Pernyataan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Gatot Nurmantyo amat mengejutkan karena ia mengungkapkan keraguannya terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, ia menilai demokrasi di Indonesia telah salah arah.
"Demokrasi Indonesia saat ini adalah kerakyatan yang dipimpin oleh kekuatan dengan cara voting atau pemungutan suara. Demokrasi bukan lagi musyawarah untuk mufakat," kata Gatot di depan organisasi binaan TNI, Pemuda Pancasila.
Pernyataan ini memang tidak salah karena kondisi Indonesia saat ini telah menganut demokrasi liberal. Kekuatan uang amat menentukan. Pelaksanaan demokrasi liberal ini terjadi karena setelah reformasi, UUD '45 diamendemen sehingga menyebabkan semua partai politik bersifat pragmatis dan mengandalkan uang untuk berkuasa lalu me¬lakukan tindak korupsi secara besar-besaran.
TNI, terutama angkatan darat yang sangat berkuasa di era Orde Baru sejak era Reformasi diputuskan untuk menjadi tentara profesional sehingga setiap pernyataan politik dari petinggi TNI secara terbuka akan mengundang protes keras. Pernyataan petinggi TNI merupakan ancaman bagi demokrasi yang sedang dibangun masyarakat sipil.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain menyatakan rakyat Indonesia harus mewaspadai setiap upaya menyeret institusi TNI ke dalam kancah politik seperti era Orde Baru oleh para petinggi TNI. "TNI telah diputuskan rakyat Indonesia menjadi tentara profesional dan tidak boleh masuk ke kancah politik," kata Bahrain. TNI merupakan alat rakyat Indonesia sehingga tidak berhak mengklaim dan menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia.
Masih banyak para petinggi TNI yang tampaknya rindu mengembalikan Indonesia ke zaman Orde Baru, ketika pemerintahan otoriter Soeharto berkuasa ditopang dengan lars sepatu tentara. TNI, terutama AD saat itu seperti dewa yang tak tersentuh dan berdiri di atas kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan di RI. Zaman sudah berubah dan pemerintah otoriter yang ditopang militer sudah tidak laku di berbagai belahan dunia karena menimbulkan pelangaran hak asasi manusia dan represif.
Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, militer berada di bawah kendali pemerintahan sipil yang menganut demokrasi liberal. Demikian pula di Rusia, militer berada di bawah kendali Presiden Vladfmir Putin dan jaringan Siloviki yang terdiri atas mantan, para anggota Badan Intelijen Uni Soviet, KGB. Di China, Tentara Pembebasan Rakyat berada di bawah kendali Partai Komunis China (PKC) yang memiliki ideologi yang jelas.
Tentara-tentara di Amerika Latin yang progresif juga berada dibawah kendali pemerintah sipil yang dipilih rakyat secara demokratis. Militer di negara-negara Amerika Latin, seperti Venezuela, Bolivia, Brasil, dan Argentina benar-benar independen dan tidak berada di bawah kendali pengaruh Amerika Serikat seperti di Indonesia. Mereka semua menjadi militer profesional yang menjaga kepentingan dan kedaulatan negara dan bukan menjadi alat pengaman para pemilik modal asing.
Orientasi Militer
Hal ini berbeda dengan mi¬liter Indonesia, terutama sejak zaman Orde Baru. Sejumlah petinggi-pertingginya lebih sibuk menjadi komisaris atau direksi di perusahaan-perusahaan asing atau perusahaan swasta domestik atau pun masuk ke dunia bisnis. Kondisi saat ini belum banyak berubah karena para petinggi TNI yang sudah pensiun masih banyak menduduki jabatan-jabatan strategis di perusahaan-perusahaan asing atau swasta. Namun praktik-praktik ini tidak pernah dianggap penyim-pangan oleh petinggi-petinggi TNI. Padahal mereka dijadikan komisaris atau direktur dengan tugas utama mengamankan kepentingan para pemilik" modal swasta.
Jika para petinggi TNI konsisten menjunjung tinggi Sapta Marga, Pancasila, UUD '45 dan bukan sekadar lip service maka tak ada pilihan, selain membuktikan dalam tindakan nyata. Hal ini berarti TNI berperan mewujudkan kemandirian bangsa dalam bidang ekonomi, berdikari dalam bidang politik dan berkepribadian secara budaya.
Konsekuensi dari pilihan ini tentu saja TNI bukan menjadi alat kepentingan pemodal asing atau kepentingan negara-negara lain seperti Amerika Serikat atau China. Jika TNI berpikir besar mewujudkan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik maka kesejahteraan prajurit yang selama ini dikeluhkan pelan-pelan akan mampu diatasi. Sekarang yang terjadi adalah para petinggi TNI sejahtera, sedangkan para prajurit TNI merana.
TNI mungkin lupa bahwa struktur ekonomi dan politik Indonesia saat ini didominasi perusahaan-perusahaan asing, terutama di sektor-sektor strategis seperti perusahaan migas, pertambangan, perbankan, air, sehingga perekonomian Indonesia dikendalikan perusahaan-perusahaan asing. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan Pasal 33 UUD '45 yang asli, sektor-sektor strategis dikuasai negara lewat BUMN. Amat mengherankan jika Panglima TNI memiliki komitmen mengamankan investasi dan terus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan Indonesia tak lagi berdaulat di bidang ekonomi.
Menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia. Di mana gerangan TNI selalai penjaga kepentingan bangsa dan negara, penegak Pancasila, serta UUD '45 berada ketika Indonesia makin tak berdaulat secara ekonomi dan budaya? Kenapa mereka tidak bersuara, padahal kondisi ini sudah me-nyimpang jauh dari cita-cita para pendiri bangsa dan negara Indonesia?
Jika paradigma TNI hanya sebatas mengamankan investasi dan pertumbuhan ekonomi, apa bedanya TNI dengan KNIL zaman Belanda yang sama-sama bertugas mengamankan kepentingan pemilik modal atau investor untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya? Para petinggi TNI seharusnya masuk ke dalam masalah yang lebih mendasar, yakni bagaimana Indonesia mencapai kemandirian bangsa di bidang ekonomi, politik, dan budaya yang merupakan esensi kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri RI sejak 17 Agustus 1945. (Sigit Wibowo), Sumber Koran: Sinar Harapan (02 Nopember 2013/Sabtu, Hal. 02)