Baik mahasiswa maupun prajurit TNI punya
pandangan yang bertolak belakang saat melihat yang lain. Mahasiswa memandang
prajurit TNI sebagai alat negara yang diserahi hak terhadap kekerasan, tetapi
digunakan untuk menindas rakyat.
Sementara prajurit TNI melihat mahasiswa sebagai
kelompok yang gemar mengganggu ketertiban dengan berunjuk rasa dan menyebabkan
kemacetan di jalanan. Seolah tak ada ruang bagi keduanya untuk bekerja sama.
Namun, sebuah kesempatan berhasil menyatukan dua
kelompok tersebut untuk bekerja sama. Namanya Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi,
menjelajahi Pulau Sulawesi selama empat bulan, dari awal Maret hingga akhir
Juni, untuk memetakan keanekaragaman hayati ataupun mendata titik rawan bencana.
Ekspedisi yang digagas Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) itu sudah berlangsung untuk tahun ke-3 setelah sebelumnya di Pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Peserta dari ekspedisi ini tak melulu prajurit TNI.
Masyarakat sipil dilibatkan, yakni mahasiswa dan dosen sebagai peneliti.
Anggota kepolisian juga ikut untuk pertama kali dalam ekspedisi ini. Komposisi
mahasiswa meningkat sejak pelaksanaan pertama, dari 50 orang menjadi 100
orang di Pulau Kalimantan dan 200 orang untuk ekspedisi di Pulau Sulawesi.
Hanya dalam masa dua minggu untuk pembekalan di
Situ Lembang, Kabupaten Bandung Barat, kerja sama itu sudah terasa. Selama
masa itu, peserta dari mahasiswa dikumpulkan dengan prajurit TNI untuk
pembekalan ekspedisi empat bulan mendatang. Dalam masa itu, interaksi
dilakukan sesama manusia, yang satu berbaju mahasiswa dan yang lain berseragam
loreng hijau.
"Ternyata mereka lucu-lucu juga. Sebetulnya
mereka orang yang baik," kata Elvira, mahasiswa Universitas Islam Negeri
Malang, saat ditemui di sela-sela pembubaran masa pembekalan.
Elvira yang akan meneliti di sub korwil Tana Toraja
mengungkapkan, asumsinya bahwa semua tentara itu kaku, keras, dan cenderung
menyeramkan langsung terkikis. Kesan awal itulah yang didapatkan sewaktu dia
di bangku SMA dan berlatih pasukan pengibar bendera dengan instruktur seorang
prajurit.
Hal serupa diutarakan Alvian Adi Saputra, mahasiswa
Ilmu Komunikasi Universitas Yudharta Pasuruan. Dia kebagian subkorwil Luwuk
Banggai. Ia mengakui harus mengubah pendapatnya tentang tentara. Dia semula
menganggap semua tentara tak bersahabat karena seragam yang dikenakan.
Saling
memahami
Pengalaman itulah yang muncul selama dua kali
pelaksanaan ekspedisi sebelumnya. Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal
Pramono Edhie Wibowo mengatakan, kegiatan ini mempunyai misi lain, yakni
mendekatkan mahasiswa dengan tentara agar saling memahami.
"Bukan tak mungkin rasa bermusuhan itu muncul
karena tidak saling mengenal," ujarnya dalam penutupan pembekalan
ekspedisi di Situ Lembang.
Selama dua minggu dia sengaja meminta tentara dan
mahasiswa agar bisa berbaur. Sebab, di Pulau Sulawesi nanti, mereka hanya bisa
menggantungkan diri kepada satu sama lain.
Pramono optimistis tujuan itu bisa tercapai karena
dua kali ekspedisi sebelumnya berbuah manis. Ada mahasiswa yang berkenalan
dengan masyarakat di pelosok Pulau Kalimantan, dia bahkan diangkat sebagai
anak oleh salah satu keluarga. Perpisahan pun penuh tangis.
Dengan menggelar ekspedisi ini, kata Pramono, para
prajurit juga diharapkan melihat sisi lain dari mahasiswa yang tak sering
terekspos dalam pemberitaan. Ada juga mahasiswa yang memilih berkarya lewat
penelitian dan turun ke lapangan.
Punya
masalah
Partisipasi mahasiswa dalam ekspedisi NKRI
sebagian besar untuk menambah pengalaman dan mencari bahan tulisan. Ini yang
dilakukan mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia, Maria
Anastasia. la kebagian subkorwil Kepulauan Sangihe.
Dalam kriminologi, kata Maria, dipelajari tentang
penyebab konflik yang sebagian di antaranya melibatkan prajurit TNI. Dia punya
pandangan yang lebih mendalam begitu berkumpul selama dua minggu bersama
mereka.
"Di balik seragam itu, mereka tetap manusia
yang memiliki tugas berat dan terkadang juga mengalami keterbatasan ekonomi
karena gaji yang belum memadai," ujar Maria.
Salah satu poin positif yang bisa diambil dalam
perkenalan selama dua minggu itu, kata Maria, adalah sikap optimistis yang
selalu ditanamkan kepada setiap prajurit.
Ia mengungkapkan, prajurit harus tetap senang
bagaimanapun kondisinya. Itulah sebabnya mereka selalu menyanyi bersama
sebagai cara melepas kepenatan.
Hal serupa diutarakan Deni, mahasiswa Teknik
Geologi Universitas Diponegoro, Semarang. Di balik pencitraan garang, para
prajurit memiliki modal loyalitas yang terus dibawa. (Didit Putra Erlangga Kahardjo), Sumber Koran: Kompas (19 Maret
2013/Selasa, Hal. 35)