Jakarta, Pertemuan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sejumlah jenderal purnawirawan
TNI di Istana, Rabu (13/3) lalu, dinilai sebagai upaya meredam gerakan
menjatuhkan pemerintah. Sebab, kudeta akan merusak masa depan negara karena
merupakan pengkhianatan terhadap bangsa.
Tatap muka SBY dengan Luhut Binsar Panjaitan, Subagyo
HS, Fahrul Rozi, Agus Widjojo, Johny Josephus, Sumardi, dan Suaidi Marasabessy,
itu juga dalam rangka mendinamiskan relasi antar partai.
Demikian dikemukakan pengamat politik Universitas
Indonesia (UI) Andrinpf Chaniago, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ah-mad
Mubarok, Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari,
dan Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Ricky Rachmadi, di Jakarta, kemarin.
"Menjatuhkan pemerintahan yang dipilih oleh
rakyat secara langsung sebelum periode kekuasaannya berakhir merupakan
pengkhianatan terhadap bangsa. Semua sudah diatur dalam undang-undang. Jadi,
kalau ingin mengganti pemerintahan harus sesuai konstitusi, yaitu lewat
pemilihan umum presiden-wapres," ujar Ricky Rachmadi saat menjadi
narasumber dalam sebuah acara bersama Ahmad Mubarok, dan pengamat politik
Universitas Indonusa Esa Unggul Tjipta Lesmana, di Jak TV, Jakarta, akhir pekan
lalu. " Ricky meyakini, salah satu agenda pertemuan SBY-purnawirawan
jenderal, membahas soal rencana sejumlah pihak menjatuhkan pemerintah sebelum
2014. "Ini tak boleh terjadi. Karena, dalam demokrasi, mengkritik boleh,
tapi menjatuhkan pemerintahan sebelum periodenya berakhir, melanggar
konstitusi," ujarnya.
Ricky menambahkan, pertemuan SBY-purnawirawan
jenderal juga untuk mendinamisasikan parpol melalui para mantan petinggi TNI
yang menjadi pengurusnya. "Sebab, mereka berasal dari lintas parpol, bukan
satu partai politik saja. Ini kemungkinan untuk mendinamisasikan parpol,"
ucapnya.
Goyang Stabilitas
Ahmad Mubarok juga menilai, wajar jika SBY
melakukan langkah tersebut. Apalagi, sempat terjadi pertikaian antaraparat
yang melibatkan TNI, anarkisme, kriminalitas, sehingga menggoyang stabilitas
negara. "Saya kira, itu memperkuat visi memperkuat stabilitas,"
katanya.
Ia pun menyangkal kalau pertemuan' itu jadi ajang
bagi SBY untuk konsolidasi politik menjelang Pemilu 2014. Menurut dia, apa yang
dilakukan SBY lebih dari itu. Yakni, lebih ditujukan pada setelah pemilu 2014 berakhir,
TNI tetap menjadi bagian dari kesatuan bangsa. Serta, turut membantu pemerintah
menjaga stabilitas nasional.
Hal sama disampaikan Andrinof Chaniago. Menurut
dia, kudeta adalah kegiatan yang melawan konstitusi. Andrinof menganggap, pertemuan
SBY-purnawirawan jenderal, membahas stabilitas nasional. "Saya duga, itu
membicarakan masa pemerintah dan negara," katanya.
Hajriyanto masih meragukan isu penggulingan pemerintah.
"Mungkin dalam tataran wacana atau celetukan-celetukan memang ada. Bahkan
kadang-kadang terdengar. Tetapi, saya kok tak melihatnya telah menjadi sebuah
gerakan," ucapnya.
Menurut dia, dari wacana ke gerakan itu, membutuhkan
waktu dan proses yg sangat panjang. Apalagi wacana penggulingan sendiri masih
sangat sumir dan tercecer-cecer. "Saya rasa, rakyat menginginkan jadwal
demokrasi lima tahunan itu diikuti dan ditaati secara baik," katanya.
Hajriyanto menambahkan, terlalu mahal harga sosial
politiknya, jika jadwal demokrasi lima tahunan diabaikan. Membangun demokrasi
itu perlu kesabaran, ketekunan, dan nafas panjang.
"Langkah-langkah drastis yang instan itu tak
positif dan konstruktif. Maka pikiran-pikiran yang bersifat paranoid,
sebaiknya juga ditinggalkan oleh penguasa. Sikap kritis terhadap pemerintah
yang kadang-kadang diartikulasikan secara keras adalah biasa, dan tak harus
dipahami sebagai gerakan penggulingan," ucapnya.
Dia mengibaratkan hal itu sebagai orang yang menyetel
radio terlalu keras. "Yang pasti, undangan pertemuan seperti itu justru
menjadi sinyal politik yang positif bagi rakyat. Tapi jangan sampai ada opini
yang berkembang bahwa keadaan politik sangat genting. Padahal rakyat tidak
ingin politik gaduh. Rakyat menginginkan kalender politik dan demokrasi
ditaati dengan konsisten oleh semua pihak," tuturnya. (Yudhiarma), Sumber Koran:
Suara Karya (18 Maret 2013/Senin, Hal. 03)