Mengakurkan anggota dua institusi yang sama-sama
memiliki otoritas keamanan, memang tidak mudah. Upaya untuk memisahkannya
seperti dilakukan sejak awal reformasi, ternyata tetap menyisakan persoalan. Grey
area (wilayah abu-abu) tetap ada dan masih terlalu sulit untuk dihapuskan. Hal
itu selalu meletupkan persoalan di lapangan, fakta bahwa antara teori dan
praktik memang tidak seindah dalam buku atau undang undang.
Itulah yang terjadi ketika hampir 90 orang oknum
anggota Batalyon Armed 76/15 Martapura merangsek masuk ke Kantor Mapolres
OKU, dua pekan lalu. Mereka rupanya panas hati karena kasus penembakan yang
dilakukan anggota Polantas Brigadir Wij terhadap teman mereka dari Batalyon
Armed 76/15, Pratu Her, diambangkan begitu saja. Padahal kejadiannya sudah
berlangsung beberapa bulan, karena kasus itu terjadi pada 23 Januari 2013.
Sejumlah pertanyaan ini muncul bersamaan: Haruskah dengan
cara membakar dan melakukan kekerasan? Haruskah Polantas melakukan penembakan
terhadap pelanggaran lalu-lintas? Tidak bisakah seorang aparat TNI berperilaku
santun saat berlalu-lintas? Mengapa pula tidak ada sensitivitas di antara
aparat untuk segera mungkin memberikan kepastian terhadap perkembangan kasus
yang dialami arapat lainnya? Pertanyaan-pertanyaan itu boleh jadi tidak
disenangi kedua institusi, namun harus dijawab sebagai bagian dari solusi
mendasar untuk mencari solusi menyeluruh. Sebab faktanya, kejadian bentrok antara
anggota kedua institusi seringkali diawali oleh peristiwa yang sepele atau
tidak terlalu serius, namun kemudian berubah menjadi sangat serius dengan
melibatkan banyak orang. Bukan hanya dalam kasus anggota TNI menyerang anggota
Polri, tapi juga anggota Polri menyerang anggota TNI.
Namun anggota Komisi I DPR RI Muhammad Najib
melihat dari sisi berbeda. Menurut dia, kesalahannya justru akibat jomplangnya kesejahteraan
anggota TNI dibandingkan anggota Polri saat ini. TNI yang sebelum era reformasi
dominan dalam kehidupan sosial, politik, dan keamanan dan saat ini tergantikan
perannya oleh Polri, bukanlah akar masalah dari persoalan tersebut.
Permasalahan utama, jelas politisi PAN ini, adalah
ketimpangan kesejahteraan antara prajurit TNI, dengan anggota Polri. Diakui,
remunerasi yang diperoleh prajurit TNI memang lebih besar dari anggota Polri.
Namun pendapatan anggota Polri bisa lebih besar
dari prajurit TNI. Hal ini karena anggota Polri memungkinkan untuk
mendapatkan penghasilan tambahan dari perannya yang bersinggungan langsung
dengan masyarakat dan dunia usaha. Karena itu, sejak era reformasi bergulir,
banyak anggota TNI yang meningkat pesan kesejahteraannya.
"Sementara, dengan peran TNI sekarang yang
tidak diperbolehkan bersinggungan langsung dengan masyarakat dan bersentuhan
dengan dunia bisnis, menjadikan kemungkinan untuk memperoleh pendapatan tambahan
hilang," jelas Najib.
Menurut Najib, dengan fenemona seperti itu, ada
kecemburan di kalangan prajurit TNI. Ironisnya, hal tersebut gagal ditangkap
oleh negara, bahkan negara tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka.
"Solusinya, ya, harus ada peningkatan
kesejahteraan yang lebih terasa bagi kalangan TNI. Ini menjadi kewajiban Negara
untuk menunaikannya,” tegas Najib.
Bukan
Penyatuan
Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani menegaskan, peleburan
kembali TNI-Polri dalam satu wadah seperti sebelum era reformasi tak bisa
dijadikan solusi dalam menyelesaikan persoalan kerap terjadinya bentrok antara
prajurit TNI dengan anggota Polri.
Tidak bisa lah, itu namanya memutar jarum jam,
tidak mungkin itu. Itu melawan jarum jam sejarah. Reformasi kan tujuannya
supremasi sipil, memisahkan peran TNI dan Polri. Bicara supremasi sipil, ya,
Polri harus berada terdepan," tegas Yani.
Politisi PPP ini menjelaskan, yang harus dilakukan
agar tidak lagi terjadi bentrok adalah mengevaluasi keberadaan komando-komando
teritorial yang dimiliki TNI. Evaluasi ini, bisa melikuidasi komando
teritorial yang ada, namun bisa juga dengan menambahkan jumlahnya.
Menurut Yani, komando-komando teritorial, seperti
Komando Distrik Militer (Kodim), dan Komando Rayon Militer (Koramil), di
wilayah-wilayah terluar Indonesia dan daerah perbatasan harus ditambah
jumlahnya. Sedangkan Kodim dan Koramil di kabupaten/kota ada beberapa yang
harus dihapuskan.
"Seperti di Palembang, misalnya tak perlu ada
Kodim. Tapi di perbatasan NTT-Timor Timur, ya, harus ditambah Kodimnya. Kenapa?
Karena sebetulnya sejak reformasi fungsi dari Kodim dan Koramil sendiri
menjadi tidak jelas. TNI kan mindset sosial politiknya sudah tidak ada, tapi
secara struktur belum hilang," jelas dia.
Namun, Yani juga menegaskan, kinerja Polri juga
harus dievaluasi. Misalnya, sejauh mana Polri mereformasi dirinya menjadi
aparat keamanan yang mengayomi dan melindungi masyarakat.
“Tapi evaluasi itu tanpa mengembalikan peran TNI
seperti era Orde Baru. Supremasi si sipil itu, ya, keamanan dalam negeri pada
polisi. Ujung tombak supremasi sipil ada pada polisi. Jadi tidak bisa TNI berperan
seperti dulu, selain tidak sesuai dengan tuntutan reformasi, juga melenceng
dari supremasi sipil yang tengah dikembangkan di Indonesia," pungkas
dia.
Harus Sama
Sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri dari
TNI melalui Tap MPR No VI/ MPR/2000 dan Tap MPR No VII/MPR/2000, sering terjadi konflik terbuka antara pasukan
TNI versus anggota Polri.
Menurut data, dalam kurun waktu delapan tahun
terakhir ini atau sewindu, setidaknya ada 30 peristiwa bentrok serupa terjadi
di berbagai daerah di Indonesia. Sejak 2005 hingga Maret 2013 ini ada 30
bentrokan dimana 10 polisi meninggal berbanding empat tentara meninggal, lalu
42 polisi terluka dan 20 tentara terluka. Korban material juga tak sedikit,
mulai dari amunisi yang terbuang percuma, senjata hilang, sepeda motor dan
mobil rusak, hingga pos dan markas terbakar.
Sementara itu, bentrok terbuka tentara-polisi,
terlihat pertama kali terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal 2001. Hal
serupa juga terjadi di wilayah konflik lainnya seperti Ambon dan Poso. Termasuk
di daerah yang damai, seperti tindakan saling serang antara Brimob dan Yonif
Lintas Udara 100 di Binjai, Sumut pada akhir September 2002; dan di Atambua dan
Gorontalo.
Pendiri Synergi for Indonesia Ahmad Doli Kurnia
menilai bentrok yang berulang-ulang terjadi melibatkan TNI dan Polri
menunjukkan belum tuntasnya agenda reformasi, khususnya dalam penataan kelembagaan
Negara.
Menurut Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia
gagal menemukan format ideal dengan tepat dan cepat dalam menyikapi reformasi
di tubuh elemen pertahanan dan keamanan. Padahal seharusnya dalam waktu 15
tahun seluruh agenda reformasi sudah tuntas.
Dikatakannya, Polri dan tiga Angkatan (TNI AD, TNI
AL, dan TNI AU) punya sejarah bersama berada di dalam satu institusi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), maka posisi pemisahannya harus sama (equal).
"Apabila Polri bertanggungjawab langsung ke
Presiden, maka tiga Angkatan di TNI juga harus sama. Atau karena tiga Angkatan
bertanggung jawab ke Panglima yang sejajar dengan menteri, maka Polri pun
juga harus bertanggung pada level yang sama. Karena Polri tupoksinya adalah
menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, maka lebih baik di bawah koordinasi
Mendagri," kata Doli Kumia.
Kedua, lanjut Doli Kurnia, pembinaan atau pengembangan
aparatnya pun harus berbeda yakni profil/tipikal profesional aparat Polri
harus berbeda dengan TNI. Dalam hal ini, Polri harus lebih mengedepankan
pendekatan persuasif dan soft power karena berada di tengah masyarakat
sehari-hari.
Ketiga, tambah Doli Kumia, dalam hal budgeting juga
harus proporsional. Anggaran pertahanan sebaiknya memang harus lebih besar,
terutama untuk kesejahteraan prajurit. Tetapi kondisi yang terjadi saat ini
anggaran Polri jauh lebih besar dibandingkan tiga Angkatan yang ada,"
tegasnya.
Terkait dengan keberadaan TNI, Doli Kurnia
sependapat jika markas-markas TNI berada di luar pusat kota atau keramaian,
mengingat TNI menggunakan pendekatan pengamanan territorial. Akan tetapi harus
disertai dengan fasilitas yang memadai sehingga mengurangi interaksi langsung
dengan wilayah tanggung jawab Polri. (cr-14/ay),
Sumber Koran: Harian Pelita (21 Maret 2013/Selasa, Hal. 01
& 19)