Selasa, 19 Maret 2013

Mahasiswa dan Prajurit TNI Bisa Bersahabat


Baik mahasiswa maupun prajurit TNI punya pandangan yang bertolak belakang saat melihat yang lain. Mahasiswa memandang prajurit TNI sebagai alat negara yang diserahi hak terhadap kekerasan, tetapi digunakan untuk menindas rakyat.

Sementara prajurit TNI melihat maha­siswa sebagai kelom­pok yang gemar mengganggu keter­tiban dengan berun­juk rasa dan me­nyebabkan kemacetan di jalanan. Se­olah tak ada ruang bagi keduanya untuk bekerja sama.

Namun, sebuah kesempatan berha­sil menyatukan dua kelompok tersebut untuk bekerja sama. Namanya Ekspe­disi NKRI Koridor Sulawesi, menjela­jahi Pulau Sulawesi selama empat bu­lan, dari awal Maret hingga akhir Juni, untuk memetakan keanekaragaman hayati ataupun mendata titik rawan bencana.

Ekspedisi yang digagas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu sudah berlangsung untuk tahun ke-3 setelah sebelumnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Peserta dari ekspedisi ini tak melulu prajurit TNI. Masyarakat sipil dilibat­kan, yakni mahasiswa dan dosen seba­gai peneliti. Anggota kepolisian juga ikut untuk pertama kali dalam eks­pedisi ini. Komposisi mahasiswa me­ningkat sejak pelaksanaan pertama, da­ri 50 orang menjadi 100 orang di Pulau Kalimantan dan 200 orang untuk eks­pedisi di Pulau Sulawesi.

Hanya dalam masa dua minggu un­tuk pembekalan di Situ Lembang, Ka­bupaten Bandung Barat, kerja sama itu sudah terasa. Selama masa itu, peserta dari mahasiswa dikumpulkan dengan prajurit TNI untuk pembekalan eks­pedisi empat bulan mendatang. Dalam masa itu, interaksi dilakukan sesama manusia, yang satu berbaju mahasiswa dan yang lain berseragam loreng hi­jau.

"Ternyata mereka lucu-lucu juga. Se­betulnya mereka orang yang baik," kata Elvira, mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang, saat ditemui di sela-sela pembubaran masa pembekalan.

Elvira yang akan meneliti di sub korwil Tana Toraja mengungkapkan, asumsinya bahwa semua tentara itu kaku, keras, dan cenderung menyeramkan langsung terkikis. Kesan awal itu­lah yang didapatkan sewaktu dia di bangku SMA dan berlatih pasukan pe­ngibar bendera dengan instruktur se­orang prajurit.

Hal serupa diutarakan Alvian Adi Saputra, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Yudharta Pasuruan. Dia kebagian subkorwil Luwuk Banggai. Ia mengakui harus mengubah pendapatnya tentang tentara. Dia semula meng­anggap semua tentara tak bersahabat karena seragam yang dikenakan.

Saling memahami
Pengalaman itulah yang muncul se­lama dua kali pelaksanaan ekspedisi sebelumnya. Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengatakan, kegiatan ini mempunyai misi lain, yakni mendekatkan ma­hasiswa dengan tentara agar saling me­mahami.

"Bukan tak mungkin rasa bermu­suhan itu muncul karena tidak saling mengenal," ujarnya dalam penutupan pembekalan ekspedisi di Situ Lem­bang.

Selama dua minggu dia sengaja me­minta tentara dan mahasiswa agar bisa berbaur. Sebab, di Pulau Sulawesi nanti, mereka hanya bisa menggantungkan diri kepada satu sama lain.

Pramono optimistis tujuan itu bisa tercapai karena dua kali ekspedisi se­belumnya berbuah manis. Ada ma­hasiswa yang berkenalan dengan ma­syarakat di pelosok Pulau Kalimantan, dia bahkan diangkat sebagai anak oleh salah satu keluarga. Perpisahan pun penuh tangis.

Dengan menggelar ekspedisi ini, ka­ta Pramono, para prajurit juga diha­rapkan melihat sisi lain dari mahasiswa yang tak sering terekspos dalam pem­beritaan. Ada juga mahasiswa yang me­milih berkarya lewat penelitian dan turun ke lapangan.

Punya masalah
Partisipasi mahasiswa dalam ekspe­disi NKRI sebagian besar untuk menambah pengalaman dan mencari ba­han tulisan. Ini yang dilakukan ma­hasiswa Jurusan Kriminologi Univer­sitas Indonesia, Maria Anastasia. la kebagian subkorwil Kepulauan Sangi­he.

Dalam kriminologi, kata Maria, di­pelajari tentang penyebab konflik yang sebagian di antaranya melibatkan pra­jurit TNI. Dia punya pandangan yang lebih mendalam begitu berkumpul se­lama dua minggu bersama mereka.

"Di balik seragam itu, mereka tetap manusia yang memiliki tugas berat dan terkadang juga mengalami keterbatas­an ekonomi karena gaji yang belum memadai," ujar Maria.

Salah satu poin positif yang bisa diambil dalam perkenalan selama dua minggu itu, kata Maria, adalah sikap optimistis yang selalu ditanamkan ke­pada setiap prajurit.

Ia mengungkapkan, prajurit harus tetap senang bagaimanapun kondisi­nya. Itulah sebabnya mereka selalu menyanyi bersama sebagai cara me­lepas kepenatan.

Hal serupa diutarakan Deni, ma­hasiswa Teknik Geologi Universitas Di­ponegoro, Semarang. Di balik pencit­raan garang, para prajurit memiliki modal loyalitas yang terus dibawa. (Didit Putra Erlangga Kahardjo), Sumber Koran: Kompas (19 Maret 2013/Selasa, Hal. 35)