[YOGYAKARTA]
Komandan Korem (Danrem) 072 Pamungkas, Brigjen TNI Adi Widjaja memastikan,
sidang 12 prajurit Kopassus Grup II Kartasura, pelaku penembakan di Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, digelar pada pertengahan bulan Juni di Pengadilan
Militer Yogyakarta.
"Rencananya tanggal 15-an. Pokoknya, sebelum
memasuki bulan puasa ini. Pengamanan sidang akan dilakukan dengan pengamanan
terbuka dan tertutup," kata Adi Widjaja, Jumat (7/6).
Danrem 072 Pamungkas mengatakan, TNI AD telah
melakukan koordinasi dengan Polda DIY untuk pengamanan jalanya sidang. Jumlah
personel yang akan dikerahkan dalam pengamanan sidang menurutnya tergantung situasi
sidang.
"Jumlah personel pengamanan bergantung pada
jadwal berapa yang akan menjalani sidang. Sidang kasus penyerangan ini tidak
hanya sehari, namun bisa berkelanjutan. Karena sidang akan dipecah-pecah,"
tegasnya.
Menanggapi permintaan teleconference oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Adi Widjaja menuding bahwa hal itu
hanyalah permintaan dari LPSK, sedang para saksi sesungguhnya bersedia datang
langsung. Menurut Adi, tidak ada saksi yang merasa keberatan untuk memberikan,
kesaksian langung di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. "Yang menginginkan
itu (teleconference, Red) LPSK atau saksinya?" katanya.
Terpisah, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai,
melalui siaran persnya, Kamis (6/6) menyebutkan, pernyataan Danrem 072
Pamungkas tersebut, bersebrangan dengan permintaan para saksi.
"Pernyataan seperti itu tidak pantas diucapkan
seorang Danrem, jika yang bersangkutan belum pernah membaca hasil rekam psikologis
para saJksi dan tidak melihat langsung kondisi para saksi tersebut," tegas
Abdul Haris.
Ia menegaskan, usulan menggunakan video conference
(VCR) diambil hanya untuk mengakomodasi kepentingan saksi, yang masuk program
perlindungan LPSK. Pernyataan ini sekaligus menampik tudingan ada kepentingan
dibalik penggunaan VCR.
"Semua biaya berasal dari APBN dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Sementara LPSK, hanya memiliki satu
kepentingan untuk melindungi para saksi dan korban. Kami tidak punya problem
pendanaan apalagi kepentingan lain dalam penggunaan VCR, hal itu mumi untuk
mengakomodasi kepentingan saksi yang masuk program perlindungan LPSK,"
tandasnya.
Pernyataan Danrem dikhawatirkan justru akan
menjadi sinyal buruk dalam pelaksanaan proses persidangan. Bukan tanpa dasar,
karena jika saksi dibiarkan langsung berhadapan dengan para pelaku, dikhawatirkan
akan membuat saksi ketakutan, tertekan dan bahkan mengalami trauma yang
berulang. Jika hal itu terjadi, kesaksian pun bisa berjalan tidak maksimal. Dampaknya,
hukuman bagi para pelaku tidak maksimal.
Diatur
Menurut Abdul Haris, metode VCR diatur dalam Pasal
9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal ini menjelaskan, VCR bisa ditemptth jika saksi atau korban merasa dirinya
berada dalam ancaman yang sangat besar ketika memberikan kesaksian.
Namun, usulan terkait penggunaan VCR ini memang
belum mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung (MA). Wacana teleconference
mencuat setelah hasil investigasi yang dilakukan LPSK menunjukkan bahwa para
saksi tak bersedia memberikan kesaksian secara langsung dengan alasan masih
trauma.
Jika disetujui, rencananya akan ada tiga titik
yang dilengkapi peralatan teleconference yakni di Lapas Kelas 2B Sleman, di
Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, serta satu lagi berada di kantor LPSK
Jakarta. [152], Sumber Koran: Suara
Pembaruan (08 Juni 2013/Sabtu, Hal. 13)