Selasa, 26 Maret 2013

Penegakan Hukum_LSM: Revisi UU Peradilan Militer


Jakarta,      Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak peme­rintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal itu penting dilaku­kan menyusul rentetan pe­ristiwa kekerasan yang di­duga dilakukan oleh oknum anggota TNI yang terjadi belakangan ini.

Berdasarkan catatan Elsam, pada 2012 lalu, seti­daknya terjadi 17 kali peris­tiwa kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum apa­rat TNI. Termasuk soal pe­ristiwa penyerangan markas polisi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang terjadi baru-baru ini.

"Maraknya aksi kekerasan yang diduga dilakukan ok­num anggota TNI karena ti­dak ada penghukuman maksimal dan optimal, karena banyak ditangani di peradilan militer, sehingga tidak ada penghukuman maksimal," ujar peneliti Elsam Wahyudi Djafar, Senin (25/3).

Selama ini, peradilan militer juga menggunakan KUHAP militer, bukan KUHAP umum, sehingga penghu­kuman terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran tidak maksimal. Akibatnya, para pelaku seolah tidak terjangkau oleh hukum.

Oleh sebab itu, Wahyudi mendesak agar revisi UU yang mengatur peradilan milter direalisasikan segera untuk mengantisipasi keja­dian serupa di masa yang akan datang.

Desakan yang sama di­sampaikan Koordinator Ko­misi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekeras­an (Kontras). Haris Azhar. Ia mengatakan, maraknya tindakan kekerasan oleh oknum aparat militer membuat revisi UU Peradilan Militer sa­ngat mendesak diwujudkan.

Kontras mencatat, dalam kurun waktu 2004-2013, terjadi tidak kurang dari 87 kasus tindak kekerasan yang melibatkan anggota militer. Pada 2012 ada 17 kasus. Sebelas di antaranya (selama 2012) yang menjadi korban adalah jurnalis.

Berulangnya kasus se­macam itu, menurut Haris, bisa terjadi karena tidak per­nah ada penghukuman yang jelas. "Semua diproses di sa­na (Peradilan Militer), dari adu ayam sampai maling. Semua ke sana. Padahal, pelanggaran hukum yang dila­kukan oknum militer terse­but tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas kemiliteran yang bersangku­tan," ujar Haris.

Dengan mekanisme itu, kata Haris, para pelaku tin­dak pidana dari kalangan militer pun tidak mendapat hukuman yang maksimal. "Mereka merasa di atas angin, tidak bisa dijangkau oleh hukum. Justru mereka terkesan kebal hukum," tuturnya Haris lagi.

Haris juga menyampai­kan kekecewaanya terhadap lembaga legislatif yang tidak memasukkan revisi UU Peradilan Militer dalam Pro­gram Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011. Padahal revisi itu bisa menjadi alat alat untuk menjerat tindak kesewenang-wenangan ok­num militer.

"Revisi UU Peradilan Mili­ter itu harus dijadikan agenda dari reformasi militer dan peradilan, ujarnya menambahkan. Jika masih menggunakan UU yang berlaku saat ini, katanya, anggota militer tidak akan bisa dise­ret ke pengadilan HAM, pengadilan korupsi, dan pe­ngadilan hukum lainnya.

"Contohnya, beberapa kasus sampai saat ini tak je­las ujungnya. Misalnya ka­sus Alas Tlogo dan penyik­saan di Papua yang videonya tersebar luas di youtube. Jadi, kalau revisi UU ini ti­dak segera disahkan, kami pesimistis peradilan militer akan mampu mengungkap tuntas kasus-kasus yang melibatkan anggotanya," ujar Haris lebih lanjut.

Menanggapi hal itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengaku, pihaknya tengah mempertimbangkan revisi UU Peradilan Militer yang sempat terhenti me­nyusul maraknya kasus-ka­sus pelanggaran hukum yang diduga melibatkan ok­num anggota militer.

"Yang terjadi saat ini yang sudah, masuk pada wilayah hukum pidana sipil, makanya banyak pihak yang mendorong Komisi I DPR agar segera merevisi UU yang mengatur peradilan militer," ujar politisi PKS ini.

Ia mengatakan bahwa peradilan militer didasari asumsi pelanggaran-pelang­garan yang dilakukan oknum prajurit TNI di lingkungan TNI dan pelanggaran terha­dap disiplin organisasi TNI.

"Namun, ketika ada ok­num prajurit TNI melakukan tindakan melanggar hukum di wilayah sipil dan terhadap warga sipil, maka seharus­nya, selain proses peradilan militer, juga harus dihadap­kan pada peraduan sipil. Sebab, hakikatnya ada dua aturan hukum vane dilanggar, yaitu militer dan sipil,” ujar Mahfudz menambahkan. (Sugandi), Sumber Koran: Suara Karya (26 Maret 2013/Selasa, Hal. 05)