Jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan DPR merevisi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal itu penting dilakukan menyusul rentetan peristiwa
kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum anggota TNI yang terjadi belakangan
ini.
Berdasarkan catatan Elsam, pada 2012 lalu, setidaknya
terjadi 17 kali peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum aparat
TNI. Termasuk soal peristiwa penyerangan markas polisi di Kabupaten Ogan
Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang terjadi baru-baru ini.
"Maraknya aksi kekerasan yang diduga dilakukan oknum
anggota TNI karena tidak ada penghukuman maksimal dan optimal, karena banyak
ditangani di peradilan militer, sehingga tidak ada penghukuman maksimal,"
ujar peneliti Elsam Wahyudi Djafar, Senin (25/3).
Selama ini, peradilan militer juga menggunakan KUHAP
militer, bukan KUHAP umum, sehingga penghukuman terhadap anggota TNI yang
melakukan pelanggaran tidak maksimal. Akibatnya, para pelaku seolah tidak terjangkau
oleh hukum.
Oleh sebab itu, Wahyudi mendesak agar revisi UU yang
mengatur peradilan milter direalisasikan segera untuk mengantisipasi kejadian
serupa di masa yang akan datang.
Desakan yang sama disampaikan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras).
Haris Azhar. Ia mengatakan, maraknya tindakan kekerasan oleh oknum aparat militer
membuat revisi UU Peradilan Militer sangat
mendesak diwujudkan.
Kontras mencatat, dalam kurun waktu 2004-2013, terjadi
tidak kurang dari 87 kasus tindak kekerasan yang melibatkan anggota militer.
Pada 2012 ada 17 kasus. Sebelas di antaranya (selama 2012) yang menjadi korban
adalah jurnalis.
Berulangnya kasus semacam itu, menurut Haris, bisa
terjadi karena tidak pernah ada penghukuman yang jelas. "Semua diproses
di sana (Peradilan Militer), dari adu ayam sampai maling. Semua ke sana.
Padahal, pelanggaran hukum yang dilakukan oknum militer tersebut tidak ada
kaitannya sama sekali dengan tugas kemiliteran yang bersangkutan," ujar
Haris.
Dengan mekanisme itu, kata Haris, para pelaku tindak
pidana dari kalangan militer pun tidak mendapat hukuman yang maksimal. "Mereka merasa di atas angin,
tidak bisa dijangkau oleh hukum. Justru mereka terkesan kebal hukum,"
tuturnya Haris lagi.
Haris juga
menyampaikan kekecewaanya terhadap lembaga legislatif yang tidak memasukkan
revisi UU Peradilan Militer dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2011. Padahal revisi itu bisa menjadi
alat alat untuk menjerat tindak kesewenang-wenangan oknum militer.
"Revisi UU Peradilan Militer itu harus dijadikan
agenda dari reformasi militer dan peradilan, ujarnya menambahkan. Jika masih
menggunakan UU yang berlaku saat ini,
katanya, anggota militer tidak akan bisa diseret ke pengadilan HAM, pengadilan
korupsi, dan pengadilan hukum lainnya.
"Contohnya, beberapa kasus sampai saat ini tak jelas
ujungnya. Misalnya kasus Alas Tlogo dan penyiksaan di Papua yang videonya
tersebar luas di youtube. Jadi, kalau revisi UU ini tidak segera
disahkan, kami pesimistis peradilan militer akan mampu mengungkap tuntas
kasus-kasus yang melibatkan anggotanya," ujar Haris lebih lanjut.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq
mengaku, pihaknya tengah mempertimbangkan revisi UU Peradilan Militer yang
sempat terhenti menyusul maraknya kasus-kasus pelanggaran hukum yang diduga
melibatkan oknum anggota militer.
"Yang terjadi saat ini yang sudah, masuk pada
wilayah hukum pidana sipil, makanya banyak pihak yang mendorong Komisi I DPR
agar segera merevisi UU yang mengatur peradilan militer," ujar politisi
PKS ini.
Ia mengatakan bahwa peradilan militer didasari asumsi
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oknum prajurit TNI di lingkungan TNI
dan pelanggaran terhadap disiplin organisasi TNI.
"Namun, ketika ada oknum prajurit TNI melakukan
tindakan melanggar hukum di wilayah sipil dan terhadap warga sipil, maka
seharusnya, selain proses peradilan militer, juga harus dihadapkan pada peraduan
sipil. Sebab, hakikatnya ada dua
aturan hukum vane dilanggar, yaitu militer dan sipil,” ujar
Mahfudz menambahkan. (Sugandi), Sumber Koran: Suara
Karya (26 Maret 2013/Selasa, Hal. 05)