Senin, 29 April 2013 | 12:43
Keinginan untuk menjadikan
sungai-sungai yang mengalir di tengah Jakarta, seperti Sungai Hang di Seoul,
Korea Selatan, merupakan salah satu keinginan Gubernur Jakarta, Joko Widodo
yang akrab disapa Jokowi. Untuk merealisasikan sungai yang bersih dan menjadi
tujuan wisata seperti Sungai Hang, Jokowi melibatkan Kopassus. Dalam kegiatan
seperti itu, Jokowi menyatakan dalam skala yang lebih besar tak hanya akan
mengajak Kopassus, namun juga melibatkan TNI AL dan TNI AU.
Kegiatan bersih-bersih di
sungai-sungai di Jakarta bisa untuk mengembalikan citra Kopassus
pasca-penyerbuan oknum Kopassus di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Dengan
acara seperti itulah maka orang mempunyai kesan bahwa Kopassus ternyata juga
ramah.
Terlibat dalam acara seperti itu
bagi Kopassus bisa jadi bukan yang pertama kalinya. Dikatakan oleh Danjen
Kopassus, Agus Sutomo, sejak 2012, korps baret merah itu telah menjalankan
program green, clean, and healthy. Kegiatan itu bentuknya seperti program Jumat
Bersih, Sabtu Hijau, dan Minggu Sehat. Bentuk nyata kegiatan yang dilakukan
Kopassus telah membuat jaring apung untuk menyaring sampah. Sampah yang masih
bisa didaur ulang akan diberikan ke masyarakat untuk dimanfaatkan keperluan
lainnya, seperti dibuat pupuk dan gas.
Apa yang dilakukan oleh Kopassus
dengan ikut membersihkan sungai dan lingkungan dari sampah tentu tidak
melanggar UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Apa yang
dilakukan Kopassus itu merupakan salah satu bentuk dari penjabaran operasi
militer selain perang.
Dalam masa-masa damai tentu tugas
pokok yang diemban TNI tentu lebih banyak pada operasi selain perang. Syukur
undang-undang itu memberi ruang kepada TNI dalam operasi militer selain perang.
Bila tidak, maka aparat bersenjata itu akan lebih banyak menganggur karena
tidak ada perang.
Dwi Fungsi
Sebagaimana diketahui salah satu
tuntutan era reformasi adalah dicabutnya dwi fungsi ABRI (TNI). Tuntutan ini
akhirnya membuat TNI kembali ke barak. Di masa Orde Baru, tentara tidak hanya
disibukkan menjaga wilayah kedaulatan bangsa, namun juga berpolitik, bahkan
bergerak di ranah keamanan. Namun sekarang bergerak dalam politik dan keamanan
merupakan suatu hal yang diharamkan.
Kita patut bersyukur dengan
kembalinya TNI ke barak dan konsentrasi di ranah pertahanan. Dengan ini maka
anggota TNI lebih disibukkan dengan latihan untuk meningkatkan profesionalisme.
Kita sering melihat TNI melakukan latihan-latihan, baik latihan sesuai dengan
matranya maupun latihan gabungan. Show force dalam latihan itulah yang membuat
banyak negara lain segan kepada negara kita.
Namun, hilangnya satu kaki TNI di
ranah politik dan keamanan ditambah dengan suasana yang damai, apalagi Presiden
SBY menyatakan tidak akan berperang dengan negara lain, membuat TNI
"menganggur". Sebagai pengangguran terdidik dan terlatih tentu
berbahaya, sehingga ada sebagian anggota TNI berusaha mencari "pekerjaan
lain".
Kasus penyerbuan LP Cebongan oleh
11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan, sepertinya bukan hanya persoalan
jiwa korsa atas tewasnya rekan mereka. Namun, ini juga buah dari menganggurnya
mereka dari tugas-tugas militer perang, sehingga banyak anggota TNI yang
terlatih mencari palagan sendiri-sendiri. Bila ada operasi-operasi militer,
tentu penyimpangan tugas dari aparat TNI tidak sebanyak masa-masa saat ini.
Kalau kita membaca buku Sintong
Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, di mana banyak tugas-tugas
yang diemban oleh Kopassus (dari namanya RPKAD, Kopasandha, hingga Kopassus),
mulai dari perlawanan terhadap G 30 S/PKI, pemberontakan Kahar Muzakkar,
pemberontakan Tentara Komunis Kalimantan Utara, pembajakan pesawat DC-9 Woyla,
dan tugas-tugas lainnya, kita bisa menyimpulkan banyak pekerjaan yang
dibebankan kepada Kopassus. Dengan banyaknya pekerjaan inilah maka pasukan yang
berbaret merah itu tidak neko-neko di tengah masyarakat.
Namun, karena suasana yang damai
dan tidak meratanya tugas, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan tugas yang
dilakukan oknum aparat TNI. Tidak meratanya tugas bisa kita telisik mulai pada
2002, di mana ketika terorisme mulai marak di Indonesia penanganannya hanya
dilakukan oleh polisi dengan Densus 88-nya.
Penanganan dilakukan oleh polisi
dalam memberantas terorisme dengan alasan bahwa masalah ini adalah masalah
keamanan, bukan pertahanan. Memang kita akui Densus 88 bisa melumpuhkan
teroris, namun dalam segi taktik dan stretegi, sepertinya Kopassus lebih lihai.
Terbukti dalam keadaan yang sulit, Kopassus mampu melepaskan pesawat DC-9 Woyla
dari para pembajak.
Tak meratanya tugas dengan alasan
undang-undang, membuat adanya kecemburuan dari pasukan yang terlatih khusus.
Mereka yang sudah dilatih dengan keras, berat, dan berbulan-bulan, kok
dianggurkan? Padahal sebagai pasukan yang terlatih khusus, mereka membutuhkan
palagan nyata untuk melakukan uji nyali dan praktik ilmu yang telah diperolehnya.
Karena palagan nyata tidak ada,
maka mereka mempraktikkan di tempat-tempat yang bukan pada tempatnya, seperti
di LP Cebongan. Di Cebongan mereka tak hanya membangun solidaritas jiwa korsa,
namun mempraktikkan hal-hal yang telah diserap dalam latihan.
Dalam masalah tugas tentara, kita
bisa mencontoh Amerika Serikat. Meski suasana di dalam negeri damai, namun
pemerintah negara itu mampu menciptakan palagan bagi tentaranya, dengan
mengirim ke daerah-daerah konflik. Cara seperti itulah membuat tentara mereka
mempunyai pekerjaan dan profesionalistasnya teruji.
Akibatnya, tentara Amerika
Serikat tidak pernah membuat keributan dan kegaduhan di masyarakat. Pemerintah
Obama sekarang justru pusing bila pasukan ditarik dari Afghanistan, sebab para
prajurit itu akan menganggur dan bila menganggur dikhawatirkan membahayakan
masyarakat dan pemerintah.
Apa yang dilakukan Jokowi
merupakan sebuah langkah positif dan perlu diberi apresiasi. Dengan ajakan
kerja sama Jokowi, maka Kopassus mempunyai pekerjaan dan pekerjaan ini halal
karena dijamin UU 34/2004, yakni operasi militer nonperang. Dengan ajakan
inilah maka Kopassus keluar dari barak, namun dijamin oleh undang-undang,
sehingga TNI AD tidak perlu membentuk tim investigasi.
Dalam masalah ini, bisa jadi
Jokowi tahu bahwa tentara harus diberi kesibukan, sehingga tak hanya berada di
dalam barak. Jokowi mungkin tahu kalau duduk-duduk saja di dalam barak, tentara
akan bosan. Kebosanan inilah yang membahayakan. Apa yang dilakukan oleh Jokowi
ini perlu ditiru oleh kepala daerah lainnya. Dengan adanya pekerjaan, maka akan
mengurangi gesekan antara anggota TNI dengan masyarakat dan polisi. Sumber : www.beritasatu.com