Kamis, 07 Maret 2013

Anggaran Hanya untuk Pertahanan Konvensional: Perkuat TNI Hadapi Perang Hibrida

Perang di masa men­datang kemungkinan ti­dak lagi mengandalkan prajurit untuk maju ke medan laga. Sasaran dan target musuh cukup dibidik dari pusat komando pertahanan. Tidak bu­tuh waktu lama, perangkat dilun­curkan dan sasaran dapat dilum­puhkan dengan teknologi terbaru seperti pesawat tanpa awak atau drone. Kombinasi antara perang konvensional yang dipadukan dengan peralatan teknologi ko­munikasi mampu menghasil­kan dan menghancurkan target musuh dengan meminimalkan kerusakan dan kerugian baik peralatan tempur maupun sum­ber daya militer seperti prajurit. 

Beberapa negara sejak beber­apa tahun terakhir secara in­tensif sudah mulai mengembangkan perangkat perang tersebut. Malahan negara se­perti Amerika Serikat (AS), Isra­el dan beberapa negara Eropa Barat sudah melakukan aksi-aksi militernya dengan teknolo­gi perang paling maju tersebut.
Bagaimana dengan Indone­sia? Sejauh mana persiapan militer Indonesia dalam meng­hadapi perang hibrida (hybrid war) yang menonjolkan kekua­tan perangkat teknologi komunikasi tercanggih? Berikut be­berapa sumbangsih pemikiran baik dari militer, analis per­tahanan maupun dari anggota perlemen Indonesia.

Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indone­sia (TNI) sudah mengantisipasi kemungkinan menguatnya apa yang diistilahkan dengan pe­rang hibrida tersebut. Kepada Pelita, Kepala Biro Hu­mas Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Sisriadi di Jakarta menyatakan kesiapannya baik Kemhan dan TNI dalam menghadapi peperangan di masa mendatang. "Kami akan menyiapkan pe­rangkat lunak dan perangkat keras dalam menghadapi berbagai ancaman di medan peperangan termasuk perang hibrida," ujarnya.

Sementara pengamat mili­ter yang juga dosen Universi­tas Pertahanan (Unhan) Bantarto Bandoro kepada Pelita se­malam mengungkapkan jaja­ran militer Indonesia atau TNI tidak boleh berdiam diri den­gan perkembangan terbaru dalam strategi perang tersebut. TNI tidak boleh berdiam diri menghadapi perubahan peper­angan di masa mendatang. Kekuatan cyber defence harus dipersiapkan secara maksimal oleh TNI ," katanya.

Karenanya, Bantarto me­nyarankan agar jajaran TNI yang terdiri dari tiga matra harus melakukan investasi besar-besa­ran di bidang pengadaan sumber daya baik perangkat teknologi maupun dukungan personelnya. "Dengan dukungan tersebut diharapkan TNI memiliki daya tahan," ujar Bantarto.

Terpisah, Wakil Ketua Komi­si I DPR Ramadhan Pohan menegaskan sudah selayaknya TNI mewaspadai ancaman per­ang hibrida, selain ancaman perang konvensional. "Dari segi darat, laut, dan udara, TNI harus mewaspa­dai segala bentuk ancaman, baik itu perang konvension­al maupun perang non konvensional seperti perang hibrida. Dan pernyataan Panglima TNI agar prajurit TNI mewaspadai perang hybrid sudah selay­aknya menjadi perhatian kita," kata Ramadhan Pohan saat di­hubungi Pelita, kemarin. Pohan mengakui, jika se­jauh ini bangsa Indonesia ma­sih memfokuskan pada upaya pemenuhan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI untuk mencapai Minimum Essensial Force (MEF).

"Saat ini kita memang ma­sih mengupayakan pemenu­han alutsista TNI. Tapi untuk menghadapi cyber war atau­pun perang teknologi informa­si terus terang kita belum menyiapkan diri secara penuh ke arah sana," katanya. Namun begitu, Pohan, meyakini jika TNI dengan sega­la sumber daya manusianya mampu mempersiapkan diri menghadapi perang hibrida.

"Kalau ditanya soal kesiapan TNI, saya yakin TNI sudah siap. Tapi dari segi anggaran yang diberi­kan itu masih bersifat untuk per­tahanan konvensional," tuturnya. Sebelumnya, Panglima TNI Jen­deral TNI Agus Suhartono men­gatakan, TNI harus siap meng­hadapi perang hibrida. Pembelian perlengkapan senjata TNI dalam tiga tahun terakhir ini juga dipersiapkan untuk kemungkinan menghadapi perang tersebut.

Panglima menyebut, bebera­pa negara maju secara khusus menaruh perhatian pada tren biru ancaman, yaitu perang hib­rida. Ini merupakan stategi mili­ter yang memadukan perang konvensional, perang yang tidak tera­tur, dan cyber warfare, baik beru­pa serangan nuklir, senjata biolo­gi dan kimia, alat peledak impro­visasi, serta perang informasi.

Menurut Panglima TNI, ber­bagai dinamika dan keriuhan dalam pengadaan alutsista TNI selama tiga tahun belakangan ini, semakin memberikan kede­wasaan peran TNI. Kesungguhan pemerintah dalam menata pertahanan dan keaman­an negara, tidak hanya diproyek­sikan untuk menghadapi musuh dari luar. Tetapi juga, menyiap­kan kemungkinan berkembang­nya perang hibrida dan masalah terorisme di dalam negeri, katanya.

Dalam menghadapi ancaman perang hibrida, tegas Jenderal Agus, TNI harus mampu merespon dan segera beradaptasi den­gan situasi yang berkembang. Itu tidak lain agar dapat menganti­sipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat.

Ia mencontohkan, pengadaan pe­sawat tempur sergap Super Tucano yang sejalan dengan pengadaan pesawat Counter Insurgency (Coin) TNI AU, tidak lain guna menganti­sipasi kemungkinan berkembang­nya aksi terorisme. Demikian pula pembelian dan pengadaan alutsista matra darat dan laut yang dimaksudkan un­tuk menghadapi ancaman Per­ang Hibrida. (ay/zis), Sumber Koran: Harian Pelita (07 Maret 2013, Hal. 01)