Rabu, 13 November 2013

Evaluasi Pemeliharaan Alutsista

Oleh : Redaksi, Selasa, 12/11/2013 11:27 WIB - HELIKOPTER MI-17 milik TNI Angkatan Darat kembali jatuh. Ini merupakan kali ketiga heli seharga USD 5,6 juta atau Rp 64,4 miliar (kurs USD 1 = Rp 11.500) itu celaka. Agustus lalu, pintu heli buatan Rusia itu terlepas dan menimpa atap rumah dan mobil milik warga Penjaringan, Jakarta Utara. Kemudian pada Oktober, heli sejenis mendarat darurat di dekat bandara Bandara Okbibab, Kabupaten

Pegunungan Bintang, Papua. Dua kecelakaan awal itu memang tak menimbulkan korban jiwa. Baru yang terakhir inilah, heli itu meminta tumbal 13 orang Maninau, Kalimantan Utara. Pemilihan MI-17 tentu sudah dipikirkan dengan matang. Apalagi heli berdaya angkut 35 pasukan infanteri itu sudah cukup teruji di negaranya. Heli itu bisa digunakan untuk misi kemanusiaan maupun untuk menjaga perbatasan. Kemampuannya setara dengan Sikorsky CH-53D Sea Stallion. Hanya saja dari sisi harga sangat jauh. Heli angkut pasukan AS itu harganya mencapai USD 11 juta per unit. Ya, atas nama efisiensi anggaran, Indonesia memilih yang lebih murah.

Hanya saja, yang patut dieman-eman, heli itu baru dua tahun didatangkan dari negeri Vladimir Putin. Tentu kita lebih sayang nyawa pasukan kita daripada helikopter kinyis-kinyis itu. Hanya saja kalau kita bisa ngeman-ngeman heli itu, tentu jatuhnya korban jiwa bisa dihindari.

TNI AD menyangkal terjadi human error atau overload. Pihak TNI sangat yakin bahwa besi yang di tasnya ada kincir mirip kipas angin itu jatuh karena angin. Kok bisa? Orang awam sulit untuk mengerti bahwa helikopter bisa jatuh ”hanya” karena tertipu angin. Rasanya terlalu dini menyimpulkan heli itu jatuh karena angin. Karena itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta dilakukan investigasi.

TNI AD harus jujur dalam melakukan investigasi untuk mengungkap penyebab jatuhnya heli yang mengangkut 19 prajurit itu. Jangan sampai karena ingin mengamankan proyek pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista), TNI AD mencari argumen yang paling ”aman” dan tidak mengungkap dengan benar penyebab jatuhnya heli tersebut. Kita semua tahu TNI adalah institusi yang tertutup. Mau tidak mau rakyat harus percaya dengan hasil investigasi TNI. Tapi, please deh, ungkap saja dengan jujur.

Tidak perlu malu kalau ternyata kesimpulannya ada persoalan pada perawatan alutsista. TNI perlu mengevaluasi program Minimum Essential Force (MEF) yang dicanangkan TNI sendiri. Kalau ternyata ada persoalan dalam perawatan alutsista atau ada kendala teknis terkait heli itu, misalnya, ternyata kita tidak memiliki suku cadang yang komplet dari heli-heli itu, sebaiknya diungkap. Pengungkapan itu akan menghindarkan kita dari kecelakaan serupa. Intinya jangan malu mengakui kalau ada kekurangan. Kita semua maklum karena anggaran pertahanan Indonesia memang masih jauh dari memadai.

Dan evaluasi itu tidak hanya untuk helikopter MI-17. Tetapi juga berlaku bagi seluruh alutsista milik TNI. Dalam setiap pembelian alutsista tentu ada kontrak yang harus dipenuhi. Kontrak itu meliputi transfer teknologi, jaminan suku cadang, dan sebagainya. Kalau kontrak itu tidak dijalankan, percuma saja kita membeli peralatan tempur modern dengan harga mahal, tetapi tidak bisa merawat dengan baik.