Komandan Komando Resor Militer (Korem) 072/
Pamungkas Yogyakarta, Brigadir Jenderal TNI Adi Widjaja, telah keliru
menyimpulkan bahwa para saksi kasus penyerangan penjara Cebongan, Sleman, bebas
dari trauma. Faktanya, mereka mengalami kecemasan akut, bahkan ada yang depresi
berat. Jenderal Adi Widjaja semestinya membaca dan memahami terlebih dulu
rekaman psikologis 42 saksi itu.
Laporan tim psikologi menyebutkan bahwa sebagian
besar saksi tidak siap memberikan keterangan di persidangan. Mereka umumnya
masih trauma. Ada saksi yang sering bermimpi buruk. Sebagian yang lain dihantui
ketakutan disertai keringat dingin ketika mengingat penyerbuan oleh belasan
anggota Komando Pasukan Khusus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura, tiga bulan
lalu itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) menyiapkan perangkat video conference bagi para saksi dalam persidangan yang mulai
digelar pekan ini di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Langkah itu ditempuh
sebagai upaya menghindarkan para saksi dari tekanan fisik ataupun psikologis
ketika melihat tentara pelaku aksi brutal yang membunuh empat tahanan Cebongan
dalam persidangan.
Dikhawatirkan, tekanan itu akan membuat kesaksian
mereka tidak sesuai dengan kenyataan atau berbeda dengan keterangan dalam
berita acara pemeriksaan (BAP). Kesaksian yang dilandasi ketakutan atau kecemasan
akan mempengaruhi upaya pengadilan mengungkap kasus penyerbuan dan tokoh di
balik aksi tersebut. Hal ini juga bisa mempengaruhi vonis karena hakim pada
umumnya lebih memilih kesaksian di pengadilan dibanding BAP.
Sebagai seorang komandan militer, Jenderal Adi
seharusnya peka terhadap trauma para .saksi. Dia juga sepatutnya menghormati
ikhtiar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk membantu para saksi. Selain
terus-menerus mendampingi, lembaga ini mencarikan tenaga konseling untuk
memantau perkembangan kejiwaan para saksi. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 18
psikolog dilibatkan dalam pemulihan mereka dari depresi.
Lagi pula, keterangan saksi dalam persidangan yang
dilakukan secara tidak langsung dibenarkan. Pada Pasal 9 Undang-Undang tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan, para saksi yang merasa dirinya dalam
ancaman, atas persetujuan hakim, dapat memberikan kesaksian tanpa hadir
langsung di pengadilan. Kesaksiannya bisa didengarkan melalui sarana
elektronik, dalam hal ini video
conference.
Alasan Brigadir Jenderal Adi Widjaja bahwa jarak
antara tempat tinggal saksi dan lokasi sidang hanya beberapa kilometer tidaklah
pas untuk dijadikan argumentasi. Jaminan keamanan yang ditawarkan Danrem kepada
semua saksi juga tidak akan banyak membantu. Masalahnya bukan seputar keamanan
atau jarak tempuh tempat tinggal saksi dari pengadilan. Para saksi ketakutan
hadir di arena sidang karena akan berhadapan langsung dengan para terdakwa.
Karena itu, majelis hakim Pengadilan Militer II-11
Yogyakarta sebaiknya segera merespons surat permintaan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban soal kesaksian tidak langsung. Keputusan majelis hakim
menyetujui permohonan itu sangat ditunggu. Dasarnya, selain faktor keselamatan
saksi, demi penegakan hukum kasus penyerbuan penjara Cebongan yang adil. Sumber: Koran Tempo (19 Juni 2013/Rabu,
Hal. 02)