Insiden penembakan yang dilakukan warga sipil bersenjata di
Papua yang menewaskan 8 aparat TNI dan 4 warga sipil, kerusuhan Lampung Selatan
yang menewaskan 14 orang dan baku tembak di Tambarana, Poso yang memakan
korban jiwa tiga anggota Brimob, merupakan contoh kecil dari lemahnya fungsi
intelijen dalam mendeteksi gangguan keamanan. Pengamat militer dan intelijen
Mardigu Wawiek Prabowo menilai, kinerja aparat intelijen negara yang berada di
Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Polri mengalami kemunduran. Kata dia.
faktor penyebab mundurnya kinerja intelijen akibat lemahnya pengetahuan mengenai
strategi dan taktik.
"Intelijen kita lengah. Intel kita sekarang terfokus di
kota mengurusi politik, mulai pilkada atau pemilu, sehingga sering kecolongan
mendeteksi konflik di sektor lain, terutama gangguan keamanan," katanya
kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Menurut dia, pengorganisasian intelijen banyak
mengabaikan strategi dan taktik. Lembaga intelijen, cenderung memprioritaskan
penambahan jumlah personel di lapangan ketimbang meningkatkan kualitas personel.
"Intel banyak tapi terfokus di daerah kekuasaan. Sedangkan intel di daerah
masih sedikit," kritiknya.
Mardigu menilai, lembaga pemilik satuan intelijen BIN, TNI
dan Polri mau tidak mau harus lebih meningkatkan koordinasi agar lebih maksimal
melaksanakan fungsi intelijen untuk mencegah gangguan keamanan pada masa
mendatang. "Untuk memperkuat intelijen tidak bisa hanya mengandalkan
Polisi, TNI dan BIN. Tapi juga harus bergerak secara terorganisir. Keamanan
negara tidak diserahkan hanya kepada kepolisian, sebab jumlah mereka sangat
terbatas," sarannya.
Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar mengakui, kinerja
organisasi intelijen negara dalam mendeteksi gangguan keamanan di daerah
konflik masih lemah. Hal ini terbukti dari sering munculnya aksi gangguan keamanan
di daerah. Bambang secara khusus mengkritik organisasi intelijen Kepolisian
yang tidak terorganisasi dengan baik. Organisasi intelijen Kepolisian, kata
dia, masih mengandalkan informasi dari TNI dan BIN sehingga di dalam menjalankan
fungsi intelijen tidak terpola, dan tidak efektif.
"Lemahnya intel kita juga banyak dipengaruhi oleh
siapa yang memimpin lembaga intelijen saat ini. Disamping itu, fungsi
intelijen teritorial yang juga kian menurun," tuturnya. Bambang menuding,
berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi belakangan ini di Papua. Poso dan
Lampung, menunjukkan lemahnya fungsi intelijen di internal Polri. Kata dia,
intel polisi selama ini hanya menjadi pemadam kebakaran, karena sering
menyalahkan medan sebagai hambatan.
Anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo mempertanyakan pengorganisasian
fungsi intelijen dalam menangani aksi gangguan keamanan. Menurutnya, pelaksanaan
fungsi intel selama ini masih belum terpadu, meski anggaran intelijen sangat
besar. "Banyak satuan intelijen yang tidak terorganisasi dengan baik.
Padahal anggaran besar," kritiknya. Namun, Tjahjo enggan memberikan data
jumlah dana yang disetujui DPR untuk fungsi intelijen lantaran itu rahasia
negara.
Kordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengungkapkan, anggaran bidang intelijen
untuk tahun 2013 mencapai triliunan. Kata Uchok, anggaran BIN pada 2012 saja
mencapai Rp 1,141 triliun, dan untuk tahun 2013 sekitar Rp 1,145 triliun.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane
menilai, Pemerintahan SBY kedodoran menjaga kinerja intelijen negara. Presiden,
menurut dia, tidak memperhatikan sumber daya intelijen dengan baik dan
terencana. "Presiden harus mempertanggungjawabkan sistem keamanan yang
buruk yang dibangunnya di negeri ini kepada masyarakat," cetus Neta. (Yan),
Sumber Koran: Rakyat Merdeka (07 Maret 2013, Hal. 11)