Selasa, 19 November 2013

Seroja Indah, Hati Gundah



Seroja atau lotus (Nelumbo nucifera Gaertn) adalah spesies tumbuhan air yang berasal dari India. Di Indonesia, ta­naman ini sering kali disebut teratai (Nymphaea), padahal sebenarnya berbeda. Seroja memiliki tangkai bunga tegak dan bunganya tidak mengapung di permukaan air, sementara teratai, justru sebaliknya.

Seroja tangkainya berbentuk tabung yang kosong di tengahnya untuk jalan lewat udara.Daunnya terdapat di per­mukaan air, keluar dari tangkai yang berasal dari rimpang yang berada di dalam lumpur pada dasar kolam, sungai, atau rawa. Tinggi tanaman sekitar satu meter hingga satu setengah meter.
Bunga dengan diameter sampai 20 cm, berwarna putih bersih, kuning atau merah jambu, keluar dari tangkai yang kuat men­julang di atas permukaan air.Bunga Seroja mekar pada Juli hingga Agustus.

Bunga Seroja indah dipandang sehing­ga banyak digunakan sebagai penghias kolam di taman-taman Keindahan Seroja justru membuat sedih hati seorang perem­puan muda, Fifi Aprianti, saat itu pada 1985, berusia 23 tahun.

Seroja, mengingatkan Fifi pada suami­nya, Kapten (Zeni) Anumerta Mansyur Mamidjor Panggabean, yang gugur dalam operasi Seroja pada Selasa, 19 November 1985, sekitar pukul 08.00 waktu setempat.

Saat itu sang suami, lulusan Akademi Militer 1981, NRP 29301, sebagai Komandan Kompi B, Batalyon Zeni Konstruksi (Yonzikon) 11 Ditziad, bertugas di Baucau. Kala memimpin pasukan dalam perjalanan ke Gunung Hinuk, naik truk yang berisi 12 anggota TNI.Terdiri dari enam personel-1 Yonzikon 11 dan enam personel Yonif 744, yang semuanya warga asli Timor Timur.

"Suami saya gugur bersama hampir seluruh penumpang truk.Dari 12 orang, hanya dua yang selamat," ujar Fifi.Seba­gai pengantin muda, pasangan itu baru memiliki dua anak bayi.

Seorang pegawai negeri sipil Ditziad, Juliah mengaku sebagai anak dari prajurit TNI yang gugur dalam peristiwa pengadangan truk pada November 1985 terse­but.Ia menceritakan bahwa ayahnya, Ser­san Dua Anumerta Anwar Djuma, adalah anak buah dari Kapten (Zeni) Anumerta Mansyur Panggabean.

Ia mendapatkan cerita sedih ini dari bintara Yonzikon 1 Sersan Mayor Sunardi, kini almarhum. Saat itu.Sersan Satu Sunardi berada dalam truk yang ditembak Fretilin.Hanya Sunardi dan seorang per­sonel Yonif 744 yang hidup.Keduanya semula diperkirakan sudah gugur karena saat ditemukan, senjata serta pakaian militer yang melekat dalam tubuhnya diambil Fre­tilin dan hanya menyisakan celana dalam.

"Ternyata setelah beberapa jam di rumah sakit, keduanya dinyatakan masih hidup dan hanya pingsan, walaupun tubuh bersimbah darah," ujar Juliah.

Jadi, yang gugur dalam peristiwa itu dari Yonzikon 11 adalah Kapten Anumerta Mansyur Panggabean, Serda Anumerta Anwar Djuma, Serda Anumerta Irad Sanjaya, Praka Anumerta Jayadi, Praka Anu­merta Zebua, serta lima personel Yonif 744.

Relokasi kera
Panggabean bersama anak buahnya yang gugur dimakamkan di TMP Baucau.Bersama mertuanya, Fifi baru sekali mengunjungimakam suaminya, pada 1987.Ia pernah mengajukan permohonan agar kerangka jenazah suaminya dipindahkan ke TMP Kalibata Jakarta, tetapi hingga kini belum pemeh mendapatkan jawaban.

"Saya mengajukan permohonan saat Timor Timur masih bagian dari Indonesia, tetapi tidak ada jawaban. Nah, sekarang sudah menjadi Timor Leste apa bisa saya meminta kerangka suami saya dibawa ke Jakarta,” ujar Fifi dengan nada tanya.

Nasib tidak menguntungkan pun diteri­ma Fifi bersama dua anaknya. Ia yang ting­gal di Asrama Yonzikon 11, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, mengaku beberapa kali diminta meninggalkan rumah dinas batal­yon.

Namun, ia menolak karena tidak memi­liki tempat tinggal lain. Ia pun harus beker­ja untuk menghidupi dua anaknya karena uang pensiun sebagai janda anggota TNI tak mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Fifi mengaku pernah mengajukan diri untuk mendapatkan rumah khusus veteran penyandang cacat dan janda pejuang Ti­mor Timur di Perumahan Wisma Seroja, Pondok Ungu, Bekasi Utara. Namun, se­telah melihat rumah yang dimaksud, terny­ata sudah ditempati pihak lain.

Kini, ia pun tidak tahu lagi bagaimana kondisi makam suaminya di TMP Baucau. Ia juga tidak tahu suaminya dimakamkan di TMP Baucau Tiulale atau TMP Baucau Kailara. "Saya tahunya di TMP Baucau dan ingin tahu bagaimana kondisinya saat ini, apakah negara masih mengurus tentara yang gugur di Timor Timur," ujar Fifi bertanya.

Kini, teman seangkatan suaminya, ang­katan 1981, telah menjadi pimpinan TNI dan Polri, seperti Panglima TNI Jenderal Moeldoko, KSAL Laksamana Marsetio, KSAU Marsekal  IB Putu Dunia, sertaKapolri Jenderal Sutarman.

Sementara, Juliah masih berharap ke­rangka jenazah ayahnya bisa dipindahkan ke TMP Kalibata, Jakarta."Jika bisa di­pindahkan ke TMP Kalibata, alhamdulillah.Sebab, saya belum pernah mengun­jungi makam ayah saya di Timor Leste.Kami menunggu keputusan negara saja;" ujar Juliah, pasrah.

Mengenai keinginan ahli waris untuk meminta kerangka jenazah dipindahkan ke Indonesia, menurut Duta Besar RI di Ti­mor Leste Primanto Hendrasmoro, Peme­rintah Timor Leste mendukung penuh Pemerintah RI untuk mengurus seluruh TMP yang ada di Timor Leste.

Namun, karena terkait dengan sejarah kedua negara selama sekitar 25 tahun dan monumen kepahlawanan bagi bangsa Indonesia, Pemerintah Timor Leste tidak mengizinkan kerangka jenazah dibawa ke Indonesia. "Pemerintah Timor Leste akan memberikan izin bagi keluarga yang akan berziarah ke TMP di Dili dan distrik lainnya," ungkap Primanto.

Ia mengungkapkan, dengan telah di­bentuknya Komisi Kebenaran dan Per­sahabatan (KKP) oleh Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste pada 2005, kedua belah pihak berusaha meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan. Dengan begitu, jangan sampai sebuah masalah justru akan menimbulkan peristiwa yang menyinggung kedua negara pada masa mendatang.

Yang paling penting saat itu, kata Dubes, justru pekerjaan yang sedang dilakukan Kementerian Sosial untuk men­gurus TMP bersama Kedutaan RI di Timor Leste. Antara lain, ditemukannya sebagian besar kondisi TMP yang memprihatinkan sebab banyak nisan yang hilang serta namanya yang sudah tidak ada lagi. (Slamet Ginting), Sumber Koran: Republika (19 November 2013/Selasa, Hal. 24)