Kamis, 21 Maret 2013

Mencari Pendekatan Terbaik Hubungan Anggota TNI-Polri


Mengakurkan anggota dua insti­tusi yang sama-sa­ma memiliki oto­ritas keamanan, memang ti­dak mudah. Upaya untuk memisahkannya seperti dilakukan sejak awal reformasi, ternya­ta tetap menyisakan perso­alan. Grey area (wilayah abu-abu) tetap ada dan masih ter­lalu sulit untuk dihapuskan. Hal itu selalu meletupkan per­soalan di lapangan, fakta bah­wa antara teori dan praktik memang tidak seindah dalam buku atau undang undang.

Itulah yang terjadi ketika hampir 90 orang oknum ang­gota Batalyon Armed 76/15 Martapura merangsek ma­suk ke Kantor Mapolres OKU, dua pekan lalu. Mereka ru­panya panas hati karena ka­sus penembakan yang dilaku­kan anggota Polantas Briga­dir Wij terhadap teman mere­ka dari Batalyon Armed 76/15, Pratu Her, diambangkan begitu saja. Padahal kejadiannya su­dah berlangsung beberapa bu­lan, karena kasus itu terjadi pada 23 Januari 2013.

Sejumlah pertanyaan ini muncul bersamaan: Haruskah dengan cara membakar dan melakukan kekerasan? Harus­kah Polantas melakukan pe­nembakan terhadap pelanggaran lalu-lintas? Tidak bisakah seorang aparat TNI berperilaku santun saat berlalu-lintas? Mengapa pula tidak ada sensi­tivitas di antara aparat untuk segera mungkin memberikan kepastian terhadap perkembangan kasus yang dialami arapat lainnya? Pertanyaan-pertanyaan itu boleh jadi tidak disenangi ke­dua institusi, namun harus dijawab sebagai bagian dari solusi mendasar untuk men­cari solusi menyeluruh. Sebab faktanya, kejadian bentrok an­tara anggota kedua institusi seringkali diawali oleh peristi­wa yang sepele atau tidak ter­lalu serius, namun kemudian berubah menjadi sangat seri­us dengan melibatkan banyak orang. Bukan hanya dalam ka­sus anggota TNI menyerang ang­gota Polri, tapi juga anggota Pol­ri menyerang anggota TNI.

Namun anggota Komisi I DPR RI Muhammad Najib melihat dari sisi berbeda. Menurut dia, kesalahannya justru akibat jomplangnya kesejahteraan anggota TNI dibandingkan anggota Polri saat ini. TNI yang sebelum era reformasi dominan dalam ke­hidupan sosial, politik, dan ke­amanan dan saat ini terganti­kan perannya oleh Polri, bukan­lah akar masalah dari persoalan tersebut.

Permasalahan utama, jelas politisi PAN ini, adalah ketimpa­ngan kesejahteraan antara pra­jurit TNI, dengan anggota Pol­ri. Diakui, remunerasi yang di­peroleh prajurit TNI memang lebih besar dari anggota Polri.

Namun pendapatan anggota Polri bisa lebih besar dari pra­jurit TNI. Hal ini karena ang­gota Polri memungkinkan un­tuk mendapatkan penghasilan tambahan dari perannya yang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan dunia usaha. Karena itu, sejak era reforma­si bergulir, banyak anggota TNI yang meningkat pesan kese­jahteraannya.

"Sementara, dengan peran TNI sekarang yang tidak diperbole­hkan bersinggungan langsung dengan masyarakat dan ber­sentuhan dengan dunia bisnis, menjadikan kemungkinan untuk memperoleh pendapatan tamba­han hilang," jelas Najib.

Menurut Najib, dengan fenemona seperti itu, ada kecemburan di kalangan prajurit TNI. Ironis­nya, hal tersebut gagal ditangkap oleh negara, bahkan negara tidak mampu untuk meningkatkan ke­sejahteraan mereka.

"Solusinya, ya, harus ada peningkatan kesejahteraan yang lebih terasa bagi kalangan TNI. Ini menjadi kewajiban Negara untuk menunaikannya,” tegas Najib.

Bukan Penyatuan
Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani menegaskan, pele­buran kembali TNI-Polri dalam satu wadah seperti sebelum era reformasi tak bisa dijadikan solusi dalam menyelesaikan per­soalan kerap terjadinya bentrok antara prajurit TNI dengan ang­gota Polri.

Tidak bisa lah, itu naman­ya memutar jarum jam, tidak mungkin itu. Itu melawan jarum jam sejarah. Reformasi kan tu­juannya supremasi sipil, me­misahkan peran TNI dan Polri. Bicara supremasi sipil, ya, Pol­ri harus berada terdepan," te­gas Yani.

Politisi PPP ini menjelaskan, yang harus dilakukan agar tidak lagi terjadi bentrok adalah men­gevaluasi keberadaan komando-komando teritorial yang dimil­iki TNI. Evaluasi ini, bisa meli­kuidasi komando teritorial yang ada, namun bisa juga dengan menambahkan jumlahnya.

Menurut Yani, komando-kom­ando teritorial, seperti Komando Distrik Militer (Kodim), dan Ko­mando Rayon Militer (Koramil), di wilayah-wilayah terluar In­donesia dan daerah perbatasan harus ditambah jumlahnya. Sedangkan Kodim dan Koramil di kabupaten/kota ada beberapa yang harus dihapuskan.

"Seperti di Palembang, misal­nya tak perlu ada Kodim. Tapi di perbatasan NTT-Timor Timur, ya, harus ditambah Kodimnya. Kenapa? Karena sebetulnya se­jak reformasi fungsi dari Kodim dan Koramil sendiri menjadi ti­dak jelas. TNI kan mindset sosial politiknya sudah tidak ada, tapi secara struktur belum hi­lang," jelas dia.

Namun, Yani juga menegas­kan, kinerja Polri juga harus di­evaluasi. Misalnya, sejauh mana Polri mereformasi dirinya menjadi aparat keamanan yang mengayomi dan melindungi masyarakat.

“Tapi evaluasi itu tanpa mengembalikan peran TNI seperti era Orde Baru. Supremasi si sipil itu, ya, keamanan dalam negeri pada polisi. Ujung tom­bak supremasi sipil ada pada polisi. Jadi tidak bisa TNI ber­peran seperti dulu, selain tidak sesuai dengan tuntutan reforma­si, juga melenceng dari supre­masi sipil yang tengah dikem­bangkan di Indonesia," pungkas dia.

Harus Sama
Sejak diterapkannya ke­bijakan pemisahan Polri dari TNI melalui Tap MPR No VI/ MPR/2000 dan Tap MPR No VII/MPR/2000, sering terjadi konflik terbuka antara pasukan TNI versus anggota Polri.

Menurut data, dalam kurun waktu delapan tahun terakh­ir ini atau sewindu, setidaknya ada 30 peristiwa bentrok serupa terjadi di berbagai daerah di In­donesia. Sejak 2005 hingga Ma­ret 2013 ini ada 30 bentrokan dimana 10 polisi meninggal ber­banding empat tentara menin­ggal, lalu 42 polisi terluka dan 20 tentara terluka. Korban ma­terial juga tak sedikit, mulai dari amunisi yang terbuang percu­ma, senjata hilang, sepeda mo­tor dan mobil rusak, hingga pos dan markas terbakar.

Sementara itu, bentrok terbu­ka tentara-polisi, terlihat pertama kali terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal 2001. Hal serupa juga terjadi di wilayah konflik lainnya seperti Ambon dan Poso. Termasuk di daerah yang damai, seperti tin­dakan saling serang antara Bri­mob dan Yonif Lintas Udara 100 di Binjai, Sumut pada akhir September 2002; dan di Atambua dan Gorontalo.

Pendiri Synergi for Indone­sia Ahmad Doli Kurnia meni­lai bentrok yang berulang-ulang terjadi melibatkan TNI dan Pol­ri menunjukkan belum tun­tasnya agenda reformasi, khususnya dalam penataan kelembagaan Negara.

Menurut Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia gagal menemukan format ideal dengan tepat dan cepat dalam menyikapi reformasi di tubuh elemen per­tahanan dan keamanan. Pada­hal seharusnya dalam waktu 15 tahun seluruh agenda reformasi sudah tuntas.

Dikatakannya, Polri dan tiga Angkatan (TNI AD, TNI AL, dan TNI AU) punya sejarah bersama berada di dalam satu in­stitusi Angkatan Bersenjata Re­publik Indonesia (ABRI), maka posisi pemisahannya harus sama (equal).

"Apabila Polri bertanggungjawab langsung ke Presiden, maka tiga Angkatan di TNI juga harus sama. Atau karena tiga Angka­tan bertanggung jawab ke Pan­glima yang sejajar dengan men­teri, maka Polri pun juga har­us bertanggung pada level yang sama. Karena Polri tupoksinya adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, maka lebih baik di bawah koordinasi Mendagri," kata Doli Kumia.

Kedua, lanjut Doli Kurnia, pembinaan atau pengemban­gan aparatnya pun harus berbe­da yakni profil/tipikal profesion­al aparat Polri harus berbeda dengan TNI. Dalam hal ini, Pol­ri harus lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan soft power karena berada di tengah masyarakat sehari-hari.

Ketiga, tambah Doli Kumia, dalam hal budgeting juga har­us proporsional. Anggaran pertahanan sebaiknya memang ha­rus lebih besar, terutama untuk kesejahteraan prajurit. Teta­pi kondisi yang terjadi saat ini anggaran Polri jauh lebih be­sar dibandingkan tiga Angkatan yang ada," tegasnya.

Terkait dengan keberadaan TNI, Doli Kurnia sependapat jika markas-markas TNI berada di luar pusat kota atau keramaian, mengingat TNI menggunakan pendekatan pengamanan territorial. Akan tetapi harus disertai dengan fasilitas yang memadai sehingga mengurangi interaksi langsung dengan wilayah tanggung jawab Polri. (cr-14/ay), Sumber Koran: Harian Pelita (21 Maret 2013/Selasa, Hal. 01 & 19)