Reporter : Chandra
Senin, 18 November
2013 10:45
Merdeka.com - Jalan Desa
Tlogodepok, Kecamatan Mirit, Kebumen, Jawa Tengah, yang berada di kawasan jalur
Daendels masih basah setelah hujan mengguyur sore itu. Rimbunan pohon yang
ditanam, menyambut senja sepanjang jalan desa yang berujung pada kawasan pantai
selatan.
Meski
suasana wilayah perkampungan relatif adem, nuansa tegang masih terasa di sana.
Ketegangan itu setidaknya nampak dari tuntutan warga yang dituangkan dalam
potongan bahan plastik bekas karung beras di sepanjang jalan desa.
Pesan
yang ditulis di antaranya berbunyi begini: "Ojo Dipager Tanduri Cikar
Bae", "Tanah Belum Jelas Stop Pagar !!" dan beberapa tulisan
lainnya, menemani perjalanan menuju lokasi pemagaran.
"Ini
sisa kemarin saat aksi warga yang menolak aksi pemagaran tanah di (desa)
Tlogodepok. Tadinya, semua tulisan ini ada di sepanjang jalan raya depan,"
ujar Ketua Organisasi Tlogo Wira Putra, Slamet Riyadi.
Namun,
spanduk yang dipasang setelah aksi pada Kamis 7 November silam tersebut
diturunkan beberapa orang yang pro-pemagaran.
"Setelah
aksi tersebut spanduk diturunkan, dan kami pasang di jalan-jalan desa. Kami
sebenarnya tidak ingin ada bentrok antarwarga sendiri. Karena pada dasarnya,
kami memiliki hubungan saudara juga," ujarnya saat ditemui di rumahnya,
beberapa waktu lalu.
Keresahan
Slamet juga diungkapkan warga desa lainnya, Muhammad Sahwi (46) yang mengaku
tidak senang dengan adanya pemagaran sepihak. Selama ini, Sahwi tidak
mengetahui adanya sosialisasi pemagaran sejak semula.
"Saya
nggak pernah diberikan sosialisasi. Tahu-tahu sudah dibangun saja. Kalau
seperti ini, saya yang punya pohon di sebelah selatan menjadi susah, tidak
seperti dulu," ujarnya.
Menurutnya,
selama ini memang tanah pertanian yang digarapnya bersama petani dan penderes
lainnya kerap menjadi tempat latihan TNI. Dia mengatakan, selama ini, kerap
bingung kalau ada latihan perang.
"Kalau
ada latihan perang, kami harus cepat-cepat ke kebun. Kalau biasanya jalan dari
rumah jam 8-9 pagi, saat dipakai latihan kami harus datang sekitar pukul 7 pagi
atau bisa lebih pagi lagi," ujarnya.
Selama
latihan perang, petani praktis tidak bisa memasuki kawasan pertanian yang
digarapnya. Latihan perang yang dilaksanakan didekat permukiman warga tersebut,
jelas Slamet juga menyebabkan warga terganggu.
"Kadang
kaca rumah sampai bergetar, bahkan suara senjata berat sampai malam hari,"
ujarnya.
Slamet
menambahkan, saat ini kondisi masyarakat tidak bisa tenang hidup di desa
berpenduduk 850 kepala keluarga. Dia meyakini, konflik antarwarga akan
meruncing pada suatu saat.
"Beberapa
waktu lalu saja ada konvoi yang dilakukan preman, masa tandingan warga. Kalau
sudah seperti ini, kami sudah tidak bisa hidup tenang karena perpecahan
ini," jelasnya.
Koordinator
Urut Sewu Bersatu, Widodo Sunu Nugroho mengatakan, selama ini warga yang berada
di 15 desa kawasan Urut Sewu masih terus memperjuangkan hak atas tanah yang
dahulu diklaim milik TNI.
"Kami
meyakini, tanah yang saat ini dipakai untuk latihan perang adalah milik warga.
Karena ada bukti leter C dan ada beberapa orang tua yang meyakini memang tanah
di sini milik warga," ujarnya.
Sunu
menegaskan, saat ini warga akan terus memperjuangkan hak mereka. "Beberapa
waktu lalu tanah ini diklaim TNI, tetapi baru-baru ini malah diakui negara.
Anehnya, mereka selalu menggunakan perda tata ruang sebagai dasarnya. Padahal,
kalau mengacu perda tata ruang, harusnya tidak menghilangkan hak milik
warga," ujarnya.
Komandan
Kodim 07/09 Kebumen, Letkol Inf Dany Rakca Andalasawan mengatakan, lahan yang
dipagari sudah sesuai peraturan daerah tata ruang Kebumen. Menurutnya, dalam
Perda dijelaskan batas teritorial yang selama ini dipakai untuk latihan TNI,
berasal dari tanah atau lahan yang ditarik 500 meter dari bibir pantai ke
utara.
"Batas
itu yang kami pagar, dan sepanjang 500 meter tersebut tidak ada tanah milik
warga," katanya.
Pemagaran
tersebut, menurut Dany, merupakan kebijakan pemerintah untuk menertibkan aset
negara berupa kawasan Hankam di Urut Sewu yang luasnya 1.150 hektare.
Pembangunan tahap pertama dilakukan di tahun 2013 sepanjang 6 kilometer dari
panjang kawasan Hankam yang mencapai 22,5 kilometer.
"Pemagaran
pertama dimulai dari Tlogodepok ke arah barat sepanjang enam ribu meter,"
katanya.
Kawasan
Urut Sewu, jelas Dany, merupakan aset negara yang digunakan TNI untuk
meningkatkan profesionalisme TNI. Bukti tanah itu tanah negara, salah satunya
dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 23 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen Tahun 2011-2031.
Konflik
yang terjadi di kawasan Urut Sewu Kebumen Selatan sempat diwarnai pertumpahan
darah warga yang melakukan perlawanan terhadap TNI pada 16 April 2011. Tragedi
tersebut sempat menjadi sorotan karena beberapa petani tewas dan banyak yang
terluka. [mtf]