Selasa, 05 Maret 2013

“Solusi Papua Perlu Komunikasi Persuasif dan Dialog”

Majalah Forum (10-03-2013, Hal. 47)
Papua kembali bergejolak. Kali ini korbannya ang­gota TNI. Sebanyak delapan anggota TNI tertem­bak di dua lokasi berbeda, Kamis dua pekan lalu. TNI, melalui juru bicaranya, Iskandar Sitompul, mene­gaskan pelaku penembakan berasal dari Organisasi Papua Mereka (OPM).
Bagaimana pihak Komisi I DPR, mitra kerja TNI meli­hat persoalan penembakan TNI tersebut? Apakah yang terjadi di tanah Papua termasuk konflik sosial atau kegiatan terorisme? Berikut penjelasan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dra. Lucy Kurniasari, kepada Zulkarmedi Siregar kepada FORUM :
Papua kembali bergolak. Dela­pan anggota TNI tertembak mati. Apa yang terjadi di Papua?
Pertama, kita harus sadar kon­disi di Papua itu memang memer­lukan kehati-hatian dalam setiap bertindak. Artinya, setiap langkah yang diambil TNI di Papua sebaiknya tertib melaksanakan prosedur operasional standar. Ini yang kurang diperhatikan para pet­inggi pihak TNI. Kalau TNI mengam­bil logistik dari bandara ke area operasional, seharusnya disterilkan terlebih dahulu jalur yang akan dile­wati dan tetap bersiaga dengan senjata lengkap.
Penembakan di Papua sudah sering terjadi. Menga­pa masih terulang di Papua?
Menurut pandangan kami, dalam menjaga NKRI dari segala bentuk ancaman, baik dari luar maupun dari dalam, yang sangat penting adalah koordinasi lintas institusi dan aparat kita. Personel BIN, Polri dan TNI itu harus memiliki koordinasi yang kuat, sehingga segala bentuk ancaman itu bisa diantisipasi. Kejadian penem­bakan anggota TNI dan Polri itu mestinya bisa dihindari.
Keterangan resmi TNI mengatakan, yang melakukan penembakan adalah Organisasi Papua Merdeka. Soal OPM ini, dari dulu hingga kini tidak terselesaikan. Menurut Anda, pendekatan yang harus dilakukan pemerintah?
Kita perlu cara komunikasi yang lebih baik. Perlu langkah-langkah persuasif, mengajak saudara-saudara kita di Papua berdialog dari hati ke hati. Ini memang harus secara berkesinambungan dilakukan. Kita jangan bosan melakukannya. Kita harus terus menerus menga­jak saudara-saudara kita untuk bersama-sama membangun Papua. Memang harus ada keberpihakan dari semua kalangan, bukan hanya pemerintah, untuk lebih memperhatikan Papua. Perlu pendekatan kekeluargaan guna menyelesaikan masalah-masalah Papua.
Pemerintah sedang melakukan pengkajian, apakah yang terjadi di Papua konflik sosial atau sudah masuk pada tindakan teroris. Menurut Anda?
Kami kira masih pada kasus konflik sosial. Dan menurut kami, stigma-stigma yang diberikan kepada saudara-saudara kita di Papua sebagai teroris dan sepa­ratis itu harus dibuang jauh-jauh. Sebab, kalau kita men­empatkan posisi saudara-saudara kita itu sebagai musuh, tentu pendekatan dan cara penyelesaiannya akan berbeda. Akibatnya, bukan menyelesaikan, tapi memicu per­soalan baru. Mereka itu anak bangsa Indonesia yang harus dirangkul.
Banyak kalangan berpendapat, perlawanan masyarakat Papua makin membara karena ada kepentingan asing yang bermain. Tanggapan Anda?
Menurut kami, kondisi itu dimainkan oleh para provokator yang memang punya kepentingan tertentu atas situasi rawan di Papua. Tidak menutup kemungkinan memang ada pihak-pihak asing yang menunggangi mereka, sehingga dapat memprovokasi masyarakat di sana untuk melawan.
Otonomi khusus diambil sebagai solusi untuk Papua. Tapi kenyataannya tidak berhasil. Apakah dugaan korupsi Dana Otsus juga menjadi penyebab?
Kami juga sering mendengar itu. Kami sangat menyayangkan, kalau dana Otsus itu disalahgunakan oleh beberapa oknum. Tentu, sebagai negara hukum, jika ada tindak pidana korupsi atas dana-dana yang dis­elewengkan, aparat hukum harus tegas menindaknya. Itu tidak boleh terjadi, karena korbannya adalah saudara-saudara kita di Papua. Saya mengutuk keras korupsi Dana Otsu itu.
Komisi I seperti apa rekomendasinya kepada TNI dan pemerintah?
Dalam rapat terakhir dengan TNI dan BIN (Badan Intelijen Negara), kita bersepakat perlu diadakan perte­muan lanjutan untuk membahas soal ini. Sumber: Majalah Forum