Selasa, 23 April 2013 19:17 wib
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) diminta mereformasi TNI dengan mendorong DPR merevisi UU
Peradilan Militer sebelum mengakhiri masa tugasnya tahun depan.
Hal tersebut disampaikan Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) menanggapi peristiwa
kekerasan oleh oknum TNI yang terus saja terjadi.
"Semua kejadian kekerasan
yang melibatkan oknum tentara berimplikasi kepada tidak adanya efek jera pelaku
karena tidak adanya penghukuman yang adil. Reformasi peradilan militer
merupakan keharusan konstitusional yang harus dijalankan Presiden dan DPR RI,”
kata Direktur Imparsial Pungky Indarti di kantornya, Selasa (23/4/2013).
Pungky menilai, kekerasan yang
dilakukan para anggota Batalyon Zeni Konstruksi/13 yang memukuli empat anggota
staf PDI Perjuangan beberapa waktu lalu akan terus terjadi.
Padahal di saat yang sama proses
pengusutan kasus pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan serta pembakaran dan
penganiayaan Polres Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan belum tuntas.
"Kami menyesalkan adanya
sifat permisif atas kekerasan anggota TNI selama ini dengan alasan jiwa korsa
atau solidaritas. Kami juga menyesalkan dibenarkannya pembunuhan dengan alasan
melawan premanisme," tegasnya.
Dia menambahkan, sikap permisif
dan permakluman yang muncul selama ini tak lepas dari sikap Presiden SBY maupun
pihak lain yang menilai para pelaku pembunuhan tahanan LP Cebongan itu sebagai
kesatria.
Menurutnya, dengan sikap SBY yang
seperti itu justru akan menambah panjang kekerasan. Padahal kesatria itu selalu
mengakui perbuatannya di awal-awal, bukan di belakang ketika kasus itu mulai
terungkap.
"Lihat sekarang kasus
kekerasan tentara dilakukan di kantor parpol (PDIP) yang padahal parpol punya
power (besar). Bagaimana kalau rumah kita yang kena, siapa yang akan menolong?
Mau gak mau kita harus desak pemerintah untuk serius mengubah peradilan militer
ini,” urainya.
Selain itu, Pungky juga meminta
Presiden SBY segera merestrukturisasi komando teritorial terkait reformasi
reformasi TNI. Pasalnya, sebagai bagian dari gelar kekuatan TNI, komando
teritorial yang dibentuk pada masa lalu dan masih kuat hingga saat ini tidak
bisa dilepaskan dari menguatnya politik militer di masa Orde Baru. "Sebab
dalam catatan kami beberapa kasus kekerasan yang terjadi terdapat oknum anggota
TNI yang berada dalam kendali Komando Teritorial," sambungnya.
Sementara itu, Ketua Setara
Institute Hendardi mengaku pesimistis bahwa reformasi peradilan militer bisa terjadi
di pemerintahan SBY. Menurutnya SBY sudah tidak menjalankan reformasi selama
menjabat sebagai presiden.
"SBY terkesan membiarkan
saja kekerasan yang dilakukan militer terhadap sipil. Padahal selama UU
Peradilan Militer belum direvisi, maka berbagai persoalan kekerasan itu selalu
akan muncul," ungkapnya.
Ditegaskan Hendardi, perlu
dilakukan perubahan terhadap UU TNI dengan mengikutsertakan pihak eksternal.
Sebab peradilan militer berpeluang tidak transparan dan terkesan melindungi
para atasan TNI. Alhasil, oknum-oknum yang masih berpangkat rendah yang akan
dijadikan sebagai korban.
"Kami dijanjikan peradilan
militer lebih berat daripada peradilan sipil. Ini bukan persoalan hukuman berat
atau ringan, tapi persoalan hukuman tersebut harus transparan," tegasnya. Sumber : news.okezone.com