Rabu, 20 Maret 2013

Konflik TNI-Polri Terus Terjadi Karena Tidak Tahu Akar Masalah



Tuesday, 19 March 2013 08:38

Jakarta, GATRAnews - Pengamat militer Salim Said menilai persoalan utama konflik TNI-Polri, karena tak pernah diketahui secara tepat akar konflik itu sendiri. Ia usul, pemerintah menugasi LIPI meneliti dengan wawancara langsung prajurit dan perwira di berbagai tempat. "Mengapa tentara gampang terprovokasi? Mengapa polisi terkesan sewenang-wenang? Ini harus diteliti betul," katanya.

Analisis yang selama ini beredar, kata Salim, lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian akademik yang objektif. Seperti dugaan perebutan rezeki, psikologi polisi yang tidak dibayangi tentara, dan tentara yang mudah tersinggung. "Sudah waktunya menyelesaikan permasalahan dengan data objektif, karena tidak ada jaminan besok tidak terjadi lagi," ujarnya kepada GATRAnews, Kamis pekan lalu.

Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengakui minimnya penelitian soal konflik TNI-Polri. Tahun 2004, Ikrar pernah memimpin tim LIPI meneliri relasi TNI dengan Polri dalam penanganan keamanan dalam negeri (2000-2004) di Papua, Poso, Ambon, Maluku Utara dan Tengah, serta Batam.

Pasca-reformasi, Ikrar menilai banyak faktor pemicu konflik TNI dengan Polri. Salah satunya, kecemburuan. Polisi dinilai punya peran lebih pada ranah publik, termasuk mengumpulkan dana, lewat layanan STNK dan SIM. Pengamanan objek vital, seperti Freeport di Papua, yang sebelumnya di bawah TNI, belakangan dialihkan ke Polri. Kalau soal remunerasi, kata Ikrar, justru TNI sedikit lebih tinggi. Tapi, untuk pendapatan di luar remunerasi, Polri lebih banyak celah, seperti pengamanan pemilu dan pilkada.

Upaya sinergi TNI dan Polri melalui MoU penanganan terorisme, menurut Ikrar, baru sebatas penyataan verbal. Dalam teori hubungan sipil-militer, kata Ikrar, tentara memang rentan konflik. Apalagi, kalau situasi damai, militer menjadi institusi yang menganggur (idle). Keterampilan banyak, tapi tidak digunakan. "Mereka punya idle capacity," katanya. Dalam situasi tak ada perang, tentara harus dimaksimalkan dalam operasi non-perang, seperti penanganan bencana.

Andi Widjajanto, pengamat militer dari Universitas Indonesia, melihat faktor utama ketegangan TNI-Polri adalah belum selesainya proses pembentukan budaya baru. Budaya Polri tidak boleh lagi berciri militer, tapi masih ada satuan polisi yang berkarakter militer, seperti Brimob dan Densus 88. Kapolri juga masih bertanggung jawab di bawah presiden langsung tanpa ada kementerian yang menaunginya. Posisi Polri di bawah presiden langsung itu, menurut Andi, merupakan anomali reformasi.

Sedangkan TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan. Menurut Andi, Polri perlu ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri atau bentukan baru, Kementerian Kepolisian Nasional, agar kewenangan politik dan operasional Polri tidak menjadikannya melebihi TNI.

Di Jepang, kepolisian berada di bawah Kompolnas. Amerika Serikat menempatkan kepolisian di bawah yurisdiksi negara bagian. Malaysia mendudukkan polisi dalam wewenang Kementerian Dalam Negeri. "Zaman Soekarno, kita pernah menempatkan tentara dan polisi di bawah Menteri Keamanan Nasional," kata Andi. (SPR, FKU)