Majalah Forum (10-03-2013, Hal.
47)
Papua kembali bergejolak. Kali
ini korbannya anggota TNI. Sebanyak delapan anggota TNI tertembak di dua
lokasi berbeda, Kamis dua pekan lalu. TNI, melalui juru bicaranya, Iskandar Sitompul,
menegaskan pelaku penembakan berasal dari Organisasi Papua Mereka (OPM).
Bagaimana pihak Komisi I DPR,
mitra kerja TNI melihat persoalan penembakan TNI tersebut? Apakah yang terjadi
di tanah Papua termasuk konflik sosial atau kegiatan terorisme? Berikut
penjelasan Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dra. Lucy
Kurniasari, kepada Zulkarmedi Siregar kepada FORUM :
Papua kembali bergolak. Delapan
anggota TNI tertembak mati. Apa yang terjadi di Papua?
Pertama, kita harus sadar kondisi
di Papua itu memang memerlukan kehati-hatian dalam setiap bertindak. Artinya,
setiap langkah yang diambil TNI di Papua sebaiknya tertib melaksanakan prosedur
operasional standar. Ini yang kurang diperhatikan para petinggi pihak TNI.
Kalau TNI mengambil logistik dari bandara ke area operasional, seharusnya
disterilkan terlebih dahulu jalur yang akan dilewati dan tetap bersiaga dengan
senjata lengkap.
Penembakan di Papua sudah sering
terjadi. Mengapa masih terulang di Papua?
Menurut pandangan kami, dalam
menjaga NKRI dari segala bentuk ancaman, baik dari luar maupun dari dalam, yang
sangat penting adalah koordinasi lintas institusi dan aparat kita. Personel
BIN, Polri dan TNI itu harus memiliki koordinasi yang kuat, sehingga segala
bentuk ancaman itu bisa diantisipasi. Kejadian penembakan anggota TNI dan
Polri itu mestinya bisa dihindari.
Keterangan resmi TNI mengatakan,
yang melakukan penembakan adalah Organisasi Papua Merdeka. Soal OPM ini, dari
dulu hingga kini tidak terselesaikan. Menurut Anda, pendekatan yang harus
dilakukan pemerintah?
Kita perlu cara komunikasi yang
lebih baik. Perlu langkah-langkah persuasif, mengajak saudara-saudara kita di
Papua berdialog dari hati ke hati. Ini memang harus secara berkesinambungan
dilakukan. Kita jangan bosan melakukannya. Kita harus terus menerus mengajak
saudara-saudara kita untuk bersama-sama membangun Papua. Memang harus ada
keberpihakan dari semua kalangan, bukan hanya pemerintah, untuk lebih
memperhatikan Papua. Perlu pendekatan kekeluargaan guna menyelesaikan
masalah-masalah Papua.
Pemerintah sedang melakukan pengkajian,
apakah yang terjadi di Papua konflik sosial atau sudah masuk pada tindakan teroris.
Menurut Anda?
Kami kira masih pada kasus
konflik sosial. Dan menurut kami, stigma-stigma yang diberikan kepada
saudara-saudara kita di Papua sebagai teroris dan separatis itu harus dibuang
jauh-jauh. Sebab, kalau kita menempatkan posisi saudara-saudara kita itu sebagai
musuh, tentu pendekatan dan cara penyelesaiannya akan berbeda. Akibatnya, bukan
menyelesaikan, tapi memicu persoalan baru. Mereka itu anak bangsa Indonesia
yang harus dirangkul.
Banyak kalangan berpendapat,
perlawanan masyarakat Papua makin membara karena ada kepentingan asing yang
bermain. Tanggapan Anda?
Menurut kami, kondisi itu dimainkan
oleh para provokator yang memang punya kepentingan tertentu atas situasi rawan
di Papua. Tidak menutup kemungkinan memang ada pihak-pihak asing yang
menunggangi mereka, sehingga dapat memprovokasi masyarakat di sana untuk
melawan.
Otonomi khusus diambil sebagai
solusi untuk Papua. Tapi kenyataannya tidak berhasil. Apakah dugaan korupsi
Dana Otsus juga menjadi penyebab?
Kami juga sering mendengar itu.
Kami sangat menyayangkan, kalau dana Otsus itu disalahgunakan oleh beberapa
oknum. Tentu, sebagai negara hukum, jika ada tindak pidana korupsi atas
dana-dana yang diselewengkan, aparat hukum harus tegas menindaknya. Itu tidak
boleh terjadi, karena korbannya adalah saudara-saudara kita di Papua. Saya
mengutuk keras korupsi Dana Otsu itu.
Komisi I seperti apa
rekomendasinya kepada TNI dan pemerintah?
Dalam rapat terakhir dengan TNI
dan BIN (Badan Intelijen Negara), kita bersepakat perlu diadakan pertemuan
lanjutan untuk membahas soal ini. Sumber: Majalah Forum