Tuesday, 19 March 2013 08:38
Jakarta, GATRAnews - Pengamat
militer Salim Said menilai persoalan utama konflik TNI-Polri, karena tak pernah
diketahui secara tepat akar konflik itu sendiri. Ia usul, pemerintah menugasi
LIPI meneliti dengan wawancara langsung prajurit dan perwira di berbagai
tempat. "Mengapa tentara gampang terprovokasi? Mengapa polisi terkesan
sewenang-wenang? Ini harus diteliti betul," katanya.
Analisis yang selama ini beredar,
kata Salim, lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian akademik yang objektif.
Seperti dugaan perebutan rezeki, psikologi polisi yang tidak dibayangi tentara,
dan tentara yang mudah tersinggung. "Sudah waktunya menyelesaikan permasalahan
dengan data objektif, karena tidak ada jaminan besok tidak terjadi lagi,"
ujarnya kepada GATRAnews, Kamis pekan lalu.
Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti,
mengakui minimnya penelitian soal konflik TNI-Polri. Tahun 2004, Ikrar pernah
memimpin tim LIPI meneliri relasi TNI dengan Polri dalam penanganan keamanan
dalam negeri (2000-2004) di Papua, Poso, Ambon, Maluku Utara dan Tengah, serta
Batam.
Pasca-reformasi, Ikrar menilai
banyak faktor pemicu konflik TNI dengan Polri. Salah satunya, kecemburuan. Polisi
dinilai punya peran lebih pada ranah publik, termasuk mengumpulkan dana, lewat
layanan STNK dan SIM. Pengamanan objek vital, seperti Freeport di Papua, yang
sebelumnya di bawah TNI, belakangan dialihkan ke Polri. Kalau soal remunerasi,
kata Ikrar, justru TNI sedikit lebih tinggi. Tapi, untuk pendapatan di luar
remunerasi, Polri lebih banyak celah, seperti pengamanan pemilu dan pilkada.
Upaya sinergi TNI dan Polri
melalui MoU penanganan terorisme, menurut Ikrar, baru sebatas penyataan verbal.
Dalam teori hubungan sipil-militer, kata Ikrar, tentara memang rentan konflik.
Apalagi, kalau situasi damai, militer menjadi institusi yang menganggur (idle).
Keterampilan banyak, tapi tidak digunakan. "Mereka punya idle
capacity," katanya. Dalam situasi tak ada perang, tentara harus
dimaksimalkan dalam operasi non-perang, seperti penanganan bencana.
Andi Widjajanto, pengamat militer
dari Universitas Indonesia, melihat faktor utama ketegangan TNI-Polri adalah
belum selesainya proses pembentukan budaya baru. Budaya Polri tidak boleh lagi
berciri militer, tapi masih ada satuan polisi yang berkarakter militer, seperti
Brimob dan Densus 88. Kapolri juga masih bertanggung jawab di bawah presiden
langsung tanpa ada kementerian yang menaunginya. Posisi Polri di bawah presiden
langsung itu, menurut Andi, merupakan anomali reformasi.
Sedangkan TNI berada di bawah
Kementerian Pertahanan. Menurut Andi, Polri perlu ditempatkan di bawah
Kementerian Dalam Negeri atau bentukan baru, Kementerian Kepolisian Nasional,
agar kewenangan politik dan operasional Polri tidak menjadikannya melebihi TNI.
Di Jepang, kepolisian berada di
bawah Kompolnas. Amerika Serikat menempatkan kepolisian di bawah yurisdiksi
negara bagian. Malaysia mendudukkan polisi dalam wewenang Kementerian Dalam Negeri.
"Zaman Soekarno, kita pernah menempatkan tentara dan polisi di bawah
Menteri Keamanan Nasional," kata Andi. (SPR, FKU)