Kamis, 28 Maret 2013

Kopassus Terbuka Investigasi

Yogyakarta,     Rencana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta keterangan kepada Grup 2 Komando Pasukan Khusus, Kandang Menjangan, Surakarta, Jawa Tengah, batal karena belum mengantongi izin dari Markas Besar TNI. Namun,. Kopassus terbuka terhadap investigasi dari aparat penegak hukum, termasuk Komnas HAM.

Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan, menu­rut rencana, Rabu (27/3), Komnas HAM akan berangkat  ke Surakarta untuk me­minta keterangan terkait kasus penyer­buan LP Cebongan, Sleman, kepada jajaran Grup 2 Kopassus, Kandang Men­jangan. Namun sehari sebelum­nya, melalui telepon, Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Men­jangan Letnan Kolonel (Inf) Maruli Simanjuntak  mengatakan belum ada izin dari Mabes TNI.

"Mereka (Kopassus) memiliki birokrasi sendiri dan mereka mengatakan belum ada izin dari Mabes TNI. Kami tidak akan meminta izin, tetapi kami akan datang ke Mabes TNI dan meminta Mabes mengundang Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan," ujar Siti, Rabu di Yogyakarta.

Asisten Intelijen Kopassus Letkol (Ini) Richard Tampubolon saal dikonfirmasi menga­takan, Kopassus terbuka terhadap investigasi dari aparat pe­negak hukum. termasuk Komnas HAM. Ia mengatakan,   sesuai aturan, ada prosedur yang harus dilakukan Komnas HAM. "Jadi seperti biasa, izinnya disampai­kan ke Mabes TNI, lalu Mabes TNI AD, kami tinggal mengikuti," ujar Richard. Ia mengatakan, se­cara internal saat ini Kopassus tengah melakukan investigasi.

Komnas HAM sebenarnya telah mengirim surat kepada Komandan Grup 2 Kopassus de­ngan tembusan kepada Koman­dan Jenderal Kopassus, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Men­teri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Namun, pihak Grup 2 Kopassus belum bersedia dimintai keterangan ka­rena menunggu izin tertulis dari Mabes TNI. Untuk itu, pekan ini Komnas HAM segera melayang­kan surat ke Mabes TNI untuk mengundang Komandan Grup 2 Kopassus ke Mabes TNI.

Menurut Siti, semua pihak yang terkait dengan kasus pe­nyerangan LP Cebongan akan dimintai keterangan, termasuk Grup 2 Kopassus. "Kami ingin mendengar langsung dan me­minta konfirmasi tentang ber­bagai hal, salah satunya kebe­naran apakah Sertu Santoso be­nar-benar anggota kesatuan Ko­passus atau tidak," ujarnya.

Sebelumnya, Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Saroso membantah korban pembunuhan di Hugo's Cafe, Sertu Santoso, adalah ang­gota Grup 2 Kopassus. Santoso mantan anggota Grup 2 yang telah pindah ke Detasemen Intel Kodam IV/Diponegoro. Karena itu, Komnas HAM akan meng­klarifikasi hal tersebut.

Kemarin, Komnas HAM juga berkoordinasi dengan Kapolda DI Yogyakarta Brigadir Jenderal (Pol) Sabar Rahardjo untuk memberikan jaminan keamanan kepada mahasiswa Nusa Tengga­ra Timur di Yogyakarta. Komnas HAM juga menyerahkan satu proyektil yang ditemukan lagi di LP Cebongan saat sel A5 di Blok Anggrek (tempat penembakan) dibersihkan. Jadi, total ada 32 proyektil dan selongsong peluru.

Menurut Sabar, Polda DI Yog­yakarta telah meminta keterangan 46 saksi. Mereka adalah sipir, tahanan satu sel bersama empat korban penembakan, dan masyarakat sekitar. "Pokoknya secepatnya, enggak usah lama-la­ma, enggak usah ditutup-tutupi. Begitu jelas, maka langsung di­ungkap," kata Sabar.

Sabar membenarkan, berda­sarkan kesaksian para saksi, 31 tahanan disuruh bertepuk tangan oleh gerombolan penembak pasca penembakan. Di bawah to­dongan senjata, para tahanan ter­paksa bertepuk tangan.

Kepala Keamanan LP Margo Utomo yang turut ditodong senjata oleh para pelaku juga membenarkan. Saat pelaku me­nembaki empat tahanan, 31 ta­hanan lain terdiam dan tak bisa berbuat apa-apa.

Karena itu, untuk mengung­kap pelakunya, polisi perlu mem­buat sketsa wajah salah satu pe­laku dan menyebarkannya ke publik. Menurut Ketua Presidi­um Indonesia Police Watch Neta S Pane, sketsa wajah itu bisa dibuat berdasarkan keterangan saksi, khususnya petugas LP yang melihat wajah pelaku yang me­nunjukkan "surat dari polda" saat akan masuk ke pintu LP.

Kepala Biro Penerangan Ma­syarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar menga­takan, polisi tentu akan meman­faatkan semua keterangan para saksi dan temuan fakta di tempat kejadian untuk bahan penyelidikan lanjutan. Kualitas ke­terangan saksi dapat saja menjadi bahan bagi aparat kepolisian un­tuk membuat sketsa wajah dari salah satu pelaku.

Koalisi tokoh dan masyarakat sipil pun mengkhawatirkan rak­yat yang merasa terancam. Pa­dahal, Indonesia adalah negara hukum. "Penyerangan dan pem­bunuhan di LP Sleman tanda kehidupan negara hukum terancam," kata Poengky Indarti da­ri Imparsial yang membacakan pernyataan tersebut, Rabu.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menilai, kasus itu sangat serius karena merupakan serang­an terencana terhadap institusi negara.

Sosiolog UI Tamrin Amal Tomagola mengatakan, rakyat ke­cewa karena pasca peristiwa, re­aksi pejabat sipil dan militer be­lum apa-apa sudah membantah. Tuntutan saat ini adalah Pre­siden agar membentuk tim in­vestigasi yang independen.

Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto meminta para pe­mimpin yang anak buahnya ber­senjata untuk introspeksi. "Bu­tuh kejujuran pemimpin untuk melakukan penyelidikan internal untuk kemudian disampaikan kepada aparat yang berwenang," kata Wiranto. (ABK/FER/EDN/IAM/ODY/EGI/LOK), Sumber Koran: Kompas (28 Maret 2013/Kamis, Hal. 01)