Senin, 18 Maret 2013

Pertemuan SBY-Jenderal: Cegah Gerakan Jatuhkan Pemerintah



Jakarta,       Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sejum­lah jenderal pur­nawirawan TNI di Istana, Rabu (13/3) lalu, dinilai sebagai upaya meredam gerakan menjatuhkan pemerintah. Sebab, kudeta akan merusak masa depan negara karena merupakan pengkhianatan ter­hadap bangsa.

Tatap muka SBY dengan Luhut Binsar Panjaitan, Subagyo HS, Fahrul Rozi, Agus Widjojo, Johny Josephus, Sumardi, dan Suaidi Marasabessy, itu juga dalam rangka mendinamiskan re­lasi antar partai.

Demikian dikemukakan pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Andrinpf Chaniago, anggota Dewan Pem­bina Partai Demokrat Ah-mad Mubarok, Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wa­kil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari, dan Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Ricky Rachmadi, di Jakarta, ke­marin.

"Menjatuhkan pemerin­tahan yang dipilih oleh rak­yat secara langsung sebelum periode kekuasaannya ber­akhir merupakan pengkhia­natan terhadap bangsa. Se­mua sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, kalau ingin mengganti pemerin­tahan harus sesuai konsti­tusi, yaitu lewat pemilihan umum presiden-wapres," ujar Ricky Rachmadi saat menjadi narasumber dalam sebuah acara bersama Ahmad Mubarok, dan pengamat politik Universitas Indonusa Esa Unggul Tjipta Lesmana, di Jak TV, Jakarta, akhir pekan lalu. " Ricky meyakini, salah sa­tu agenda pertemuan SBY-purnawirawan jenderal, membahas soal rencana se­jumlah pihak menjatuhkan pemerintah sebelum 2014. "Ini tak boleh terjadi. Karena, dalam demokrasi, meng­kritik boleh, tapi menjatuh­kan pemerintahan sebelum periodenya berakhir, me­langgar konstitusi," ujarnya.

Ricky menambahkan, pertemuan SBY-purnawirawan jenderal juga untuk mendinamisasikan parpol melalui para mantan peting­gi TNI yang menjadi pengu­rusnya. "Sebab, mereka ber­asal dari lintas parpol, bu­kan satu partai politik saja. Ini kemungkinan untuk mendinamisasikan parpol," ucapnya.

Goyang Stabilitas
Ahmad Mubarok juga menilai, wajar jika SBY melakukan langkah terse­but. Apalagi, sempat terjadi pertikaian antaraparat yang melibatkan TNI, anarkisme, kriminalitas, sehingga menggoyang stabilitas negara. "Saya kira, itu mem­perkuat visi memperkuat stabilitas," katanya.

Ia pun menyangkal kalau pertemuan' itu jadi ajang bagi SBY untuk konsolidasi politik menjelang Pemilu 2014. Menurut dia, apa yang dilakukan SBY lebih dari itu. Yakni, lebih ditujukan pada setelah pemilu 2014 ber­akhir, TNI tetap menjadi ba­gian dari kesatuan bangsa. Serta, turut membantu pe­merintah menjaga stabilitas nasional.

Hal sama disampaikan Andrinof Chaniago. Menurut dia, kudeta adalah kegiatan yang melawan konstitusi. Andrinof menganggap, per­temuan SBY-purnawirawan jenderal, membahas stabili­tas nasional. "Saya duga, itu membicarakan masa peme­rintah dan negara," katanya.

Hajriyanto masih mera­gukan isu penggulingan pe­merintah. "Mungkin dalam tataran wacana atau celetuk­an-celetukan memang ada. Bahkan kadang-kadang ter­dengar. Tetapi, saya kok tak melihatnya telah menjadi sebuah gerakan," ucapnya.

Menurut dia, dari waca­na ke gerakan itu, membu­tuhkan waktu dan proses yg sangat panjang. Apalagi wa­cana penggulingan sendiri masih sangat sumir dan tercecer-cecer. "Saya rasa, rak­yat menginginkan jadwal de­mokrasi lima tahunan itu di­ikuti dan ditaati secara baik," katanya.

Hajriyanto menambah­kan, terlalu mahal harga so­sial politiknya, jika jadwal demokrasi lima tahunan di­abaikan. Membangun demo­krasi itu perlu kesabaran, ketekunan, dan nafas panjang.

"Langkah-langkah dras­tis yang instan itu tak positif dan konstruktif. Maka pikir­an-pikiran yang bersifat pa­ranoid, sebaiknya juga di­tinggalkan oleh penguasa. Sikap kritis terhadap pemerintah yang kadang-kadang diartikulasikan secara keras adalah biasa, dan tak harus dipahami sebagai gerakan penggulingan," ucapnya.

Dia mengibaratkan hal itu sebagai orang yang me­nyetel radio terlalu keras. "Yang pasti, undangan per­temuan seperti itu justru menjadi sinyal politik yang positif bagi rakyat. Tapi jangan sampai ada opini yang berkembang bahwa keadaan politik sangat genting. Pa­dahal rakyat tidak ingin poli­tik gaduh. Rakyat meng­inginkan kalender politik dan demokrasi ditaati de­ngan konsisten oleh semua pihak," tuturnya. (Yudhiarma), Sumber Koran: Suara Karya (18 Maret 2013/Senin, Hal. 03)