Kamis, 07 Maret 2013

Sering Kecolongan Mendeteksi Konflik: Dapat Anggaran Gede Intelijen Tetap Memble

Insiden penembakan yang di­lakukan warga sipil bersenjata di Papua yang menewaskan 8 aparat TNI dan 4 warga sipil, kerusuhan Lampung Selatan yang menewas­kan 14 orang dan baku tembak di Tambarana, Poso yang memakan korban jiwa tiga anggota Brimob, merupakan contoh kecil dari le­mahnya fungsi intelijen dalam mendeteksi gangguan keamanan. Pengamat militer dan intelijen Mardigu Wawiek Prabowo me­nilai, kinerja aparat intelijen negara yang berada di Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan Polri mengalami kemunduran. Kata dia. faktor penyebab mun­durnya kinerja intelijen akibat lemahnya pengetahuan mengenai strategi dan taktik. 

"Intelijen kita lengah. Intel kita sekarang terfokus di kota mengurusi politik, mulai pilkada atau pemilu, sehingga sering kecolongan mendeteksi konflik di sektor lain, terutama ganggu­an keamanan," katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Menurut dia, pengorganisasian intelijen banyak mengabaikan strategi dan taktik. Lembaga inte­lijen, cenderung memprioritaskan penambahan jumlah personel di lapangan ketimbang meningkat­kan kualitas personel. "Intel ba­nyak tapi terfokus di daerah ke­kuasaan. Sedangkan intel di dae­rah masih sedikit," kritiknya.

Mardigu menilai, lembaga pe­milik satuan intelijen BIN, TNI dan Polri mau tidak mau harus lebih meningkatkan koordinasi agar lebih maksimal melaksana­kan fungsi intelijen untuk mencegah gangguan keamanan pada masa mendatang. "Untuk memperkuat intelijen tidak bisa hanya mengandalkan Polisi, TNI dan BIN. Tapi juga harus bergerak secara terorga­nisir. Keamanan negara tidak diserahkan hanya kepada kepoli­sian, sebab jumlah mereka sangat terbatas," sarannya.

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar mengakui, kinerja organisasi intelijen negara dalam mendeteksi gangguan ke­amanan di daerah konflik masih lemah. Hal ini terbukti dari sering munculnya aksi gangguan ke­amanan di daerah. Bambang secara khusus meng­kritik organisasi intelijen Kepo­lisian yang tidak terorganisasi de­ngan baik. Organisasi intelijen Kepolisian, kata dia, masih me­ngandalkan informasi dari TNI dan BIN sehingga di dalam men­jalankan fungsi intelijen tidak terpola, dan tidak efektif.

"Lemahnya intel kita juga ba­nyak dipengaruhi oleh siapa yang memimpin lembaga inteli­jen saat ini. Disamping itu, fungsi intelijen teritorial yang juga kian menurun," tuturnya. Bambang menuding, berba­gai peristiwa kekerasan yang terjadi belakangan ini di Papua. Poso dan Lampung, menunjuk­kan lemahnya fungsi intelijen di internal Polri. Kata dia, intel po­lisi selama ini hanya menjadi pemadam kebakaran, karena sering menyalahkan medan se­bagai hambatan.

Anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo mempertanyakan peng­organisasian fungsi intelijen dalam menangani aksi gangguan keamanan. Menurutnya, pelaksa­naan fungsi intel selama ini masih belum terpadu, meski anggaran intelijen sangat besar. "Banyak satuan intelijen yang tidak teror­ganisasi dengan baik. Padahal anggaran besar," kritiknya. Namun, Tjahjo enggan mem­berikan data jumlah dana yang disetujui DPR untuk fungsi inte­lijen lantaran itu rahasia negara.

Kordinator Investigasi dan Ad­vokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengung­kapkan, anggaran bidang inte­lijen untuk tahun 2013 mencapai triliunan. Kata Uchok, anggaran BIN pada 2012 saja mencapai Rp 1,141 triliun, dan untuk tahun 2013 se­kitar Rp 1,145 triliun.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai, Pemerintahan SBY kedodoran menjaga kinerja intelijen negara. Presiden, menurut dia, tidak memperhatikan sumber daya intelijen dengan baik dan terencana. "Presiden harus mempertanggungjawabkan sistem keamanan yang buruk yang dibangunnya di negeri ini kepada masyarakat," cetus Neta. (Yan), Sumber Koran: Rakyat Merdeka (07 Maret 2013, Hal. 11)