Jumat, 8 Nopember 2013, JAKARTA (Suara Karya): Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengambil peran yang sangat besar untuk mewujudkan damai di Bumi Rencong, Aceh. Namun, peran besar yang telah diberikan TNI itu sama sekali tak terungkap di tengah masyarakat nasional maupun internasional. Peran TNI secara jujur belum ada yang mengangkatnya, bahkan tersamarkan.
Demikian dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksda (Purn) Soleman B Ponto pada peluncuran buku TNI dan Perdamaian di Aceh, di Jakarta, Rabu (6/11) malam.
Buku setebal 704 halaman yang ditulis langsung oleh Soleman itu menceritakan tentang catatan 880 hari sebelum dan sesduah penandatanganan MoU Helsinki dalam mencapai perdamaian di Aceh.
Peluncuran buku disaksikan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Marsdya TNI Boy Syahril Qamar, serta sejumlah tokoh yang terlibat langsung dalam perundingan damai Aceh, seperti mantan Menteri Pertahanan RI Sofyan Jalil, mantan Panglima Komando Operasi (Pangkoops) TNI Mayjen (Purn) Bambang Dharmono dan mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Soleman mengatakan damai Aceh membawa dampak positif cukup besar bagi masyarakat setempat maupun Indonesia. Bagi pemerintah pusat dan daerah Aceh, damai bisa membangun Aceh tanpa terkendala oleh konflik.
Demikian pula dengan dunia internasional, tidak hanya lalu lintas laut di Selat Malaka menjadi aman, tetapi juga menjadi pembelajaran dan cermin bagi wilayah lain di dunia ini bahwa damai itu indah.
Namun, lanjut Soleman, dibalik cerita tersebut, belum ada buku yang diterbitkan tentang Aceh yang fokus mengupas tentang peran TNI sebagai bagian penting dalam ikut menciptakan, mengawal, dan mendukung serta berkomitmen penuh pada keputusan politik untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui cara damai.
Apalagi ditulis langsung oleh seorang prajurit TNI yang terlibat secara langsung selama 880 hari. Padahal, kata Soleman, TNI menjadi unsur penting dalam perdamaian Aceh.
Di dalam bukunya, Soleman mengupas banyak hal berupa kumpulan catatan, refleksi, sekaligus kesaksian seorang prajurit TNI yang mendapat panggilan tugas memelihara perdamaian. "Di dalamnya disajikan tentang peran TNI sebagai bagian penting dalam upaya mendukung perdamaian di Aceh," ujar Soleman.
TNI sebagai sosok yang sering dipojokkan sebagai dampak warisan sejarah muram masa lalu, di dalam buku ini secara terang benderang ditunjukkan bahwa TNI mempunyai komitmen yang kuat untuk tunduk pada MoU Helsinki yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia dan GAM. "Ini penting untuk dijadikan catatan sejarah," katanya.
Kepentingan
JK mengakui peran besar TNI. Tanpa TNI sulit mewujudkan perdamaian di Aceh. JK pun berkisah tentang pertemuan dirinya dengan Panglima TNI Endriartono Sutarto pada saat itu. JK hanya butuh waktu 15 menit untuk berbicara dengan Endriartono.
"Saya bicara 15 menit sama Panglima TNI Endriartono Sutarto. Saya bicara dengan beliau, kalau perang berapa korban terjadi. Kalau begitu pemerintah bisa menyelesaikan dengan dialog," kata JK.
Ia memahami apa yang ada di pikiran Endriartono ketika itu, pasalnya tidak ada Panglima TNI menginginkan anak buahnya tewas. "Tetapi tidak ada panglima (yang ingin-Red) negaranya terpecah, kalau begitu Pak Tarto, TNI ikut kebijakan pemerintah, itu awal menyatakan sikap. Pada waktu berbeda-beda. Sikap TNI harus jelas," ujarnya.
Perdamaian yang terwujud di Aceh jauh lebih baik dibandingkan yang terjadi di Thailand dan Filipina. Alasan tidak bisa damainya di kedua negara itu karena tidak ada kesepakatan di salah satu pihak. "Di Thailand tidak cocok antara perdana menteri dengan tentaranya, dan apalagi di bawahnya, gak jalan," ujarnya.
Sementara itu, Endriartono berkisah pengalamannya ikut mewujudkan perdamaian di 'Tanah Rencong' berdampak positif. Ia menuturkan, pernah diundang Military Dialog Centre (MDC) untuk membantu mengatasi konflik di Myanmar. (Feber S)