Kamis, 14 November 2013

Lemhannas: Ketahanan Nasional Indonesia Rapuh

Rabu, 13 November 2013 | 17:35, JAKARTA] Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dalam kajiannya menemukan fakta bahwa ketahanan nasional Indonesia tidak tangguh alias rapuh.  

Kesimpulan itu diambil berdasarkan pengkajian pengukuran ketahanan nasional  dari 33 provinsi yang ada di Indonesia dengan 847 indikator.  

“Hasilnya sampai tahun 2012, ketahanan nasional kita tidak tangguh. Apa karena  struktur kelembagaan negara, kultur kita setelah reformasi, atau prosesnya yang salah,” kata Deputi Bidang Pendidikan Lemhannas, Mayjen TNI (Purn) I Putu Sastra dalam diskusi bertajuk “Menata Ulang Sistem Bernegara” di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (13/11).

Hadir sebagai pembicara bersama Sekretaris Tim Pengkajian Sistem Kebangsaan RI  Partai Golkar, Agun Gunanjar Sudarsa, pengamat politik Yudi Latif, dan anggota DPD RI, AM Fatwa.  

Menurut Putu, hasil pengkajian ini bersifat kuantitatif, karena masih perlu diurai lagi penyebabnya, apakah karena kultur atau struktur yang salah, lembaganya yang salah atau prosesnya yang keliru.      

“Ada 8 gatra yang menjadi ukuran ketahanan nasional, di antaranya geografi, demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial,  kebudayaan, dan pertahanan dan keamanan (Hakam),” ujarnya.  

Putu mengatakan, solusi untuk mengatasi hal ini adalah perlu dilakukan amendemen UUD 1945. “Persoalannya tinggal bagaimana mekanismenya, kapan waktunya, dan sebagainya,” katanya.  

Kesalahan Fatal  

Agun Gunanjar mengatakan, berdasarkan survei Partai Golkar, ada banyak kesalahan fatal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama era reformasi, baik itu di tingkat lembaga tinggi negara maupun personal sistemnya.  

Agung mencontohkan, masing-masing  lembaga negara baik yang dibentuk oleh UUD 1945 maupun oleh undang-undang, seperti Komisi Yudisial (KY) saat ini malah meminta kewenangan lebih.  

Begitu juga dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan semua lembaga negara  yang akhirnya membuat sistem ketatanegaraan Indonesia kacau.

“Karena itu, untuk mengembalikan semuanya ini, perlu perombakan besar-besaran ketatanegaraan kita dan itu bisa dilakukan setelah Pemilu 2014,” katanya.  

Sementara itu, Yudi Latief mengatakan, sistem ketatanegaraan kita sudah kacau-balau. Ia mencontohkan,  putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

“Masak sebuah lembaga setingkat MK mengeluarkan keputusan yang tidak bisa diganggu gugat, padahal UUD 1945 yang dianggap kramat saja bisa diamendemen,” katanya.  

Yudi mengusulkan dalam amendemen nanti, sebaiknya MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara, yang posisinya bisa memveto hasil keputusan MK.  

“Mestinya putusan MK itu  bisa diveto oleh lembaga tertinggi negara seperti MPR. Lha, malaikat saja diawasi Tuhan, masak keputusan MK tidak bisa diubah alias final dan mengikat,” katanya. [L-8]