Anggota Komisi III DPR, Achmad Dimyati Natakusumah,
mengatakan, sudah seharusnya hukum militer dimasukkan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).
"Supaya jelas, jangan sampai hukum militer
itu dianggap diselesaikan oleh militer. Di Indonesia tidak boleh ada lagi hukum
rimba, hukum jalanan atau main bunuh," ujar Dimyati di Jakarta, Minggu
(24/3).
Dimyati yakin, hukum militer bisa dimasukkan dalam
KUHP. Sebab, menurutnya, hukum militer berkaitan dengan Mahkamah Agung (MA).
"Bisa juga dimasukkan. Kita lihat pra acaranya
karena itu kaitannya dengan MA. Nanti ada juga MA kamar militer namanya. Jadi
dengan sendirinya memang mengatur peradilan militer itu," katanya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor
Keamanan (KMSRSK) juga menuntut reformasi peradilan militer dengan merevisi
UU No 31 tahun 1997. Peradilan militer harus juga menggunakan KUHAP umum, bukan
KUHAP militer, sehingga bisa memberikan hukuman maksimal kepada oknum militer
yang melakukan tindak pidana.
Peneliti Elsam, Wahyudi mengatakan, maraknya aksi
kekerasan yang melibatkan oknum militer karena tidak ada penghukuman maksimal
dan optimal terhadap pelakunya.
Menurutnya, selama tahun 2012 ada sekitar 17
peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan oknum aparat TNI. Tetapi peradilan
militer banyak yang tidak memberikan penghukuman maksimal.
"Akibatnya, mereka di atas angin, tidak terjangkau
hukum sehingga muncul kekerasan terus menerus," kata Wahyudi.
Karenanya, ia meminta agar percepat revisi UU yang
mengatur peradilan milter. "Untuk menghentikan kekerasan oleh oknum TNI
ini, penting DPR membahas revisi peradilan militer." tegas Wahyudi.
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi asas
persamaan di hadapan hukum, sudah seharusnya oknum anggota TNI yang melakukan
tindak pidana umum, diperlakukan sama dengan warga negara lainnya.
"Diadili dalam mekanisme peradilan umum," tabuhnya.
Agenda reformasi militer, kata Wahyudi sesungguhnya
telah menjadi mandat UU TNI nomor 34 tahun 2004, pasal 65. Dengan berjalannya
reformasi peradilan militer, maka diharapkan akan memberikan kontribusi
positif di dalam meminimalisasi aksi kekerasan dan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh anggota TNI.
Ketua SETARA Institut, Hendardi juga mengatakan,
jangan sampai impunitas terus melekat pada anggota TNI. Brutalitas anggota TNI
juga tidak cukup hanya diserahkan penyidikannya pada internal TNI.
"Apalagi kepolisian jelas tidak punya akses
dan mentalitas untuk menyidik anggota TNI. Suatu tim investigasi eksternal yang
kredibel," ujarnya. (Friederich
Batari), Sumber Koran: Jurnal Nasional (25 Maret 2013/Senin, Hal. 03)