tolak Intervensi Propaganda Kebebasan HAM". Dikawal seorang tentara
berseragam, Siti masuk ke mobil Toyota Innova yang telah menunggunya.
Ketika Siti menuju mobil, intimidasi kepada
perempuan 45 tahun itu makin menjadi-jadi. Ia diteriaki "pelacur" dan
berbagai nama hewan. Kerumunan itu kemudian memukuli kaca dan kap mobilnya.
Beberapa di antara mereka bahkan memprovokasi agar memerkosa Siti dan membakar
mobilnya. "Untung saja teriakan itu tak dituruti massa," ujar Tri
Wahyu, anggota Koalisi Rakyat Pemantau Militer, yang menyaksikan peristiwa itu.
Sejak pagi Siti Noor Laila berada di pengadilan
militer di kawasan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, itu. Ia bermaksud mengikuti
sidang 12 anggota Komando Pasukan Khusus yang didakwa menyerbu dan membunuh
empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada 23
Maret lalu. Ia berencana mengikuti penuh sidang hari itu, yang diperkirakan
berakhir sore. Intimidasi tadi membuyarkan rencana itu. "Suasananya sudah
tidak kondusif," katanya.
Sidang perdana itu mengagendakan pembacaan dakwaan
terhadap 12 anggota Kopassus, yang dipisah ke dalam empat berkas. Berkas pertama
dengan terdakwa Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon, Sersan Dua Sugeng Sumaryanto dan
Kopral Satu Kodik. Berkas kedua dengan terdakwa Sersan Satu Tri Juwanto, Sersan
Satu Anjar Rahmanto, Sersan Satu Marthinus Roberto Paulus, Sersan Satu Herman
Siswoyo, dan Sersan Satu Suprapto. Berkas ketiga dengan terdakwa Sersan Dua
lkhmawan Suprapto. Berkas keempat dengan terdakwa Sersan Mayor Rokhmadi, Sersan
Mayor Muhammad Zaenuri, dan Sersan Kepala Sutar. Mereka anggota Grup 2 Kopassus
Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah.
Pemisahan berkas berdasarkan peran para terdakwa.
Ucok Tigor Simbolon dianggap tokoh sentral dalam kasus ini. Pada 22 Maret, Ucok
mendapat kabar Sersan Kepala Heru Santoso tewas ditikam di Hugo's Cafe,
Yogyakarta, setelah terjadi pembacokan atas Sersan Satu Sriyono. Keduanya
mantan anggota Kopassus dan teman dekat Ucok, yang ketika itu sedang berlatih
di Gunung Lawu. Ia turun ke Markas Kandang Menjangan, lalu mengajak Sugeng dan
Kodik.
Heru diduga tewas dibunuh kelompok Hendrik Angel
Sahetapy alias Deki, yang beranggotakan Yohanis Juan Manbait, Gameliel
Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi. Sriyono
diberitakan di aniaya kelompok Marcel. Sabtu dinihari, mereka mendatangi
penjara Cebongan, tempat Deki cs ditahan, dan memaksa masuk. Keempatnya tewas
diberondong peluru AK-47 di sel A5, di depan tahanan lain. "Ucok berperan
sebagai eksekutor," ucap Oditur Militer Letnan Kolonel Budiharto,
membacakan dakwaan.
Karena itu, para terdakwa di berkas pertama hingga
ketiga didakwa dengan pasal pembunuhan berencana dan penganiayaan, dengan
ancaman hukuman mati. Para terdakwa di berkas keempat dijerat dengan Pasal 121
ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer karena dianggap tidak
memberitahukan informasi situasi keamanan kepada atasan. Namun dakwaan itu tak
memuaskan banyak pihak. "Seharusnya atasannya ikut ditangkap," kata
Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras).
Haris menyayangkan oditur militer mengabaikan pesan
pendek (SMS) yang beredar sehari sebelum penyerbuan. Pesan itu berisi
peringatan bagi para polisi yang dianggap lemah dalam menuntaskan kasus
pembunuhan Heru Santoso dan, karena itu, Kopassus bergerak untuk membalas
kematian rekan mereka. Beberapa hari sebelum pembunuhan, petinggi Kepolisian
Daerah Yogyakarta bertemu dengan sejumlah perwira TNI Angkatan Darat. Haris
menyatakan bukti pendukung perencanaan pembunuhan di dalam dakwaan juga lemah.
"Dakwaan dibuat seperti tak siap," ujarnya.
Selain diikuti Ketua Komnas HAM dan Koordinator
Kontras, sidang itu dihadiri unsur Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta berbagai lembaga swadaya
masyarakat. Komisi Yudisial hadir untuk memastikan hakim adil dan menjalankan
sidang sesuai dengan aturan. Tapi sidang perdana itu dianggap tak memuaskan.
"Panitia sidang tidak punya persiapan yang cukup," ucap Siti Noor
Laila.
Intimidasi yang dialaminya, kata Siti, bisa menjadi
bukti ketidaksiapan aparat. Penjagaan sidang dianggap tidak maksimal karena
hanya melibatkan sedikit tentara. Polisi tidak dilibatkan dalam pengamanan sidang.
Padahal sidang itu dihadiri seratusan pengunjung yang berkelakuan seperti
preman. Siti melihat beberapa pengunjung membawa senjata di dalam ruang sidang.
Tentara tak terlihat mencegah berbagai ancaman ini. Hakim juga tak ikut menegur
dan mengingatkan pengunjung. "Sidangnya seperti berat sebelah,"
ujarnya.
Spanduk dukungan kepada Kopassus dibiarkan memenuhi
gedung pengadilan. Di pelataran, ada kerumunan yang berorasi dengan megafon dan
berteriak tak henti-henti. Suara mereka terdengar hingga ke dalam ruang sidang.
Ruangan yang sempit dan penuh pengunjung serta penyejuk udara yang tak bekerja
membuat suasana makin suntuk. Banyak orang memaksa masuk ke ruang sidang meski di
luar gedung sudah dipasang layar lebar dan pengeras suara yang menyiarkan
persidangan. Namun, sekali lagi, tak ada upaya pencegahan dari para tentara.
Menurut Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani, suasana
sidang yang tak kondusif berpotensi mengancam jiwa dan situasi psikologis para
saksi. Mereka bisa saja tidak obyektif memberikan keterangan. Pengadilan
berencana menghadirkan 42 saksi, 31 di antaranya tahanan yang melihat
pembunuhan. "Tidak ada yang bisa menjamin keamanan para saksi," ucap
Lies. Para tahanan yang akan bersaksi, kata dia, saat ini masih mengalami
trauma karena melihat langsung pembunuhan itu. Apalagi mereka sendiri sempat
diancam akan dibunuh.
Komisi Yudisial dan LPSK menawarkan solusi
memindahkan sidang ke gedung yang lebih besar. Para saksi diusulkan memberikan
keterangan lewat telekonferensi agar keamanan mereka terlindungi. Ide ini
sempat ditolak. Namun Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono sudah memberikan
sinyal mendukung ide itu, Kamis pekan lalu. "Yang penting keterangan saksi
bisa diambil," ujarnya. Untuk pengamanan sidang, Ketua Pengadilan Militer
Yogyakarta Laksamana Muda A.R. Tampubolon berjanji meningkatkan jumlah
personel. Namun ia tak bisa mencegah kedatangan para pendukung Kopassus.
"Saya mengerti perasaan para pendukung itu," katanya. ((MUSTAFA SILALAH), TRI ARTINING PUTRI,
FARDHANI RAMADHANA (JAKARTA) & (PITO AGUSTIN RUDIANA, MUHAMMAD SYAIFULLAH
(YOGYAKARTA)), Sumber: Majalah Tempo (30 Juni 2013/Senin, Hal. 110-111)