Jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil
unltik Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) mendesak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mereformasi TNI dengari mendorong DPR merevisi UU Peradilan Militer
sebelum mengakhiri masa tugasnya di pemerintahan. Koalisi terdiri dari berbagai
lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Imparsial, Setara Institute, Kontras,
Ridep lnstitute dan YLBHI.
Direktur Imparsial Poenky Indarti mengungkapkan, kekerasan
oleh anggota TNI tidak bisa dibenarkan siapa pun, termasuk pemimpin TNI dengan
dalih apa pun. Seperti diketahui, peristiwa kekerasan yang melibatkan tentara
kembali terjadi dengan melakukan penyerangan terhadap petugas keamanan di
kantor DPP PDIP dijalan Lenteng Agung,Jakarta Selatan, Sabtu (20/4) malam.
“Reformasi peradilan militer harus bisa
dilaksanakan di sisa masa jabatan pemerintahan Presiden SBY. Semua kejadian
kekerasan yang melibatkan tentara berimplikasi kepada tidak adanya efek jera
pelaku karena tidak adanya penghukuman yang adil. Maka reformasi peradilan
militer merupakan keharusan konstitusional yang harus dijalankan presiden dan
DPR," jelas Poenky saat konferensi pers KMSRSK di Kantor Imparsial, Jakarta,
Selasa (23/4).
Poenky mengkhawatirkan kasus kekerasan yang dilakukan
sejumlah anggota Batalyon Zeni Konstruksi/13 yang memukuli empat anggota staf PDIP
dapat terulang di mana saja. Padahal saat ini diketahui proses pengusutan
kasus pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan DIY serta pembakaran dan
penganiayaan Polres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan belumlah tuntas.
"Kami menyesalkan adanya sifat permisif atas
kekerasan anggota TNI selama ini dengan alasan jiwa korsa atau solidaritas.
Kami juga menyesalkan dibenarkannya pembunuhan dengan alasan melawan premanisme,"
jelasnya. Poenky berpendapat permisif dan permakluman dalam kasus penyerangan
empat tahanan titipan LP Cebongan tak lepas dari sikap Presiden SBY maupun
pihak lain yang menilai para pelaku pembunuhan tahanan LP Cebongan itu sebagai
kesatria. la mengungkapkan sikap kesatria seharusnya mengakui perbuatan saat
di awal dan bukan ketika kasus mulai terungkap, la khawatir sikap SBY saat ini dapat menambah panjang deretan kekerasan
melibatkan tentara.
"Lihat sekarang kasus kekerasan tentara
dilakukan di kantor parpol (PDIP) yang padahal parpol punya power. Bagaimana
kalau rumah kita yang kena, siapa yang akan menolong? Kita harus desak pemerintah
untuk serius mengubah peradilan militer ini," imbuhnya.
Ketua Setara Institute Hendardi menilai selama 8.5 tahun
pemerintahannya, SBY tidak menjalankan reformasi peradilan militer. Atas dasar
tersebut, ia pesimistis reformasi peradilan militer dapat dilakukan di
pemerintahan SBY. Menurutnya, dengan kondisi tersebut, SBY terkesan membiarkan
saja kekerasan yang dilakukan militer terhadap sipil. "Padahal selama UU
Peradilan Militer belum direvisi, berbagai persoalan kekerasan itu selalu akan
muncul," katanya.
Komando
Teritorial
Dalam kesempatan yang sama, Poenky mempertanyakan
mengapa di era reformasi dan demokratisasi, komando teritorial masih terlihat
sebagai bagian dari gelar kekuatan TNI. Menurutnya, komando teritorial yang
dibentuk pada masa lalu dan hingga kini masih kuat, tidak bisa dilepaskan dari
menguatnya politik militer di masa Orde Baru. Struktur komando teritorial
pada rezim Orde Baru, kata dia, digelar secara permanen mengikuti struktur
pemerintahan sipil. Dengan kondisi tersebut, komando teritorial menjadi
penyangga utama kekuatan rezim politik Orde Baru.
Mengutip pernyataan Ketum PDIP Megawati beberapa
waktu lalu yang mengatakan pola militer Babinsa (Badan Pembinaan Desa) sebagai
bagian terbawah dari struktur komando teritorial diduga digunakan untuk
kepentingan pilkada di Jawa Tengah, menurut Poenky hal tersebut merupakan
contoh struktur teritorial yang digunakan untuk kepentingan politik. Kebijakan
struktur komando teritorial sahutnya, harus ditinjau kembali, terlebih karena
dalam strategi pertahanan yang terintegrasi atau Integrated Armed Forces hal
tersebut tak dikenal.
Keberadaan komando teritorial, katanya, juga tak
lagi relevan dengan strategi pertahanan Indonesia. Keberadaan komando
teritorial juga dipandang tak sejalan dengan Undang-Undang TNI yang menyebutkan
gelar kekuatan TNI tidak mengikuti struktur pemerintahan sipil. (M Bachtiar Nur), Sumber Koran: Sinar
Harapan (24 April 2013/Rabu, Hal. 03)