Penulis : Tomy Trinugroho A. |
Selasa, 12 Maret 2013 | 07:42 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Konflik
antara TNI dan Polri yang terjadi di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa budaya
penghormatan hukum di kalangan anggota Polri serta prajurit TNI masih rendah.
Situasi ini kembali membuktikan bahwa reformasi kedua institusi harus
dituntaskan.
"Budaya menghormati hukum
masih rendah. Akibatnya, tindakan melanggar hukum dengan mudah dilakukan,"
kata Direktur Program Imparsial, Al Araf, Selasa (12/3/2013), di Jakarta.
Pembenahan budaya hukum di tubuh
TNI dan Polri, menurut Al Araf, dapat dilakukan secara efektif lewat pendidikan
para anggota TNI dan Polri. Sejak dini, para anggota TNI dan Polri harus
disadarkan bahwa mereka tidak bisa dengan gampang melakukan pelanggaran hukum.
Upaya penting lain untuk
mewujudkan kesadaran supremasi hukum di kalangan anggota TNI dan Polri ialah
melakukan reformasi peradilan militer. Sayangnya, upaya ini selalu kandas
karena revisi undang-undang peradilan militer selalu menemui jalan buntu.
Dengan reformasi peradilan
militer, tindak pidana umum (pembunuhan, perusakan) yang dilakukan anggota
militer disidangkan di peradilan umum. "Anggota militer juga bisa diadili
di peradilan umum. Hal ini akan menumbuhkan kesadaran supremasi hukum,"
jelas Al Araf.
Polri sudah memidanakan
anggotanya yang melanggar hukum dan tidak sekadar diselesaikan lewat sidang
etik. Namun, Polri dituntut untuk meningkatkan profesionalisme sehingga semua
kasus dapat diselesaikan dalam waktu cepat.
"Imparsial memyesalkan
konflik TNI dengan Polri di Sumatera. Kejadian itu memberikan contoh buruk bagi
masyarakat. Kalau aparat saja melanggar hukum, bagaimana dengan rakyat
sipil?" tutur Al Araf.
Pada pekan lalu, Markas Polres
Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, dibakar oleh anggota TNI Batalyon Artileri
Medan 15/76 Martapura. Insiden ini merupakan buntut insiden penembakan hingga
tewas Prajurit Satu Heru Oktavianus dari batalyon tersebut oleh personel
kepolisian lalu lintas Brigadir BW pada Januari 2013.