Semarang, Kepala
Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo menyindir lambannya proses
hukum yang dilakukan kepolisian terhadap polisi yang menembak prajurit TNI
Angkatan Darat di Ogan Komering Ulu (OKU). Dia mengklaim militer lebih cepat
dalam menangani kasus penyerangan markas kepolisian resor OKU pada 7 Maret lalu
itu.
"Maaf,
saya sampaikan kasus OKU, karena, peristiwa sebelumnya belum disidangkan,
justru peristiwa setelahnya yang dilakukan prajurit TNI sudah disidangkan,"
kata Pramono di Pusat Pendidikan Penerbangan Angkatan Darat, Semarang, kemarin.
Pramono
menjelaskan, proses hukum terhadap anggota TNI yang menyerang markas
kepolisian OKU telah masuk ke pengadilan militer sejak Kamis lalu. Sebanyak 19
personel Yon Armed Martapura yang terlibat dalam pembakaran
kantor polisi duduk sebagai terdakwa dalam kasus tersebut.
Kasus
tersebut dipicu terbunuhnya Prajurit Satu Heru Oktavianus, anggota Batalion
Armed Martapura, karena ditembak Brigadir Wijaya, anggota Kepolisian, Lalu Lintas Polres OKU, pada 27
Januari. Karena menganggap proses hukum terhadap Heru Oktavianus lamban, para
anggota TNI pun mendatangi markas Polres OKU, yang berakhir dengan perusakan
dan pembakaran kantor polisi itu.
Adapun
juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Ajun Komisaris Besar R. Djarod
Padakova, membantah sindiran Jenderal Pramono. Menurut dia, polisi harus
mengikuti prosedur yang ada di kejaksaan dan pengadilan.
Djarod
mengatakan kasus Brigadir Wijaya sebetulnya telah ditangani jauh hari sebelum
penyerangan anggota TNI ke markas kepolisian OKU. "Karena proses peradilan
umum beda dengan militer, kita ada proses pentahapan yang harus diikuti,"
ujarnya.
Djarod
mengatakan, kasus Brigadir Wijaya akan disidangkan di Pengadilan Negeri Palembang pada Senin besok.
“Sidang perdana itu juga akan disaksikan oleh keluarga korban alamarhum Pratu
Heru dan personel TNI lainnya," ucapnya.
Selain
masalah penyerangan kantor kepolisian OKU, Kasad Jenderal
Pramono Edhie mengatakan tentara juga bertindak cepat dalam menangani
kasus-kasus yang melibatkan anggotanya. Dia mencontohkan pengadilan militer
Bandung yang menjatuhkan hukuman mati kepada anggota TNI, Prajurit Dua Mart
Azzanul Ikhwan, yang membunuh kekasihnya, Shinta, yang tengah mengandung,
serta ibunda Shinta.
Demikian
pula, kata Pramono, peristiwa keributan di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI
Perjuangan di Lenteng Agung, yang melibatkan prajurit TNI beberapa hari yang lalu.
Dari 10 pelaku, lima terkena hukuman pelanggaran disiplin, dan lima lainnva dilimpahkan ke pengadilan militer.
Adapun untuk kasus penyerangan penjara Cebongan di
Sleman, Yogyakarta, pada 23 Maret lalu, Pramono mengatakan, pihaknya akan
segera menggelar sidang terbuka pengadilan militer. Dia meminta masyarakat
bersabar untuk bias
mengikutinya. Saya tidak mau mendahului hasil penyelidikan,“ katanya. (Sohirin, Parliza Hendrawan), Sumber: Koran Tempo (28 April 2013/Minggu, Hal. A3)