Senjata yang menewaskan prajurit TNI dan warga sipil di Papua diduga
diselundupkan melalui perbatasan Papua Nugini. Tapi TNI tidak ingin
berspekulasi. Pengejaran tersangka pelaku penembakan dilakukan pihak
kepolisian.
Isak tangis pecah ketika keluarga anggota TNI menerima jenazah
Prajurit Kepala (Praka) Wemprit Tamahiwu dan Prajurit Satu (Pratu) Mustofa usai
menjalani upacara militer di Bandar Udara (Bandara) Nabire, Papua, Senin siang
lalu. Prajurit TNI dari Yonif 753/Arga Vira Tama itu gugur bersama enam orang
lainnya, yang terlibat baku tembak dengan sayap kelompok Organisasi Papua
Merdeka (OPM), Kamis pagi pekan lalu.
Penembakan pertama yang membabi buta itu terjadi sekitar pukul 09,30 WITA
di sekitar pos TNI Distrik Tinggi-nambut, Kabupaten Puncakjaya. Anggota satgas,
Pratu Wahyu Bowo, gugur setelah mengalami luka tembak di dada dan leher. Lettu
Infantri Reza, Komandan Pos Tingginambut, menyusul kena tembak pada lengan
kirinya.
Satu jam berselang, sembilan anggota TNI diserang kelompok sipil
bersenjata di Distrik Sinak, sekitar 60 kilometer dari Tingginambut. Prajurit
TNI yang berjalan kaki sekitar dua kilometer menuju Bandara Sinak untuk
mengambil perlengkapan alat komunikasi dari Nabire itu diberondong dengan
senjata api.
Nahas, tujuh di antaranya meninggal, masing-masing Sertu Ramadhan,
Sertu M. Udin, Sertu Frans, Pratu Mustofa, Pratu Edi, Pratu Jojo Wiharjo, dan
Praka Wempi. Dua lainnya dikabarkan sempat melarikan diri.
Ironisnya, mereka dihadang tanpa dibekali persenjataan. Alasannya,
"TNI di Papua berusaha membaur dengan masyarakat sekitar dan menghilangkan
nuansa militeristik. Mungkin kelompok bersenjata itu melihat celah untuk
menyerang TNI," kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Laksamana Muda
Iskandar Sitompul, kepada Gatra.
Insiden penembakan itu berakhir Kamis sore. Prajurit TNI yang berjaga
di sekitar lokasi turut membantu mengejar kelompok penyerang. Tindakan itu
sekaligus membuka ruang evakuasi untuk mengangkut jenazah melalui helikopter.
Esoknya, helikopter jenis Puma dihadang cuaca buruk. Situsi makin menyulitkan
setelah kelompok bersenjata lagi-lagi melepas tembakan. Selain merusak kokpit
pesawat, juga melukai tangan kiri perwira teknik, Lettu Tek Amang Rosadi, dan
dua krunya.
Namun evakuasi itu tetap dilanjutkan hingga berhasil membawa dua
korban di Tingginambut. Sedangkan tujuh korban anggota TNI dan empat warga
sipil lainnya baru dapat diterbangkan menuju Lanud Jayapura menggunakan heli
jenis MI-17 pada hari Sabtu.
Serangan terhadap prajurit TNI dalam setahun terakhir ini tercatat
sudah 14 kali, dengan jumlah korban 25 anggota TNI dan Polri serta sipil. Kali
ini cukup banyak menelan korban tewas dan luka. "Serangan ini tidak
dilakukan secara acak. Ada dugaan, itu sudah direncanakan," kata Iskandar.
Dugaan TNI sejalan dengan laporan intelijen yang diterima Menko
Polhukam, Djoko Suyanto, yang mengindikasikan lokasi di Tingginambut telah
dikuasai kelompok Goliat Tabuni dan Murib di Sinak. "Mereka diduga pelaku
penembakan," kata Djoko. Dia meminta pelakunya ditindak tegas serta
memerintahkan Pangdam dan Kapolda berkoordinasi, mengejar dan memproses hukum
siapa pun yang terlibat. "Tindakan ini tidak bertanggung jawab," ujar
Djoko.
Kelompok yang dituding dalam insiden itu menyatakan bahwa gempuran
kali ini sekadar mengingatkan bahwa mereka masih tetap eksis di Papua.
"Ini baru revolusi tahapan. Akan dilakukan revolusi total guna meraih hak
politik untuk menentukan nasib rakyat Papua Barat," kata Goliat Tabuni,
pemimpin kelompok Goliat Tabuni.'
Goliat mengungkapkan bahwa persenjataan yang mereka miliki tidak
begitu banyak. Namun semua itu tidak lepas dari campur tangan pihak asing yang
turut membantu menyiapkan amunisi. "Simpatisan membantu kami senjata,
radio deteksi, dan komunikasi," katanya.
Logistik "perang" yang dimaksud Goliat itu memang sengaja
diselundupkan masuk Papua, tanpa diendus aparat setempat. Senjata dan amunisi
yang mereka miliki disusupkan melalui perbatasan Provinsi Sandaun, Papua Nugini
(PNG), yang asalnya dari bantuan LSM di Australia. "Saya cukup banyak
mengetahui letak jalur masuknya bantuan," tuturnya.
Meski kelompok bersenjata yang berjumlah sekitar 30 orang itu mendapat
subsidi perlengkapan militer dari luar, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen
Christian Zebua, tidak tinggal diam. Dia menegaskan bahwa TNI dan Polri akan
terus mengejar mereka yang sengaja mengganggu masyarakat Papua dan mengancam
NKRI. "Hanya sebagian di antara mereka yang memiliki senjata api,"
katanya.
Motif penyerangan dua kelompok itu, kata Christian, diduga karena
tidak senang atas kehadiran TNI yang selalu dekat dengan rakyat Papua melalui
kegiatan sosial masyarakat. "Mereka iri kalau prajurit mendapat
simpati," ujar Christian.
Dalam catatan Gatra, kelompok itu masuk ke Puncak Jaya sejak 2004.
Mereka berasal dari kawasan hutan Kali Kopi Tanggul Timur, Timika, yang
berafiliasi dengan Kelly Kwalik, bangkotan OPM yang tewas pada Desember 2009.
Setelah menguasai Puncak Jaya dan menancapkan markas di Tingginambut, sayap
militer Goliat Tabuni merekrut anak muda belasan tahun sebagai anggotanya.
Mereka membentengi diri dengan senjata luar, ditambah koleksi rampasan milik
TNI dan Polri.
Goliat punya banyak ranting kelompok, yang kadangkala bertindak tanpa
komando atasan. Mereka menamakan diri Marunggen, Telenggen, Puron Wenda, dan
Rambo, tersebar di beberapa lokasi. Berbeda dari Murib yang belum lama berkembang
ketika pemekaran Kabupaten Puncak, yang melepas induknya, Puncak Jaya. Markas
Murib dibiarkan bercokol di Sinak. Meski keduanya berbeda lokasi, komunikasi
terjalin baik dan sering berkumpul di Tingginambut, Puncak Jaya.
Benarkah pengakuan Goliat bahwa senjata mereka sebagian berasal dari
luar negeri? Laksamana Muda Iskandar Sitompul belum berani berspekulasi.
"Silakan kalau ada yang ngomong seperti itu. TNI belum berani mengindikasikan,
karena kami tidak pernah berandai-andai," katanya. Pengejaran terhadap pelaku
penembakan selanjutnya dilakukan pihak kepolisian. Anthony Diafar, jennar Kiansantang
dan Antonius Un Taolin (Papua).
Majalah Gatra hal.34-35, 6 Maret 2013