Jumat, 14 Juni 2013

7 Cerita Keji Prada Mart: Asmara Berujung Maut Hingga Isu Kabur dari Sel



Rabu, 12/06/2013 13:37 WIB
Hestiana Dharmastuti - detikNews

Jakarta - Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) telah divonis mati dan mendekam di tahanan Pomdam III/Siliwangi. Tiba-tiba isu tidak sedap menerpa, pembunuh Opon (39) dan anaknya Shinta Mustika (19) itu digosipkan kabur dari sel.

Prada Mart duduk di kursi pesakitan setelah didakwa membunuh Opon dan Shinta. Ia mengaku nekat menghabisi nyawa 2 wanita itu lantaran didera panik. Shinta yang berbadan dua meminta pertanggungjawabannya bahkan mengancam akan melaporkan Prada Mart ke atasannya.

Namun, Prada Mart tetap menolak bertanggung jawab atas janin yang dikandung Shinta. Ia mengaku janin tidak berdosa itu bukanlah anaknya. Tetapi, hasil tes DNA membuktikan janin itu anak kandung Prada Mart.

Prada Mart akhirnya menghabisi kekasihnya itu dengan sangkur. Sidang Prada Mart menyedot perhatian warga. Gerakan Anak Sunda dan Forum Solidaritas Masyarakat (FSM) bahkan menggelar demo menuntut Prada Mart divonis mati. Prada Mart juga nyaris dihakimi keluarga korban yang naik pitam.

Kabar terkini, Prada Mart digosipkan kabur dari penjara. Tetapi kabar burung itu ditepis Kapendam III/Siliwangi Kolonel Benny Effendy yang memastikan Prada Mart masih ada di selnya.

Berikut 7 cerita keji Prada Mart:

1. Gosip Kabur dari Sel
Terpidana mati kasus pembunuhan ibu dan anak, Prada Mart Azzanul Ikhwan (23), dikabarkan kabur dari tahanan Pomdam III/Siliwangi. Kodam Siliwangi membantah. Prada Mart masih di selnya.

"Memang ada informasi seperti itu. Setelah kita cek, orangnya (Prada Mart) ada di tahanan," kata Kapendam III/Siliwangi Kolonel Benny Effendy ketika dihubungi detikcom, Rabu (12/6/2013).

Benny mengaku mengecek sel Prada Mart tadi pagi. Ikut bersamanya Kasdam Brigjen TNI Suyatno. Saat dicek, Prada Mart masih berada di sel.

"Informasi kabur itu enggak ada. Itu salah informasi," kata Benny.

Dihubungi terpisah, Kadispenad Brigjen TNI Rukman Ahmad mengaku belum mendengar informasi kaburnya Prada Mart. "Belum tahu," katanya saat dihubungi detikcom.

Seorang sumber detikcom di TNI menyatakan Prada Mart kabur sekitar pukul 18.30 WIB, Selasa (11/6) kemarin. Tak dijelaskan bagaimana mantan anggota Kostrad ini bisa melarikan diri dari tahanan Pomdam III/Siliwangi di Bandung itu.

Prada Mart divonis mati di Pengadilan Militer II-09, Bandung, Rabu (24/4/2013).

2. Tikam Kekasih dan 'Camer' karena Panik
Mengaku membawa sangkur hanya untuk menakut-nakuti korban, Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) rupanya gelap mata. Sangkur tersebut ia pakai untuk menghabisi Opon (39) dan Shinta Mustika (19) hingga tewas. Bahkan terdakwa menusuk korbannya hingga berkali-kali.
Senin (11/2/2013) lalu Shinta dan Opon bertemu dengan terdakwa untuk meminta pertanggungjawaban atas janin yang dikandung Shinta di depan masjid di dekat asrama. Setelah berdebat, Mart meminjam motor yang dibawa Opon untuk kembali ke asrama. Ia mengambil sangkur komando yang disimpan di dalam lemarinya. Mart mengaku sangkur tersebut hanya digunakan untuk menakut-nakuti saja.

Kembali menghampiri Shinta dan Opon di masjid, Mart kemudian membonceng keduanya ke sebuah perbukitan tempat perkebunan sayur. Mereka sempat melewati kios, namun orang-orang di kios tidak menaruh curiga melihat Mart berboncengan dengan dua wanita tersebut. Karena kawasan tersebut memang kerap dilewati anggota TNI.

Sampai ke suatu tempat, terdakwa pun menyuruh keduanya turun. Mart lalu menyuruh Shinta menunggu sementara ia dan Opon berjalan kaki menjauh dari Shinta.

Mart bertanya pada Opon apakah ia masih tidak percaya bahwa bukan terdakwa yang menghamili. Opon pun menyatakan tak percaya dan kembali menyatakan akan melapor pada atasan, menuntut dan menggunakan pengacara.

"Awalnya sangkur hanya untuk menakut-nakuti saja. Lalu Opon bertanya, mengapa saya bawa sangkur. Lalu dia mau lari ke arah Shinta, saya narik dia," ujar Mart yang juga anggota kesatuan Yonif 303/13/1 Kostrad Kabupaten Garut ini dalam sidang keduanya yang digelar di Pengadilan Militer II-09 Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Senin (8/4/2013).

Karena panik, Mart menarik bahu kiri Opon, saat Opon balik badan, Mart menusuknya dalam keadaan berdiri. Saat tusukan pertama tersebut, Mart lalu mengambil sangkur tersebut dan menusukkan kembali ke tubuh Opon.

"Saya tarik bahu kiri dia pakai tangan kanan. Dia balik badan, setelah saya tarik di situ saya tusuk dia, dalam keadaan berdiri. Setelah saya lepas, sangkur saya ambil lagi karena udah enggak sadar. Kemudian saya tusuk lagi, dia jatuh telungkup. Saya tusuk ke arah leher. Seingat saya empat kali," terangnya.

Mart kemudian menyeret tubuh Opon ke kebun yang ada di sekitar lokasi kejadian. Sangkur yang digunakan, lalu dimasukkan kembali ke saku celananya.

Kemudian Mart menghampiri Shinta. Shinta bertanya ke mana ibunya. Namun dijawab Mart bahwa Opon pergi bersama temannya. Shinta sempat berteriak memanggil ibunya. Hingga kemudian Shinta melihat sangkur di saku celana terdakwa. Keduanya pun terjatuh dari motor karena Shinta mempertanyakan soal sangkur sementara Mart menghalangi.

"Enggak tahu kenapa dia lalu teriak. Mengambil sangkur mau nusuk saya. Motor jatuh, kemudian saya tusuk ke Shinta, saya enggak ingat berapa tusukan, tapi lebih dari satu," ucapnya.

Menurut hasil visum, Opon tewas dengan 6 luka tusuk di bagian leher, 1 luka tusuk di dada dan memar di bagian dada akibat benda tumpul. Sementara Shinta terdapat 8 luka tusuk yang ada di dada, leher dan punggung.

3. Tertekan Diancam Kekasih
Permintaan Shinta Mustika (19) agar Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) bertanggung jawab atas kehamilannya diwarnai ketegangan dan perselisihan tajam. Shinta ngotot, Mart tak kalah ngotot.

Mart merasa pengakuan kehamilan dari Shinta tersebut tak masuk akal. Sebab, ia dan Shinta berhubungan badan pada November 2011. Sehingga jika itu memang mengakibatkan kehamilan, Shinta seharusnya melahirkan pada Agustus atau September 2012. Sementara saat Shinta meminta pertanggungjawaban, ia tengah hamil 8 bulan.

Perselisihan makin memanas. Shinta terus-menerus mengirim SMS dan mengatakan akan melaporkan hal itu pada atasannya.

"Terdakwa gelisah dan merasa tertekan," ujar Oditur Letkol CHK Siabudin saat membacakan surat dakwaan perkara pembunuhan pada Opon dan Shinta dalam sidang di Ruang I Pengadilan Militer II-09 Bandung, Jalan Soekarno Hatta, Rabu (3/4/2013).

Hingga kemudian pada 10 Februari, Shinta kembali menghubungi terdakwa dan mengatakan akan datang ke asrama bersama ibunya, Opon.

"Perkataan Shinta tersebut makin menambah kecemasan, apalagi terdakwa adalah pecandu narkoba, di mana terakhir pada 9 Februari ia sempat mengkonsumsi ganja," katanya.

Karena tidak mampu menahan lagi, akhirnya terdakwa mengatakan akan menunggu kedatangan Shinta dan Opon.

Pada 11 Februari 2013 selepas tugas piket, Shinta pun mengabari telah berada di depan asrama. Terdakwa yang saat itu menggunakan kaos loreng lengan panjang dan celana PDL loreng menghampiri Shinta dan Opon yang telah menunggu di depan masjid yang berada di dekat asrama militer tempat tinggal terdakwa.

"Setelah bertemu dengan Opon, terdakwa langsung ditegur dan dimarahi karena tidak mau bertanggung jawab menikahi Shinta," tuturnya.

Teguran Opon tersebut membangkitkan emosi terdakwa yang sebelumnya telah kalut dengan teror Shinta.
"Ibu jangan nuduh saya dulu. Memang saya mengakui pernah berhubungan dengannya saat Takes. Kalau saat itu terjadi kehamilan seharusnya sudah melahirkan," tutur Oditur mengucapkan perkataan terdakwa saat itu.

Mendengar pernyataan terdakwa, Shinta dengan sangat emosi menampar dan memukul dada terdakwa sambil mengatakan 'Kamu yang menghamili saya'.

Ibu dan anak itu terus menekan terdakwa untuk bertanggung jawab hingga mengeluarkan kata-kata yang bersifat ancaman.

"Kalau tidak mau tanggung jawab, saya akan laporkan ke komandan kamu. Saya hancurkan kamu sekalian," kata Opon saat itu.

Mendengar pernyataan itu, terdakwa gelap mata dan tidak bisa mengendalikan diri hingga berniat menghabisi. Rencana itu akhirnya benar-benar dilakukan. Terdakwa membunuh Shinta dan ibunya dengan pisau di Kampung Panagan Karikil, Desa Sukawargi, Kecamatan Cisurupan, Garut, Senin (11/2/2013). Opon tewas di lokasi kejadian dengan 12 luka tusukan, sedangkan Shinta yang hamil 8 bulan menderita 18 luka tusukan dan meninggal saat dibawa ke Puskesmas Cikajang.

4. Isap Ganja
Terdakwa kasus pembunuhan terhadap warga Garut Opon (39) dan Shinta Mustika (19), Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) ternyata juga pengisap barang haram jenis ganja. Ia mengaku dua hari sebelum kejadian mengisap ganja.

Hal itu terungkap dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Militer II-09 Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Senin (8/4/2013). Saat itu Hakim membacakan hasil pengakuan terdakwa saat dimintai keterangan oleh pihak POM.

"Dalam keterangan ini kamu bisa menerima telepon, bisa naik motor. Kalau mabok mana bisa seperti itu. Kamu pakai cimeng ganja malam Minggu, Senin sudah hilang efeknya. Kalau begitu kamu dengan sadar melakukan perbuatan ini," ujar hakim ketua Letkol CHK Sugeng S.

Meski demikian, Prada Mart membantah jika dirinya kerap mengisap ganja setiap malam Minggu. "Siap tidak. Hanya malam Minggu itu saja," sanggah Mart.

Selain menilai terdakwa melakukan pembunuhan dalam keadaan sadar, hakim juga melihat ada unsur perencanaan pembunuhan terjadap Opon dan Shinta.

"Terdakwa melakukan ini sudah ada persiapan. Apa maksud setelah bertemu korban, sempat kembali lagi membawa sangkur? Apa tujuan terdakwa membawa korban jauh-jauh dari asrama? Ini kan sistematis, ada awalan ada akhiran," cecar Sugeng.

Menurut Sugeng, dalam masa pendidikan, TNI diajarkan untuk bertindak sistematis. Melihat kronologi pembunuhan yang dilakukan salah satu anggotanya ini, itu dilakukan secara sistematis.

"Ini sistematis, sudah ada awalan dan akhirannya. Ini yang selalu diajari TNI. Kalaupun seketika itu tidak ada niat membunuh atau karena emosi. Tapi ada bukti visum. Kematian korban karena ditusuk di daerah mematikan," ujarnya.

Sugeng menambahkan, selama perjalanan ke tempat kejadian perkara (TKP), terdakwa sudah memikirkan akan membunuh korban. "Jadi saya mengimbau supaya terdakwa berkata jujur," katanya.

Dengan sorot mata tajam, hakim terus mencecar terdakwa dengan pertanyaan yang sama saat Mart diperiksa oleh POM. Nada bicara hakim meninggi saat Mart menjawab tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan POM.

"Kamu jawab di sini, kamu mengambil sangkur karena berniat menghabisi keduanya agar tidak melaporkan kepada atasan kamu. Tapi kenapa tadi kamu bilang hanya untuk menakut-nakuti. Lalu ini jawaban siapa," ujar Sugeng.

5. Nyaris Diamuk
Sidang pembunuhan Shinta dan ibunya, Opon, sempat rusuh. Keluarga korban tak terima saat terdakwa dituntut 20 tahun. Mereka merangsek dan nyaris 'mengamuk' terdakwa Prada Mart Azzanul Ikhwan (23).

Peristiwa itu terjadi saat oditur tengah membacakan uraian tuntutan. Begitu oditur menyatakan meminta majelis hakim menuntut terdakwa dengan hukuman 20 tahun penjara, keluarga dan kerabat serta teman-teman korban ricuh.

"Harusnya hukuman mati!" teriak mereka.

Sejumlah pengunjung menuju pembatas ke kursi terdakwa dan pengunjung. Personel TNI dan polisi cukup sigap. Mereka membarikade jalan masuk ke kursi terdakwa itu.

Saat kericuhan berlangsung, Prada Mart berdiri menjauhi pengunjung dan mendekati meja majelis hakim. Beberapa anggota TNI mengapitnya.

Kericuhan berhenti saat ketua majelis hakim menyatakan bahwa yang dibacakan hanya tuntutan. Bukan putusan. "Ini tuntutan. Tolong tenang," katanya.

Sebelum sidang diakhiri, massa yang berjumlah puluhan meninggalkan ruang sidang. Sebagian yang masih berada di ruangan, ditemui pihak pengadilan.

6. Sidang Didemo
Sekitar 200-an massa gabungan dari Gerakan Anak Sunda dan Forum Solidaritas Masyarakat (FSM) menggelar aksi di depan Pengadilan Militer II-09 Bandung, Rabu (24/4/2013). Mereka menuntut supaya terdakwa perkara pembunuhan ibu dan anak, Opon (39) dan Shinta (18), Prada Mart Azzanul Ikhwan (23), dijatuhi hukuman mati dalam sidang putusan hari ini.

Dalam aksinya, massa membawa sejumlah bendera, spanduk dan poster yang berisi tuntutan mereka. Di antaranya, sebuah spanduk putih bertuliskan 'Menuntut Hukuman Mati Pelaku Pembunuhan Sadis terhadap Dua Perempuan Yang Lagi Hamil'. Sementara poster lainnya bertuliskan 'Kami warga Garut, terdakwa harus dihukum mati' dan 'Berikan keadilan untuk keluarga' serta 'Tegakkan hukum segera walaupun bumi dan langit sekalipun akan runtuh'.

Dalam orasinya, koordinator massa mengatakan bahwa perbuatan terdakwa sangat kejam dan pantas untuk mendapatkan hukuman seberat-beratnya yaitu hukuman mati. Karena TNI seharusnya melindungi masyarakat, namun ini justru membunuh.

"Kami tidak menjamin apa yang akan terjadi jika hakim tidak memberikan hukuman mati. Yang dibunuh itu 3 orang," ujar orator melalui pengeras suara dalam aksi unjuk rasa di samping Pengadilan Militer, tepatnya di persimpangan Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Parakansaat.

Massa meminta agar hakim bisa memberikan rasa keadilan pada keluarga.

"Jika hakim hanya memberi putusan 20 tahun atau lebih rendah dari itu, maka hakim tidak merasa lahir dari seorang perempuan. Berarti hakim tidak melindungi rakyat," tuturnya.

Dalam aksinya, massa juga turut membawa foto korban Shinta dan menunjukkannya pada warga sekitar dan pengguna jalan.

Warga pun terlihat ngeri melihat foto sadis tersebut. Massa pun satu persatu memasuki pengadilan dengan diperiksa satu persatu. Atribut berupa bendera dan spanduk tak boleh dibawa masuk. Saat ini sidang baru berlangsung.

7. Pingsan Divonis Mati
Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) mendadak lemas dan hampir jatuh. Mukanya pucat, seolah tak menyangka apa yang baru saja ia dengar. Majelis hakim menjatuhkan vonis mati untuk anggota TNI itu dalam kasus pembunuhan ibu-anak Opon (39) dan Shinta (19).

Sesaat sebelum amar putusan dibacakan, Ketua Majelis Hakim Letkol Chk Sugeng Sutrisno meminta dua petugas berdiri mengapit terdakwa. Hakim mengantisipasi reaksi terdakwa atas putusan hakim.

Jika sebelumnya Mart berdiri tegap dengan seragam loreng-lorengnya, usai mendengar ketokan palu, kakinya mulai menekuk. Dua petugas di samping kiri dan kanannya langsung sigap memegangi tangan Mart supaya tak jatuh.

Usai vonis dibacakan, Mart diminta duduk oleh hakim. Saat melangkah menuju kursi yang ditunjuk hakim, kaki Mart seolah lemas dan tak kuasa berpijak. Ia musti dipapah. Setelah duduk, ia dimintai tanggapannya atas putusan tersebut.

"Apa kamu menolak, menerima atau pikir-pikir atas putusan itu," tanya hakim, di Pengadilan Militer Bandung, Rabu (24/4/2013).

Karena didampingi penasihat hukum, Mart pun diminta berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Kembali saat melangkah menuju penasehat hakim, Mart kembali tak kuasa.

"Kami pikir-pikir," ujar penasihat hukum Mart.

Mart terus menunduk hingga kemudian melepaskan baret hijau yang dipakainya. Sementara oditur langsung menyatakan menerima atas putusan hakim. Pernyataan oditur pun kembali disambut riuh pengunjung sidang.

Selain mendapat hukuman mati, Mart juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencopotan sebagai anggota TNI. (aan/nrl)