Perang di masa mendatang kemungkinan tidak
lagi mengandalkan prajurit untuk maju ke medan laga. Sasaran dan target musuh
cukup dibidik dari pusat komando pertahanan. Tidak butuh waktu lama, perangkat
diluncurkan dan sasaran dapat dilumpuhkan dengan teknologi terbaru seperti
pesawat tanpa awak atau drone. Kombinasi antara perang konvensional yang
dipadukan dengan peralatan teknologi komunikasi mampu menghasilkan dan
menghancurkan target musuh dengan meminimalkan kerusakan dan kerugian baik
peralatan tempur maupun sumber daya militer seperti prajurit.
Beberapa negara sejak beberapa tahun terakhir secara intensif
sudah mulai mengembangkan perangkat perang tersebut. Malahan negara seperti
Amerika Serikat (AS), Israel dan beberapa negara Eropa Barat sudah melakukan
aksi-aksi militernya dengan teknologi perang paling maju tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh mana persiapan militer
Indonesia dalam menghadapi perang hibrida (hybrid war) yang menonjolkan kekuatan
perangkat teknologi komunikasi tercanggih? Berikut beberapa sumbangsih
pemikiran baik dari militer, analis pertahanan maupun dari anggota perlemen
Indonesia.
Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
sudah mengantisipasi kemungkinan menguatnya apa yang diistilahkan dengan perang
hibrida tersebut. Kepada Pelita, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen
TNI Sisriadi di Jakarta menyatakan kesiapannya baik Kemhan dan TNI dalam
menghadapi peperangan di masa mendatang. "Kami akan menyiapkan perangkat
lunak dan perangkat keras dalam menghadapi berbagai ancaman di medan peperangan
termasuk perang hibrida," ujarnya.
Sementara pengamat militer yang juga dosen Universitas
Pertahanan (Unhan) Bantarto Bandoro kepada Pelita semalam mengungkapkan jajaran
militer Indonesia atau TNI tidak boleh berdiam diri dengan perkembangan
terbaru dalam strategi perang tersebut. TNI tidak boleh berdiam diri menghadapi
perubahan peperangan di masa mendatang. Kekuatan cyber defence harus
dipersiapkan secara maksimal oleh TNI ," katanya.
Karenanya, Bantarto menyarankan agar jajaran TNI yang
terdiri dari tiga matra harus melakukan investasi besar-besaran di bidang
pengadaan sumber daya baik perangkat teknologi maupun dukungan personelnya. "Dengan
dukungan tersebut diharapkan TNI memiliki daya tahan," ujar Bantarto.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Ramadhan Pohan menegaskan
sudah selayaknya TNI mewaspadai ancaman perang hibrida, selain ancaman perang
konvensional. "Dari segi darat, laut, dan udara, TNI harus mewaspadai
segala bentuk ancaman, baik itu perang konvensional maupun perang non konvensional
seperti perang hibrida. Dan pernyataan Panglima TNI agar prajurit TNI
mewaspadai perang hybrid sudah selayaknya menjadi perhatian kita," kata
Ramadhan Pohan saat dihubungi Pelita, kemarin. Pohan mengakui, jika sejauh
ini bangsa Indonesia masih memfokuskan pada upaya pemenuhan Alat Utama Sistem
Persenjataan (Alutsista) TNI untuk mencapai Minimum Essensial Force (MEF).
"Saat ini kita memang masih mengupayakan pemenuhan
alutsista TNI. Tapi untuk menghadapi cyber war ataupun perang teknologi
informasi terus terang kita belum menyiapkan diri secara penuh ke arah
sana," katanya. Namun begitu, Pohan, meyakini jika TNI dengan segala
sumber daya manusianya mampu mempersiapkan diri menghadapi perang hibrida.
"Kalau ditanya soal kesiapan TNI, saya yakin TNI sudah
siap. Tapi dari segi anggaran yang diberikan itu masih bersifat untuk pertahanan
konvensional," tuturnya. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Agus
Suhartono mengatakan, TNI harus siap menghadapi perang hibrida. Pembelian
perlengkapan senjata TNI dalam tiga tahun terakhir ini juga dipersiapkan untuk
kemungkinan menghadapi perang tersebut.
Panglima menyebut, beberapa negara maju secara khusus
menaruh perhatian pada tren biru ancaman, yaitu perang hibrida. Ini merupakan
stategi militer yang memadukan perang konvensional, perang yang tidak teratur,
dan cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia,
alat peledak improvisasi, serta perang informasi.
Menurut Panglima TNI, berbagai dinamika dan keriuhan dalam
pengadaan alutsista TNI selama tiga tahun belakangan ini, semakin memberikan
kedewasaan peran TNI. Kesungguhan pemerintah dalam menata pertahanan dan
keamanan negara, tidak hanya diproyeksikan untuk menghadapi musuh dari luar.
Tetapi juga, menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida dan masalah
terorisme di dalam negeri, katanya.
Dalam menghadapi ancaman perang hibrida, tegas Jenderal
Agus, TNI harus mampu merespon dan segera beradaptasi dengan situasi yang
berkembang. Itu tidak lain agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara
lebih cepat dan tepat.
Ia mencontohkan, pengadaan pesawat tempur sergap Super Tucano
yang sejalan dengan pengadaan pesawat Counter Insurgency (Coin) TNI AU, tidak
lain guna mengantisipasi kemungkinan berkembangnya aksi terorisme. Demikian
pula pembelian dan pengadaan alutsista matra darat dan laut yang dimaksudkan untuk
menghadapi ancaman Perang Hibrida. (ay/zis), Sumber Koran: Harian Pelita (07
Maret 2013, Hal. 01)