Jumat, 26/04/2013 00:48 WIB
Jakarta - Koordinator untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam vonis mati yang dijatuhkan
majelis hakim Pengadilan Militer II-09 Bandung, terhadap personel Yonif
303/13/1 Kostrad, Prada Mart Azzanul Ikhwan (23). Vonis mati dinilai tidak bisa
menjadi acuan efek jera bagi pelaku lainnya.
"Perbuatan yang dilakukan
Prada Mart AzzanuL Ihkwan tersebut memang selayaknya mendapatkan hukuman berat,
namun vonis hukuman mati tidak dapat dijadikan tolak ukur beratnya hukuman
sebagai pemberi efek jera bagi calon pelaku lainnya," terang Koordinator
KontraS, Haris Azhar, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/4/2013).
Putusan mati tersebut, jelas
Haris, justru menandakan nihilnya pemahaman majelis hakim peradilan militer
atas perlindungan hak asasi manusia. Dalam UUD 1945 pasal 28A jo 28I dan
berbagai instrumen HAM di Indonesia, dikenal adanya beberapa hak yang
digolongkan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogable rights).
Dalam Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana sudah dijadikan hukum nasional lewat
(Undang-Undang nomor 12 tahun 2005) hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun, diantaranya, adalah hak untuk hidup (pasal 6), hak untuk tidak
disiksa (pasal 7), hak diakui sebagai pribadi di muka hukum (pasal 16) serta
hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (pasal 18).
"Kami meyakini bahwa putusan
ini untuk menunjukan ketegasan belaka. Namun sayang ketegasan semacam ini jelas
merupakan ketegasan yang mengkhianati UUD 1945 yang menjamin hak untuk
hidup," ujar Haris.
Haris berpendapat, terdapat
kekeliruan penerapan dalam upaya penegakan hukum yang menimpa Prada Mart.
Kekeliruan yng dimaksud kejahatan yang dilakukan Prada Mart merupakan delik
pidana umum, bukan kejahatan militer. "Penghukuman dengan menggunakan
peradilan militer adalah sebuah kesalahan jurisdiksi hukum," kata Haris.
Haris mendesak Oditur untuk
menyatakan banding terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer II-09
Bandung, dan tetap pada tuntutannya untuk menghukum Prada Mart dengan pidana
penjara 20 tahun.
Prada Mart tega membunuh Shinta
dan ibunya karena dituntut bertanggungjawab atas kehamilan Shinta. Terdakwa
membantah bahwa janin yang dikandung Shinta anaknya. Namun berdasarkan hasil
test DNA terhadap janin tersebut, terungkap jika memang benar Prada Mart adalah
ayah dari janin berjernis kelamin laki-laki itu.
Majelis Hakim yang diketuai
Letkol (Chk) Sugeng Sutrisno dalam putusannya menyebut bila majelis tidak
menemukan hal yang meringanka. Sementara untuk hal yang memberatkan, adalah
karena terdakwa anggota TNI, dimana telah dilatih dan dididik untuk berperang
dan seharusnya melindungi rakyat, bukan untuk membunuh rakyat.
Perbuatan terdakwa merusak
kepentingan militer dalam soliditas dengan rakyat, mencederai rasa keadilan
masyarakat, nilai kearifan lokal, norma adat dan agama. "Perbuatan
terdakwa tidak mencerminkan sifat-sifat seorang prajurit kesatria," tutur
Sugeng. Sumber : www.detik.com