Sebaliknya, para siswa Indonesia, yakni para perwira TNI dari berbagai matra, juga berinteraksi dengan siswa asing untuk mempelajari bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jerman, Perancis, Rusia, Korea, Jepang, dan lain-lain untuk kepentingan penugasan mereka di mancanegara.
Saat dikunjungi, Jumat (1/11), di Sekolah Bahasa (Sebasa) Badan Diklat Kementerian Pertahanan (Badiklat Kemhan) Pondok Labu, Jakarta Selatan, mereka baru saja selesai belajar. Umumnya mereka baru tiga hingga lima bulan di Indonesia. Banyak dari mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Salah seorang siswa yang dinilai para pengajar memiliki kemampuan baik adalah Mayor Kim Do-yong dari Korea Selatan.
"Saya sama sekali belum pernah belajar bahasa Indonesia. Ternyata banyak perbedaan bahasa yang kami pelajari dengan penggunaan yang tidak baku. Waktu saya belanja di pasar di jawab “enggak” yang membuat saya bingung. Enggak itu apa. Berulang kali bertanya baru tahu kata enggak berarti tidak," kata Kim yang akan mengikuti Sekolah Staf dan Komando di Indonesia.
Lain lagi pengalaman Mayor Liu dari Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China yang sudah lima bulan belajar-bahasa Indonesia. Pria asal Provinsi Si-chuan itu mengaku mengalami kesulitan mengucapkan huruf L dan R. "Dalam bahasa Mandarin tidak dikenal pelafalan L dan R Saya lebih gampang mencerna bahasa Indonesia saat membaca dan menulis," katanya.
Dari negeri serumpun, Malaysia, Letnan Kolonel (Letkol) Idris dan Mayor Sukri mengaku bisa cepat memahami bahasa Indonesia, tetapi banyak juga perbedaan mendasar. Kata menjemput di Malaysia berarti 'mengundang dan tidak ada kewajiban mendatangi'.
Sementara Kolonel Kaling dari Thailand mengaku secara gramatikal, bahasa Indonesia memiliki struktur sama dengan bahasa Thai. "Tapi secara umum saya tidak menemukan kesamaan dalam kosakata. Saya belajar dari nol," katanya.
Etalase diplomasi
Para perwira TNI juga mengalami suka-duka belajar bahasa asing. Kapten (Czi) Zaenal yang mendalami bahasa Perancis mengaku sudah terbiasa berbahasa Inggris dan harus memutar lidah untuk mempelajari bahasa Perancis yang pengucapannya terdengar sengau. "Ini persiapan penugasan satuan Zeni di bawah PBB entah di Kongo, Haiti, atau Lebanon," katanya.
Letkol Ginting yang belajar bahasa Rusia mengaku kesulitan yang dialami terutama dalam penggunaan konjugasi. Dia mengaku, sejumlah siswa TNI lainnya yang belajar bahasa Ru¬sia dipersiapkan untuk me¬nangani pesawat terbang Sukhoi, pengadaan tank BMP, dan sejumlah persenjataan. "Teknisi TNI AU harus bekerja sama de¬ngan teknisi Rusia Mereka ha¬rus menguasai bahasanya untuk mempermudah proses alih kemampuan," kata Ginting.
Letnan Satu (Tek) Al Zaidin dari Depo Pemeliharaan 10 Bandung menceritakan pengalamannya belajar bahasa Jerman. "Setiap benda ada jenis kelamin pria, wanita, atau netral. Itu harus dihafal karena berpengaruh terhadap penggunaan pada kalimat. Pelajaran ini penting karena kami harus menangani pesawat yang baru dibeli dari Jerman. Rekan dari TNI AD juga belajar di kelas yang sama untuk menangani tank Leopard dari Jerman," kata Zaidin, lulusan Akademi AU 2007.
Pengalaman lain diceritakan Kapten (Adm) Fernandy ER dan Lettu (Pnb) Nurfi Ahmad yang belajar bahasa Mandarin. Mereka sama sekali tidak punya kemampuan dan kini berteman dengan Mayor Liu. Nurfi yang berasal dari Garut, Jawa Barat, dan Fernandy yang asli Solo, Jawa Tengah, juga mengasah kemampuan dengan bepergian ke Pecinan di Glodok, Jakarta Barat, untuk berkomunikasi dengan pedagang.
Pemahaman budaya
Kepala Pusat Sebasa Kemhan Laksamana Pertama Paruntungan Girsang menjelaskan, para perwira asing dan TNI tidak hanya dibekali kemampuan bahasa. "Ini etalase Indonesia bagi perwira asing. Mereka hampir setahun berada di Indonesia dan harus mendapat kesan baik dan mendalam. Pemahaman budaya juga kami berikan. Keberagaman budaya Indonesia ada¬lah kekayaan yang ditampilkan dalam beragam kegiatan, termasuk pada materi belajar bahasa," kata Girsang.
Malam Bahasa dan Budaya selalu diadakan di Sebasa untuk membangun keakraban dan dihadiri duta besar serta atase pertahanan negara sahabat. Selain itu, ada pula kunjungan wisata ke pusat sejarah dan budaya di Indonesia.
Pertengahan November 2013, siswa asing akan mengunjungi Surakarta dan Yogyakarta. Siswa TNI juga diberikan pemahaman budaya tempat penugasan. Ini merupakan tempat belajar bahasa dan mengenal budaya, sarana kontak people to people dan diplomasi militer.
Pada 2013, tercatat ada 480 siswa asing dan TNI yang sekolah di Sebasa. Tahun ajaran baru akan dimulai Januari 2014.
Beragam fasilitas laboratorium bahasa dan guru penutur asli tersedia di Sebasa Kemhan. Demikian pula fasilitas penginapan, ruang makan, kantin, dan sarana penunjang sekelas hotel bintang tiga disediakan bagi para perwira asing dan perwira TNI. Sekolah Bahasa Kemhan bisa dibilang sebagai sekolah "diplomat" berseragam militer. (IWAN SANTOSA), Sumber Koran: Kompas (04 Nopember 2013/Senin, Hal. 04)