Penulis :
Kontributor Timor Barat, Sigiranus Marutho Bere
Selasa, 25 Juni
2013 | 19:27 WIB
KEFAMENANU,
KOMPAS.com - Sejumlah warga Desa Tubu, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten
Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tinggal di sepanjang
garis perbatasan dengan Timor Leste, mengeluhkan.
Keluhan itu terkait
pungutan uang yang sering dilakukan oleh oknum petugas keamanan yang berjaga di
pos perbatasan. Tak kuat dengan kondisi ini, warga mengancam akan bergabung
menjadi warga negara Timor Leste.
“Setiap kali bila
kami menjual sapi kepada para pengusaha, namun ketika melewati pos TNI
perbatasan di Haumeni Ana dan Nilulat selalu dimintai sejumlah uang. Begitu
juga di pos Brimob serta pos polisi sehingga sampai saat ini para pengusaha
takut masuk ke daerah kami untuk beli sapi milik warga, sementara pemerintah
daerah, secara gencar mendorong masyarakat melalui program peronisasi sapi,”
keluh Silfester Palbeno, warga Desa Tubu, ketika menyampaikan keluhannya kepada
Wakil Bupati TTU.
Keluhan disampaikan
dalam acara pertemuan semesteran 48 kelompok tani di TTU, yang difasilitasi
oleh Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM), Selasa (25/6/2013).
Menurut
Palbeno,sampai saat ini para pengusaha resah dengan ulah para petugas keamanan,
yang meminta sejumlah uang, saat pengusaha melintas di depan pos penjagaan
dengan membawa sapi.
“Kalau semua
petugas keamanan minta uang, kami pemilik sapi mau dapat berapa? Belum lagi
para pengusaha bermain curang dengan mengambil keuntungan satu kilogram saat
melakukan timbangan pakai dacing. Ini sangat sulit dan saya tidak mengerti,
semacam apa model koordinasi di negara ini? Sehingga apabila terus menerus
seperti ini, maka kami akan masuk menjadi warga negara Timor Leste, karena
mereka akan sangat senang menerima kehadiran kami,” ancam Palbeno.
Palbeno
menjelaskan, petugas keamanan perbatasan saat ini hanya bertugas selama enam
bulan saja sehingga mereka dengan seenaknya meminta pungutan terhadap mobil
truk yang membawa sapi dalam jumlah banyak.
”Kami heran, apakah
tugas mereka itu menjaga keamanan negara di perbatasan ataukah melakukan
pungutan seperti itu sehingga kita minta penjelasan dari pemerintah daerah,”
kata Palbeno.
Palbeno mengaku,
beberapa waktu lalu dirinya bersama seorang pengusaha sapi membawa 12 ekor sapi
dari desa Tubu dan Nilulat dan rencananya akan dibawa ke Kefamenanu. Namun
setelah sampai di pos Nilulat dan Haumeni Ana, mereka ditahan dan dimintai
surat-surat dan sejumlah uang.
”Kita sempat kasih
Rp 20.000 dan Rp 50.000 namun ditolak. Mereka mengatakan kok hanya dikasih Rp
50.000 saja? Mereka minta kita kasih uang harus banyak,” ungkap Palbeno.
Terkait keluhan
masyarakat itu, Wakil Bupati TTU Aloysius Kobes menganjurkan kepada warga agar
segera membuat surat protes atau pengaduan kepada pimpinan TNI dan Polri, mulai di daerah
sampai pusat sehingga para oknum petugas keamanan yang melakukan pungutan bisa
diketahui oleh pimpinan mereka.
“Itu namanya
pungutan liar, sehingga terhadap itu saya minta warga untuk membuat surat
pengaduan kepada Dandim dan Kapolres, Danrem dan Kapolda untuk daerah serta
Kasad dan Kapolri di Jakarta agar segera ditindaklanjuti oleh pimpinan mereka,”
kata Kobes.
Editor : Glori K.
Wadrianto