Senin, 29 April 2013 08:36:48
Dua tahun terakhir, angka
kekerasan dilakukan aparat militer terhadap masyarakat terus melonjak. Lembaga
nirlaba Imparsial mencatat ada 20 kasus melibatkan seratusan anggota TNI.
Terakhir, penyerbuan ke dalam kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Direktur Program Imparsial Al
A'raf menilai harus ada evaluasi terhadap dokrin dan pendidikan di lingkungan
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebab, prajurit salah memahami jiwa korsa. "Jiwa
korsa dipandang sempit. Jika ada teman berantem, lalu secara beramai-ramai ikut
membalas dendam," katanya kepada merdeka.com, Senin pekan lalu.
Dia mengatakan TNI salah
membangun sistem sehingga cara pandang terhadap jiwa korsa ini kebelinger.
Secara jenjang pendidikan sudah baik, tetapi kurikulum mesti diperbaiki.
Menurut dia, pola pendidikan harus mampu mengajarkan kepada prajurit di negara
hukum tidak boleh ada yang melanggar hukum. Semua persoalan harus diselesaikan
melalui hukum. "Struktur teritorial TNI tidak perlu mengikuti struktur
pemerintahan sipil," ujarnya.
Anggota Komisi I Bidang
Pertahanan dan Luar Negeri Mayor Jenderal Punawirawan Yahya Sacawiria mengakui
terutama prajurit muda kadang keliru menerapkan jiwa korsa. Dia menegaskan
solidaritas itu harus pada tempatnya.
Dia menjelaskan prajurit di kota
besar lebih gampang melakukan kekerasan ketimbang serdadu di pinggiran kota.
Sehingga komandan satuan harus bertanggung jawab selama 24 jam terhadap semua
kegiatan anggotanya. "Efek jera harus diberikan kepada prajurit. Kalau
tidak ada aturan tegas, dia akan jadi liar kaya gerombolan," tuturnya.
Rektor Universitas Pertahanan
Letnan Jenderal TNI Syarifudin Tippe mengatakan buat mengurangi kekerasan oleh
prajurit mesti meningkatkan profesionalisme di jajaran perwira menengah. Dia
meminta prajurit saat berpakaian sipil atau militer tetap harus menjaga sikap
dan perilaku. Prinsip ini tidak boleh luntur sampai pensiun.
Dia menegaskan tidak ada kode
etik mengharuskan prajurit saat berpakaian sipil harus berperilaku sipil ketika
di luar markas atau barak militer. "Prajurit dimana pun, nilai sapta marga
dan sumpah prajurit harus dibawa," katanya. Sumber : www.merdeka.com