Serbuan sekitar 17 orang yang disebut
petinggi TNI AD di Jateng sebagai "gerombolan" bersenjata api laras
panjang, pistol, dan granat ke Lapas Cebongan, Sleman, DIY, Sabtu (23/3) dini
hari, agaknya adalah indikasi "paling sempurna" tentang kian
merajalelanya hukum rimba di negeri ini.
Mengambil hukum ke tangan mereka (taking into their
hands), "gerombolan" tersebut menewaskan empat orang asal Nusa
Tenggara Timur, tahanan titipan Polri yang merupakan tersangka pengeroyokan
yang menewaskan anggota Kopassus TNI AD, Sertu Santoso, Selasa (19/3), di
sebuah kafe di Sleman.
Sebelumnya, Kamis (7/3), masih segar dalam ingatan,
sejumlah oknum TNI AD Armed 76/15 Martapura menyerbu kompleks Markas Polres
Ogan Komering Ulu (OKU). Serbuan ini meluluhlantakkan sebagian
bangunan beserta peralatan kantor dan arsip, puluhan motor dan mobil, serta
menewaskan satu orang sipil. Aksi ini adalah buntut dari tewasnya anggota TNI
AD dari satuan tersebut, Pratu Heru, oleh Brigadir Wijaya, anggota Satlantas
Polri, Minggu (27/1). Tak sabar menunggu proses hukum yang sedang dilakukan
polda di Palembang, kumpulan anggota TNI AD tersebut menjalankan hukum rimba.
Lampu merah
Hukum rimba jelas kian merajalela di berbagai pelosok
negeri ini sehingga dapat dikatakan sudah mencapai tingkat "lampu
merah". Meruyaknya hukum rimba telah menjangkiti berbagai lapisan
masyarakat, mulai dari perkampungan hingga pusat keramaian, seperti terminal
bus atau pasar. Celakanya, hukum rimba juga mewabahi kalangan penegak hukum
dan pemelihara keamanan yang memiliki senjata api yang dapat digunakan kapan
saja.
Wabah main hakim sendiri terlihat jelas seiring dengan
merosotnya kewibawaan negara, dan penegak hukum pasca pemerintahan Soeharto, khususnya
beberapa tahun terakhir. Sangat banyak kasus hukum rimba yang dipertontonkan
oleh "massa tidak dikenal" (anonymous
mass) terhadap orang yang dicurigai sebagai pencopet di terminal atau
pencuri di perkampungan dan kompleks perumahan. Massa mengamuk, menggebuki
atau membakar orang-orang yang tercurigai sampai mati. Hukum rimba juga
terlihat di jalan raya ketika bus kota dan kendaraan pribadi melindas pengguna
jalan lain. Massa anonim dengan segera merusak dan membakar kendaraan
tersebut di bawah tatapan petugas Polri yang seolah tidak berdaya apa-apa.
Hukum tak ada daya menghadapi massa yang main hakim
sendiri. Hampir tidak ada penegakan hukum terhadap massa pelaku yang membunuh mereka
yang tercurigai bakal atau telah melakukan aksi kriminalitas. Massa pelaku
kekerasan dan hukum rimba pada praktiknya memiliki impunitas kebal terhadap ketentuan dan
sanksi hukum.
Berbeda dengan massa anonim yang menewaskan
orang-orang tercurigai dengan pentungan, golok, atau bensin, mereka yang
menjalankan hukum rimba di Mapolres OKU dan Lapas Sleman memegang senjata api (lethal
weapons) dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dengan menggunakan senjata api, hampir
tidak ada orang atau petugas yang berani menghentikan aksi main hakim sendiri
semacam itu, kecuali jika mereka mau menjadi sasaran tambahan atau siap
"perang" dalam skala yang sulit diduga.
Karena itu, bisa dibayangkan dampak dan akibat lebih
jauh selain kematian dari aksi hukum rimba yang dimainkan
kelompok bersenjata api. Secara psikologis, kian terlihat semacam kecanggungan
lembaga dan aparat hukum lain berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok bersenjata api. Sementara di kalangan masyarakat luas, tindakan main hakim
sendiri oleh kelompok pemegang senjata
api menimbulkan semacam "psikologi ketakutan" (psyehology of
fear). Psikologi semacam ini memunculkan rasa tidak aman dan ketakutan yang
kian mencekam dalam masyarakat luas.
Negara gagal
Kian mewabahnya hukum rimba dan meluasnya keberantakan
hukum (lawlessness) tidak ragu lagi merupakan salah satu indikator pokok
negara gagal (failed state). Para pejabat tinggi Indonesia boleh saja
amat gusar ketika Indonesia dikatakan secara moderat sebagai berada "di
tubir negara gagal" karena mereka mengklaim ekonomi
Indonesia terus tumbuh lebih dari 6 persen per tahun, menjadi keajaiban yang
hanya bisa dikalahkan oleh China dan India.
Akan tetapi, meminjam kesimpulan When States Fail:
Causes and Consequences (ed Robert I Rotberg, 2003), negara gagal adalah
negara yang tidak mampu memberi kebajikan umum (public good) kepada
warga, khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa. Pemerintah Indonesia
beserta aparat hukum dan keamanan sejak dari pusat sampai daerah terlihat kian
tidak mampu memenuhi tugas dan kewajiban delivering public good ini.
Jika Indonesia diproyeksikan lebih jauh ke dalam
parameter "negara gagal" ini, terlihat dari tidak adanya kemampuan
dan kesungguhan menegakkan hukum; kegagalan mencegah kekerasan di antara kelompok masyarakat;
ketidakmampuan menghentikan
keresahan sosial ekonomi (socio-economic discontents) di antara
kelompok warga berbeda atau di antara warga dan aparat negara atau bahkan
sesama aparat negara.
Jika dilihat dalam parameter lebih lanjut, negara gagal
adalah negara yang tidak mampu mencegah meningkatnya
gerombolan kriminal terorganisasi (organized crime) atau premanisme,
meluasnya penjualan narkoba, dan perdagangan manusia. Ketika aparat penegak
hukum terlihat tidak mampu memberantas kriminalitas semacam itu, mereka kian
kehilangan kredibilitasnya di mata warga. Akhirnya, kian sering mereka menjadi
sasaran amuk massa yang menyerbu ke kantor kepolisian.
Mengapa sebuah negara yang secara ekonomi bisa bertumbuh
dengan baik dapat terjerumus ke dalam
labirin negara gagal? Hal ini terkait banyak dengan kegagalan kepemimpinan
negara yang kemudian
menular ke daerah dan menunjukkan
komitmen yang tidak bisa ditawar pada penegakan hukum. Sekali para pejabat
publik baik eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif terlihat oleh masyarakat luas dan anggota aparat keamanan/penegak hukum
tidak sungguh-sungguh, tidak memiliki komitmen penuh, tidak berintegritas,
tidak menyelaraskan perkataan dengan perbuatan, terciptalah keadaan anomie. Jika
keadaan anomie yang disertai disorientasi dan dislokasi kian meluas dalam
masyarakat, bisa dipastikan hukum rimba menjadi order of the day. (Azyumardj Azra), Sumber Koran: Kompas (26 Maret
2013/Selasa, Hal. 06)