Jumat, 8 Nopember 2013, JAKARTA (Suara Karya): Penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Australia terhadap Indonesia sudah menyalahi etika dalam hubungan antarnegara. Namun paling substantif perlu dilakukan Indonesia sekarang ini adalah memperbaiki dan meningkatkan pengamanan sandi negara secara otomatis (enskripsi). Tujuannya agar sandi tak terbaca oleh pihak penyadap.
"Ke depan Indonesia seharusnya lebih fokus kepada pengamanan sandi atau enkripsi daripada fokus pada persoalan penyadapan," kata mantan Panglima TNI Laksamana (Purn) Agus Suhartono di sela-sela peluncuran buku TNI dan Perdamian di Aceh, di Jakarta, Rabu (6/11) malam.
Seperti diberitakan, badan intelijen AS diketahui menyadap komunikasi negara-negara sekutu mereka di Eropa. AS juga disebut menyadap komunikasi Pemerintah Indonesia. Australia juga diberitakan melakukan hal yang sama terhadap Indonesia.
Menurut Agus, pengamanan tingkat tinggi rahasia negara melalui sandi sangat penting. Apalagi, sadap-menyadap antarnegara sudah dianggap menjadi kelumrahan. Penyadapan merupakan salah satu bentuk pengamanan demi terciptanya sebuah negara yang aman.
"Karena mau tidak mau yang kita hadapi memang ya penyadapan itu. Hanya memang, penyadapan pun memerlukan etika. Kalau tidak ada kepentingan, ya jangan menyadap. Tapi kalau ada kepentingan, ya berarti dilakukan penyadapan," katanya.
Karena itu, tutur Agus, Indonesia harus memiliki sistem sandi yang modern. Jika negara lain menyadap, tidak akan paham apa yang disadap. Karena sudah menggunakan sistem sandi otomatis.
"Pengamanan berita itu, bisa ditempuh dengan menggunakan sistem sandi. Baik menggunakan alat enkripsi yang memadai, dan perilaku dari pada personel TNI itu sendiri," kata Agus.
Protes Keras
Di sisi lain, Agus tetap mendorong pemerintah melakukan protes keras atas penyadapan tersebut. Pemerintah harus mampu menunjukan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
"Begini, reaksi itu penting untuk menjaga kehormatan (bangsa) kita. Jangan sampai sudah tahu disadap lalu diam-diam saja. Reaksi itu penting untuk menunjukkan kita punya sikap," kata Agus menegaskan.
Penyadapan yang dilakukan AS dan Australia terhadap Indonesia telah menyalahi etika dalam hubungan antar-negara. Pemerintah Indonesia memang semestinya memprotes keras penyadapan itu.
"Tidak boleh lakukan penyadapan, misalnya telepon orang dari pejabat itu. Itu menyalahi etika. Karena itu, sebagai korban, maka seharusnya kita melakukan protes keras jika kita bisa membuktikan bahwa itu telah terjadi," kata mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriantono Sutarto.
Endriartono menganggap wajar jika suatu ingin mendapatkan informasi seluas-luasnya dari negara lain. Namun, cara mendapat informasi itu tidak boleh dengan penyadapan.
"Bahwa tiap negara mempunyai keinginan informasi yang seluas-luasnya dari negara lain, baik itu lawan maupun kawan adalah hal yang wajar. Tapi, etikanya tidak boleh dilakukan dengan cara seperti itu (penyadapan)," katanya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya (Golkar) Akbar Tandjung, mendorong Pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk menyampaikan protes dan kekecewaan terhadap dugaan aksi penyadapan terhadap pejabat di Tanah Air.
"Sebagai negara yang menghormati hak-hak privasi, tentu itu (penyadapan) suatu tindakan yang melanggar norma-norma pergaulan bangsa-bangsa," kata Akbar.
Tidak hanya Australia, tapi Indonesia juga melihat banyak protes yang telah disampaikan kepada Pemerintah Amerika, terhadap berbagai penyadapan yang dilakukan oleh intelijen Amerika terhadap pejabat-pejabat negara di negara berbagai dunia.
Menurut Akbar, Pemerintah Indonesia meski tegas menanggapi hal demikian. "Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tegas untuk memperlihatkan ketidaksukaan, kekecewaannya terhadap apa yang dilakukan oleh Pemerintah Australia," katanya menandaskan.