Selasa, 19
November 2013.
SIAGA – JAKARTA Kepala
Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Budiman, turut meradang saat mendengar bocoran
kicauan Snowden mantan peneliti NSA, jika Negara dan bangsanya menjadi sasaran
penyadapan negeri Kanguru dan Paman Sam. Sementara, tak mau ketinggalan,
Kapolri Komisaris Jenderal Sutarman, mengancam akan memutuskan kerjasama
antiteroris dengan Australia jika Perdana Menteri Australia tidak meminta maaf
secara resmi kepada Pemerintah dan Rakyat Indonesia secara terbuka.
TNI tak tinggal
diam menyikapi isu penyadapan yang dilakukan Intelijen Australia kepada
Presiden dan sejumlah pejabat penting lainnya. Kepala Staf TNI Angkatan Darat
(KSAD) Jenderal TNI Budiman menegaskan pihaknya telah melakukan kerjasama
dengan salah satu perguruan tinggi untuk mencegah penyadapan.
“Saat ini kami
sedang melakukan riset bekerjasama dengan salah satu universitas untuk membuat
peralatan antisadap dan mengembangkan IT Teknologi. Kita sudah menandatangani
MoU berisi 12 jenis riset,” kata Budiman usai memberi pengarahan di hadapan
ratusan prajurit TNI yang akan bertolak ke Lebanon, di Markas Kostrad TNI AD, Cilodong, Depok,
Selasa 19 November 2013.
Menurut Budiman,
TNI telah melakukan persiapan internal dan melengkapi diri sebagai upaya
mencegah penyadapan. Ke depannya, dengan riset yang dilakukan tersebut, TNI
akan memiliki peralatan yang jauh lebih modern sehingga dapat diperhitungkan.
“Kita juga telah
mempersiapkan diri untuk bisa mengetahui apa yang mereka lakukan dan kita sudah
lakukan itu. Selain melakukan riset, nantinya diharapkan kita dapat membuat
alat itu sendiri agar lebih mandiri,” ungkap dia.
Sementara
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, tetap berkilah dengan mengatakan di
hadapan Parlemen pada Senin kemarin, 18 November 2013, pemerintahannya tidak
akan meminta maaf atas aksi spionase yang telah mereka lakukan kepada
Indonesia.
Abbott membela
diri, bahwa langkah itu dilakukan untuk melindungi Australia saat ini dan di
masa lampau, sehingga jauh lebih penting untuk dilakukan ketimbang meminta
maaf.
Namun, terkait
penyadapan ini, Presiden SBY secara terang-terangan menyatakan, Australia
menjadi penyebab rusaknya hubungan bilateral dengan Indonesia.
“Tindakan
(penyadapan oleh) Amerika Serikat dan Australia jelas telah merusak kemitraan
strategis dengan Indonesia sebagai sesama negara penganut sistem demokrasi,”
kata SBY.
Dia makin kecewa
karena pernyataan Abbott dianggap meremehkan isu penyadapan terhadap Indonesia
tanpa sedikit pun menunjukkan sikap penyesalan. Padahal sejak kabar penyadapan
oleh AS dan Australia muncul ke permukaan, Indonesia telah didesak oleh
rakyatnya dengan memprotes keras.
Oleh sebab itu,
kata SBY, Pemerintah dan Kementerian Luar Negeri RI mengambil langkah
diplomatik tegas dengan menarik Duta Besarnya dari Australia. Bahkan, melalui
twiternya, secara pribadi SBY mengecam keras PM Abbott dan pihak pemerintah
Australia.
Senada dengan
kegarangan TNI, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman
menyatakan siap menghentikan semua program kerjasama dengan Australia bila
diperintahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu disampaikan
Sutarman menanggapi terkuaknya penyadapan yang dilakukan intelijen Australia,
Defense Signals Directorate (DSD).
“Polri punya
kerjasama dengan Australia, tapi kalau Presiden memerintahkan dihentikan, akan
laksanakan,” kata Sutarman usai pertemuan Kapolri dengan Insan Pers di Mabes
Polri, Jakarta, Selasa 19 November 2013.
Ia menuturkan,
kerjasama Polri dengan Australia saat ini adalah berupa peralatan dan
perlengkapan milik Polri. Barang-barang tersebut adalah Jakarta Center for Law
Enforcement (JCLEC) yang terletak di Semarang. Program penanggulangan trans
national crime, people smuggling, trafficking in person, dan terorisme, semua
itu dibantu oleh Australia.
Polri dan
Australian Federal Police (AFP) juga memiliki program pelatihan dan dukungan
laboratorium cyber crime Bareskrim dan laboratorium DNA di Cipinang guna
pengungkapan kasus.
“Kerjasama ini
police to police cooperation. Kalau diminta berhenti, kami siap berhenti,”
katanya.
Para pejabat
Indonesia yang disadap Australia adalah Presiden SBY, Ibu Negara Kristiani
Herawati atau Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Jusuf
Kalla, mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal
yang kini menjadi Duta Besar RI untuk AS, mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi
Mallarangeng, Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani
Indrawati yang kini menjabat Direktur Bank Dunia, mantan Menteri Koordinator
Politik Hukum dan HAM Widodo AS, dan mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.
Presiden RI
telah melontarkan kemurkaannya pada Australia. “Tindakan (penyadapan oleh)
Amerika Serikat dan Australia jelas telah merusak kemitraan strategis dengan
Indonesia sebagai sesama negara penganut sistem demokrasi,” kata SBY. Itu pula
yang membuatnya memerintahkan Menlu RI Marty Natalegawa untuk menarik Duta
Besar RI dari Australia.
Indonesia juga
akan meninjau ulang sejumlah agenda kerjasama bilateral dengan Australia
sebagai konsekuensi atas tindakan menyakitkan yang dilakukan oleh Australia.
“Indonesia menuntut Australia memberikan jawaban resmi yang dapat dipahami
publik terkait isu penyadapan terhadap Indonesia,” kata SBY.