Jayapura, Seorang
anggota Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), yang
paling dicari pihak TNI akhirnya buka mulut. Dia adalah Ishak Demetouw (54),
yang sebenarnya bernama Alex Luis Makabori. Di TPN-OPM dia berpangkat Letkol,
dan mempunyai jabatan Asisten I Operasi Kodap Jaya. Hal itu dikatakan Kasi
Intel Korem 172/PWY, Mayor Ventje Marani, yang ditemui wartawan di Abepura,
Selasa (5/3) malam.
Alex Luis Makabori ditangkap bersama tiga rekannya oleh
aparat keamanan Satgas Yonif-755/Yalet, yang dipimpin Letda Inf Riska, Danpos
Nengke, Minggu (3/3) pagi pukul 10.00 WIT. Ketiga rekannya adalah Suleman Teno
(35), Nico Sosomar (42) dan berpangkat Mayor, serta Daniel Nerotouw (29).
Keempatnya dari kelompok Richard Hans Yoweni, yang beropersi di wilayah Mamta.
Mereka ditangkap di daerah Kampung Yamna, Distrik Pantai
Timur. Dalam pemeriksaan sementara, Alex Luis Makabori terlibat dalam semua
operasi TPN-OPM Marvik baik di Betaf, Takar, serta pelatihan di Bonggo,
Sentani. Tahun 2004, dia juga mengeluarkan perintah operasi menolak Pemilu
2004, dan mengeluarkan perintah menembak mati TPN-OPM yang menyerah.
"Tahun 2001, Alex Luis Makabori terlibat dalam penyerangan
Pos Beneraf, Betaf, yang mengakibatkan 4 anggota Kopassus meninggal,"
ujar Marani. Dikatakan, saat kejadian 3 Februari 2001 sekitar pukul 17.15 WIT
itu, kelompok Richard Hans Yoweni menggunakan tiga pucuk senjata M-16, satu pucuk
Gerend, satu double lop, pistol FN (2) pucuk, dan senjata rakitan 20 pucuk.
"Terungkapnya nama Alex Makabori ini juga karena
bantuan masyarakat di Pantai Timur, Sarmi," kata Marani. Dia
mengungkapkan, ke-4 anggota TPN-OPM ini ke Sarmi untuk mencari dana serta
perekrutan anggota baru. "Ini terungkap dalam selebaran yang ada pada
mereka. Mereka kini ditahan di Polres Sarmi," katanya.
Dana Otsus
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan
pengelolaan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua, tahun anggaran 2002-2010,
terindikasi dikelola tanpa dasar hukum yang kuat, sehingga rentan masalah. Hal
itu terjadi di Papua maupun di Papua Barat. Direktur Eksekutif Lembaga
Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan
Cristian Warinusy kepada SP, Selasa (5/3) malam di Jayapura mengatakan, dalam
laporan BPK berkode 01/HP/X-IX/04/2011 tanggal 14 April 2011 itu disebutkan,
pemeriksaan yang dilakukan pada empat fase penting, yaitu fase perencanaan,
pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pemanfaatan, serta fase evaluasi. "Temuan-temuan
itu memberi keyakinan pada BPK, jika pengelolaan dan pertanggungjawaban dana
otsus secara umum tidak sesuai ketentuan," katanya.
Pada fase perencanaan, misalnya, lembaga tinggi negara ini
mencatat, pengelolaan dana otsus belum didukung dengan perangkat peraturan
yang memadai, termasuk untuk bidang kesehatan dan pendidikan. "Pemerintah
Papua maupun Papua Barat belum menetapkan Rencana Induk Percepatan
Pembangunan dalam rangka memanfaatkan dana otsus secara berkesinambungan,"
katanya.
Disebutkan, pada fase pelaksanaan, BPK dalam laporan itu
mencatat, terdapat kegiatan fiktif yang bersumber dari dana Otsus sekitar Rp.
28,943 miliar. Ada juga kelebihan pembayaran karena kekurangan volume pekerjaan,
pembayaran yang tidak sesuai dengan ketentuan sekitar Rp 218,289 miliar.
"Pengelolaan dana Otsus juga tak sesuai dengan tujuan
pembentukannya," ujar Yan.
Pada bagian lain, Yan mengatakan, masyarakat adat Papua
melalui Dewan Adat Papua (DAP) dapat segera menyusun langkah hukum untuk
mempersoalkan masalah pemanfaatan dana Otsus tersebut secara pidana, perdata,
maupun tata usaha negara. Sementara itu, tokoh adat Nabire, Yulian Yap Marey
mengatakan, pemanfaatan dana Otsus memang harus dievaluasi. "Dana yang
begitu banyak tapi tak sampai ke masyarakat dengan baik, " ujar mantan
anggota Organisasi Papua Merdeka tahun 1961-1962 itu.
Berdasarkan catatan SP, sejak tahun 2002 hingga 2012,
Provinsi Papua telali menerima dana Otsus Rp 28,413 triliun. Untuk Papua Barat,
dari tahun 2009-2012 sudah ditransfer dana Rp 5,269 triliun. Demikian juga dana
tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua Rp 2,501 triliun dan Papua Barat
Rp 2,298 triliun. (154), Sumber Koran: Suara Pembaruan (06 Maret 2013, Hal. 12)