Selasa, 19 November 2013

Membangun Kontra Intelijen



Kesuksesan para hackerIndonesia membobol situs badan intelijenAustralia menjadi dentum agar Pemerintah Indonesia menguatkan tentara siber yang telah dibentuk pada awal Oktober kemarin. Dampak dari aksi peretasan tersebut adalah ancam­an akan terjadinya perang hacker lintas negara secara besar-besaran.

Aksi yang dilakukan oleh kelompok hacker Anonymous Indonesia terhadap 170 situs asal Australia setidaknya menjadi bukti perlawanan masyarakat Indonesia atas penyadapan Pemerintah Australia dan Amerika Serikat di se­jumlah negara Asia, termasuk Indone­sia. Tentu sangat dipahami kegeraman sebagian masyarakat Indonesia peng­guna internet yang memandang bahwa Australia tidak menghormati kedaulat­an Indonesia.

Tindakan spionase jelas menjadi an­caman serius terhadap pertahanan dan kedaulatan NKRI.Dalam hal ini, ancam­an dapat diartikan setiap usaha dan kegiatan yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, ke­utuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.Munculnya ancaman militer maupun ancaman nirmiliter tentu harus disadari dapat terjadi setiap saat.

Pada dasarnya sudah menjadi hal yang sangat lumrah bahwa adanya ope­rasi intelijen selalu diiringi dengan perang spionase.Terlebih tujuan utama dari operasi intelijen adalah mengum­pulkan informasi, yang ditujukan bagi kepentingan pihak pengambil keputusan guna membantu dalam menentukan pi­lihan dalam suatu operasi militer.

Langkah tersebut secara detail un­tuk mengetahui kondisi lawan. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia harus mengevaluasi sistem keamanan negara, mengapa bisa disadap dan mengapa sistem keamanan lemah menangkap serangan operasi intelijen negara asing.Sejak UU Intelijen disahkan pada 11Oktober 2011, tugas untuk melindungi keamanan dan kepentingan nasional terkesan masih lemah.Di mana-mana kekerasan telah menjadi tontonan hari­an masyarakat sehingga terasa tidak ada tempat yang aman di negeri ini.

Ironisnya aparat keamanan juga menjadi target teror itu sendiri, sebagai­mana peristiwa yang dialami oleh anggota Provost Polda Metro Jaya Bripka Sukardi yang tewas karena ditembak oleh orang tidak dikenal di depan gedung KPK (10/9). Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi atas Aiptu Kus Hendratno dan Bripka Ahmad Maulana, anggota Bimas Polsek Pondok Aren, ditembak saat patroli menjelang 17 Agustus.

Kiranya sulit untuk mengelak bah­wa kerja intelijen Indonesia meredam konflik di berbagai daerah dan mengantisipasi teror terhadap aparat ke­amanan belum berjalan optimal, ter­lebih melakukan penangkalan terhadap operasi intelijen negara lain. Lembaga intelijen seolah hanya berpusat pada an­caman terorisme atau pengedaran nar­koba belum semangat memproteksi ke­amanan negara dari spionase.

Secara lebih ekstrem, koordinasi antarlembaga intelijen tidak berperan me­lakukan tindakan untuk mendeteksi dini dalam rangka pencegahan, penang­kalan, dan penanggulangan terhadap hal-hal yang berpotensi menimbulkan gangguan dan ancaman keamanan.Ten­tu dapat dimaklumi jika intelijen na­sional belum bergerak cepat karena semrawutnya lembaga intelijen.

Selain Badan Intelijen Negara (BIN), ada juga intelijen yang dimiliki oleh Mabes TNI, atau juga Intelijen Keamanan (Intelkam) Mabes Polri, dan juga Intel Kejaksaan, Intel Imigrasi, Intel Bea Cukai, Intel Hak Kekayaan Intelektual, serta intel di setiap kementerian atau lembaga negara laini BIN sebagai koordinator lembaga-lembaga intelijen tersebut sampai saat ini terkesan belum jelas membangun garis koordinasinya sehingga terkesan lemahdalam kontra intelijen.

Dengan menimbang adanya aksi spionase yang dilakukan negara lain, pemerintah harus membangun keku­atan intelijen dengan mengaktifkan semua komponen intelijen terutama lembaga sandi negara dan tentara siber. Karena kontra intelijen bermain di kandang sendiri, penguasaan wilayah tentu lebih dimiliki intelijen nasional daripada intel asing.

Oleh karena itu, penting untuk me­ngembangkan sandi intelijen sebagai sebuah parameter dalam melindungi informasi yang dianggap penting dan rahasia.Kesadaran ini jelas sudah di­miliki manusia zaman dulu yang meng­anggap perlunya merahasiakan sesuatu terhadap pihak yang dianggap tidak perlu mengetahui.

Cakupan risiko dan ancaman atas kedaulatan informasi nasional semakin transnasional sehingga Indonesia men­jadi "rumah kaca" bagi intelijen negara lain. Fakta mudahnya intelijen asing menembus sumber data dan informasi nasional melalui aksi penyadapan jelas menjadi bukti lemahnya pemerintah menjaga kedaulatan informasi.Lem­baga Sandi Negara (Lemsaneg) harus berbenah untuk mengembangkan sandi negara karena penyadapan selalu ada.

Konstelasi politik hubungan luar negeri antarnegara di masa depan tentu tidak lagi dibatasi dengan status kawan dan lawan bersenjata, namun selalu di­iringi keinginan untuk menggali infor­masi lebih terhadap negara lainnya. Pada tataran empiris kenegaraan, tentu tidak dapat dibantah bahwa negara yang kuat selalu didukung lembaga in­telijen yang kuat pula.

Maka tidak heran jika hampir semua kedutaan besar melakukan kegi­atan intelijen.Sehingga, penting membangun kemampuan kontra intelijen agar kendati ada penyadapan maka yang didapatkan adalah informasi penyesatan yang sengaja dilakukan dan tidak terfilter dengan baik.(MUHK.HAMDAN sbg Fungsional Widyaiswara Kementenan Hukum dan HAM RI), Sumber Koran: Republika (19 November 2013/Selasa, Hal. 06)