Senin, 18 Maret 2013

Tawuran TNI Lawan Polri

Dalam psikologi sosial, ada sebuah eksperimen tentang proses kelompok yang sangat terkenal. Eksperimen yang dilaksana­kan oleh Muzafir Sheriff dan istrinya pada tahun 1961, di Oklahoma, AS tersebut diawali dengan memilih 22, peserta yang disaring secara acak dari sejumlah remaja yang sehat jiwa raga­nya, tidak pernah terlibat kriminal, berasal dari keluarga menengah dan tidak pernah bermasalah dengan ke­luarganya. Mereka dipisah dalam dua kelompok, masing-masing 11 orang dan secara terpisah pula mereka diba­wa ke Robers Cave S tate Park (karena itu eksperimennya terkenal sebagai Ro­bers Cave experiment), yaitu suatu tempat rekreasi dan perkemahan.

Selama minggu pertama, kedua kelompok itu tidak saling bertemu dan tidak saling mengetahui kebera­daan kelompok yang lain. Kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari berpetualang, berenang, dan lainnya seperti kegiatan pramuka. Para pembimbing kelompok, yang juga anggota tim eks­perimen mengamati bagaimana ke­lompok ini membentuk identitas diri­nya. Mereka diminta membuat nama untuk kelompoknya. Yang satu menamakan diri mereka kelompok "Elang" dan yang lain "Ratle" (ular yang paling berbisa di Amerika). Anggota yang paling menonjol berfungsi sebagai pemimpin dan mereka pun menciptakan lagu-lagu dan yel-yel kebanggaan kelompok masing-masing.

Pada minggu kedua, mereka mulai dipertemukan satu sama lain. Perta­ma kali mereka bertemu di ruang makan. Sudah terlihat bahwa mereka duduk menggerombol sesuai dengan kelompok masing-masing. Acara berikutnya adalah perlombaan-perlombaan antara kedua kelompok. Rasa tidak senang antar anggota kedua kelompok pun makin terbuka: saling mengejek, menciptakan yel-yel baru untuk menghina lawan dsb. Setelah penghitungan skor akhir hasil-hasil lomba ternyata kelompok Elang menang.

Justru kelompok Elang ini­lah yang makin agresif menye­rang kelompok "Ratle", sehing­ga hampir terjadi perkelahian fisik dan akhirnya para pem­bimbing (peneliti) memutus­kan untuk menyudahi eksperi­men dan mengembalikan re­konsiliasi antara mereka.

Para peneliti kemudian membawa kedua kelompok itu ke bak air tempat persediaan air minum mereka yang sudah bo­cor karena dilubangi tangan-tangan jahil. Mau tidak mau, semua anggota kelompok Elang maupun Ratle dan para pembimbing harus turun tangan bareng untuk memperbaiki kebo­coran. Rekonsiliasi pun mulai terjadi, karena tanpa bak air minum, mereka bisa mati kehausan dalam beberapa hari tersisa di Robers Cave.

Tidak cukup dengan itu, setelah urusan bak air selesai, para pembimbing mengatur acara nonton bareng. Peserta dipersilakan bersepakat untuk memilih filmnya, ternyata kesepakatan cepat terjadi, dan me­reka pun pergi nonton bareng seolah-olah tidak pernah terja­di apa-apa antara mereka.

Kamis pagi, 7 Maret 2013, puluhan anggota Batalyon Armed 15/105 TNI Tarik Marta­pura membakar Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Tidak penting alasannya, tetapi kejadian se­perti ini sudah berkali-kali sebe­lumnya, dengan alasan yang bermacam-macam (umumnya berawal dari masalah perorang­an), bahkan sejak orde lama. Se­masa saya aktif demo di tahun 1966, RPKAD, Divisi Siliwangi dan Kostrad (yang pro-Soeharto dan mahasiswa) konflik melawa Brimob, KKO, TNIAU, dan Cakrabirawa (yang pro-Soekarno).

Latar belakangnya: politik. Tentu saja hari ini hampir tidak ada lagi pengaruh politik pada hubungan TNI-Polri. Kedua institusi sudah menyatakan diri bebas politik. Tetapi mengapa konflik antara kedua institusi pengawal bangsa itu masih terus berlangsung?

Banyak pakar yang mengajukan berbagai teori. Ada teori TNI iri pada Polri, karena anggaran Polri lebih besar, ada teori Polri iri pada TNI karena remunerasi TNI lebih besar, ada teori tentang Polri seharusnya di bawah Kementerian Dalam negeri.

Tetapi teori-teori itu pepesan kosong semua. Contoh yang gampang, di AS sekalipun Polri tidak berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Te­tapi mengapa TNI versus Polri masih tawuran terus?
Kalau kita terapkan eksperi­men Robers Cave ke konflik TNI versus Polri, kita akan bisa lebih mengerti mengapa konflik itu terus berlangsung. Pembakar­an Kantor Polres OKU bukan masalah perorangan. Penye­rang berseragam, sejumlah ti­ga peleton, menggunakan truk angkutan personel, dan dipim­pin oleh seorang mayor. Ini sudah bisa dikatakan mewakili institusi. Di sisi lain tidak bijak juga selalu menutup-nutupi seakan-akan tidak pernah ada konflik. Memang bukan konflik antar institusi, tetapi antar ke­lompok yang membawa iden­titas institusi.

Sejak reformasi, Polri dipi­sahkan dari TNI, pendidikan taruna (calon perwira) kedua institusi itu di akademinya masing-masing dilaksanakan terpisah. Berbeda dengan za­man Orde Baru, para taruna dari ketiga angkatan TNI dan Polri berkali-kali belajar dan berlatih gabungan. Maka mere­ka saling kenal.

Tetapi para tamtama dan bintara, yang langsung adu jotos di lapangan, sejak dulu memang sama sekali tidak pernah dididik bersama. Maka mereka pun (korps TNI dan korps Polri) mengembangkan identitas diri dan kepemim­pinan masing-masing, persis se­perti kelompok Elang dan Ratle dalam eksperimen Robers Cave.

Tiba pada giliran mereka harus bertugas di lapangan, terjadilah persaingan antara kedua kelompok. Kebetulan di jaman Orde Baru, TNI selalu mendapat skor yang lebih tinggi (politik Dwifungsi dari Soehar­to), maka tentu saja di kalangan Polri Ratle timbul reaksi. Di zaman Soeharto, setiap mem­beri kuliah di PTIK, saya sudah sering mendengar istilah-isti­lah ejekan dari mahasiswa terhadapTNI AD seperti "saudara tua" atau "laler ijo". Dalam psikologi, gejala ini dinamakan "Dehuma­nisasi" (tidak dianggap sebagai manusia), yang merupakan indikator api dalam sekam yang sangat berbahaya karena bisa meledak sewaktu-waktu.

Maka sia-sialah kalau seba­gai jalan keluarnya anggota TNI dan Polri hanya disuruh main olahraga atau nari-nari bareng. Itu hanya perdamaian dan se­nyum semu. Perasaan gondoknya belum hilang. Untuk meng­hilangkannya, perlu diikuti tek­niknya Sherif, yaitu menghadapkan kedua kelompok ke da­lam suatu masalah yang harus diselesaikan berdua, Misalnya bertugas bersama mengatasi teror, bareng-bareng mengatasi kerusuhan atau bersama me­ngawal perbatasan. Sumber Koran: Seputar Indonesia (17 Maret 2013/Minggu, Hal. 01)