Rabu,
12/06/2013 13:37 WIB
Hestiana
Dharmastuti - detikNews
Jakarta - Prada
Mart Azzanul Ikhwan (23) telah divonis mati dan mendekam di tahanan Pomdam
III/Siliwangi. Tiba-tiba isu tidak sedap menerpa, pembunuh Opon (39) dan
anaknya Shinta Mustika (19) itu digosipkan kabur dari sel.
Prada Mart duduk di kursi pesakitan setelah didakwa
membunuh Opon dan Shinta. Ia mengaku nekat menghabisi nyawa 2 wanita itu
lantaran didera panik. Shinta yang berbadan dua meminta pertanggungjawabannya
bahkan mengancam akan melaporkan Prada Mart ke atasannya.
Namun, Prada Mart tetap menolak bertanggung jawab
atas janin yang dikandung Shinta. Ia mengaku janin tidak berdosa itu bukanlah
anaknya. Tetapi, hasil tes DNA membuktikan janin itu anak kandung Prada Mart.
Prada Mart akhirnya menghabisi kekasihnya itu
dengan sangkur. Sidang Prada Mart menyedot perhatian warga. Gerakan Anak Sunda
dan Forum Solidaritas Masyarakat (FSM) bahkan menggelar demo menuntut Prada Mart
divonis mati. Prada Mart juga nyaris dihakimi keluarga korban yang naik pitam.
Kabar terkini, Prada Mart digosipkan kabur dari
penjara. Tetapi kabar burung itu ditepis Kapendam III/Siliwangi Kolonel Benny
Effendy yang memastikan Prada Mart masih ada di selnya.
Berikut 7 cerita keji Prada Mart:
1. Gosip Kabur dari Sel
Terpidana mati kasus pembunuhan ibu dan anak, Prada
Mart Azzanul Ikhwan (23), dikabarkan kabur dari tahanan Pomdam III/Siliwangi.
Kodam Siliwangi membantah. Prada Mart masih di selnya.
"Memang ada informasi seperti itu. Setelah
kita cek, orangnya (Prada Mart) ada di tahanan," kata Kapendam
III/Siliwangi Kolonel Benny Effendy ketika dihubungi detikcom, Rabu
(12/6/2013).
Benny mengaku mengecek sel Prada Mart tadi pagi.
Ikut bersamanya Kasdam Brigjen TNI Suyatno. Saat dicek, Prada Mart masih berada
di sel.
"Informasi kabur itu enggak ada. Itu salah
informasi," kata Benny.
Dihubungi terpisah, Kadispenad Brigjen TNI Rukman
Ahmad mengaku belum mendengar informasi kaburnya Prada Mart. "Belum tahu,"
katanya saat dihubungi detikcom.
Seorang sumber detikcom di TNI menyatakan Prada
Mart kabur sekitar pukul 18.30 WIB, Selasa (11/6) kemarin. Tak dijelaskan
bagaimana mantan anggota Kostrad ini bisa melarikan diri dari tahanan Pomdam
III/Siliwangi di Bandung itu.
Prada Mart divonis mati di Pengadilan Militer
II-09, Bandung, Rabu (24/4/2013).
2. Tikam Kekasih dan 'Camer' karena Panik
Mengaku membawa sangkur hanya untuk menakut-nakuti
korban, Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) rupanya gelap mata. Sangkur tersebut ia
pakai untuk menghabisi Opon (39) dan Shinta Mustika (19) hingga tewas. Bahkan
terdakwa menusuk korbannya hingga berkali-kali.
Senin (11/2/2013) lalu Shinta dan Opon bertemu
dengan terdakwa untuk meminta pertanggungjawaban atas janin yang dikandung
Shinta di depan masjid di dekat asrama. Setelah berdebat, Mart meminjam motor
yang dibawa Opon untuk kembali ke asrama. Ia mengambil sangkur komando yang
disimpan di dalam lemarinya. Mart mengaku sangkur tersebut hanya digunakan
untuk menakut-nakuti saja.
Kembali menghampiri Shinta dan Opon di masjid, Mart
kemudian membonceng keduanya ke sebuah perbukitan tempat perkebunan sayur.
Mereka sempat melewati kios, namun orang-orang di kios tidak menaruh curiga
melihat Mart berboncengan dengan dua wanita tersebut. Karena kawasan tersebut
memang kerap dilewati anggota TNI.
Sampai ke suatu tempat, terdakwa pun menyuruh
keduanya turun. Mart lalu menyuruh Shinta menunggu sementara ia dan Opon
berjalan kaki menjauh dari Shinta.
Mart bertanya pada Opon apakah ia masih tidak
percaya bahwa bukan terdakwa yang menghamili. Opon pun menyatakan tak percaya
dan kembali menyatakan akan melapor pada atasan, menuntut dan menggunakan
pengacara.
"Awalnya sangkur hanya untuk menakut-nakuti
saja. Lalu Opon bertanya, mengapa saya bawa sangkur. Lalu dia mau lari ke arah
Shinta, saya narik dia," ujar Mart yang juga anggota kesatuan Yonif
303/13/1 Kostrad Kabupaten Garut ini dalam sidang keduanya yang digelar di
Pengadilan Militer II-09 Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Senin
(8/4/2013).
Karena panik, Mart menarik bahu kiri Opon, saat
Opon balik badan, Mart menusuknya dalam keadaan berdiri. Saat tusukan pertama
tersebut, Mart lalu mengambil sangkur tersebut dan menusukkan kembali ke tubuh
Opon.
"Saya tarik bahu kiri dia pakai tangan kanan.
Dia balik badan, setelah saya tarik di situ saya tusuk dia, dalam keadaan
berdiri. Setelah saya lepas, sangkur saya ambil lagi karena udah enggak sadar.
Kemudian saya tusuk lagi, dia jatuh telungkup. Saya tusuk ke arah leher.
Seingat saya empat kali," terangnya.
Mart kemudian menyeret tubuh Opon ke kebun yang ada
di sekitar lokasi kejadian. Sangkur yang digunakan, lalu dimasukkan kembali ke
saku celananya.
Kemudian Mart menghampiri Shinta. Shinta bertanya
ke mana ibunya. Namun dijawab Mart bahwa Opon pergi bersama temannya. Shinta
sempat berteriak memanggil ibunya. Hingga kemudian Shinta melihat sangkur di
saku celana terdakwa. Keduanya pun terjatuh dari motor karena Shinta
mempertanyakan soal sangkur sementara Mart menghalangi.
"Enggak tahu kenapa dia lalu teriak. Mengambil
sangkur mau nusuk saya. Motor jatuh, kemudian saya tusuk ke Shinta, saya enggak
ingat berapa tusukan, tapi lebih dari satu," ucapnya.
Menurut hasil visum, Opon tewas dengan 6 luka tusuk
di bagian leher, 1 luka tusuk di dada dan memar di bagian dada akibat benda
tumpul. Sementara Shinta terdapat 8 luka tusuk yang ada di dada, leher dan
punggung.
3. Tertekan Diancam Kekasih
Permintaan Shinta Mustika (19) agar Prada Mart
Azzanul Ikhwan (23) bertanggung jawab atas kehamilannya diwarnai ketegangan dan
perselisihan tajam. Shinta ngotot, Mart tak kalah ngotot.
Mart merasa pengakuan kehamilan dari Shinta
tersebut tak masuk akal. Sebab, ia dan Shinta berhubungan badan pada November
2011. Sehingga jika itu memang mengakibatkan kehamilan, Shinta seharusnya
melahirkan pada Agustus atau September 2012. Sementara saat Shinta meminta
pertanggungjawaban, ia tengah hamil 8 bulan.
Perselisihan makin memanas. Shinta terus-menerus
mengirim SMS dan mengatakan akan melaporkan hal itu pada atasannya.
"Terdakwa gelisah dan merasa tertekan,"
ujar Oditur Letkol CHK Siabudin saat membacakan surat dakwaan perkara
pembunuhan pada Opon dan Shinta dalam sidang di Ruang I Pengadilan Militer
II-09 Bandung, Jalan Soekarno Hatta, Rabu (3/4/2013).
Hingga kemudian pada 10 Februari, Shinta kembali
menghubungi terdakwa dan mengatakan akan datang ke asrama bersama ibunya, Opon.
"Perkataan Shinta tersebut makin menambah
kecemasan, apalagi terdakwa adalah pecandu narkoba, di mana terakhir pada 9
Februari ia sempat mengkonsumsi ganja," katanya.
Karena tidak mampu menahan lagi, akhirnya terdakwa
mengatakan akan menunggu kedatangan Shinta dan Opon.
Pada 11 Februari 2013 selepas tugas piket, Shinta
pun mengabari telah berada di depan asrama. Terdakwa yang saat itu menggunakan
kaos loreng lengan panjang dan celana PDL loreng menghampiri Shinta dan Opon
yang telah menunggu di depan masjid yang berada di dekat asrama militer tempat
tinggal terdakwa.
"Setelah bertemu dengan Opon, terdakwa
langsung ditegur dan dimarahi karena tidak mau bertanggung jawab menikahi
Shinta," tuturnya.
Teguran Opon tersebut membangkitkan emosi terdakwa
yang sebelumnya telah kalut dengan teror Shinta.
"Ibu jangan nuduh saya dulu. Memang saya
mengakui pernah berhubungan dengannya saat Takes. Kalau saat itu terjadi
kehamilan seharusnya sudah melahirkan," tutur Oditur mengucapkan perkataan
terdakwa saat itu.
Mendengar pernyataan terdakwa, Shinta dengan sangat
emosi menampar dan memukul dada terdakwa sambil mengatakan 'Kamu yang
menghamili saya'.
Ibu dan anak itu terus menekan terdakwa untuk
bertanggung jawab hingga mengeluarkan kata-kata yang bersifat ancaman.
"Kalau tidak mau tanggung jawab, saya akan laporkan
ke komandan kamu. Saya hancurkan kamu sekalian," kata Opon saat itu.
Mendengar pernyataan itu, terdakwa gelap mata dan
tidak bisa mengendalikan diri hingga berniat menghabisi. Rencana itu akhirnya
benar-benar dilakukan. Terdakwa membunuh Shinta dan ibunya dengan pisau di
Kampung Panagan Karikil, Desa Sukawargi, Kecamatan Cisurupan, Garut, Senin
(11/2/2013). Opon tewas di lokasi kejadian dengan 12 luka tusukan, sedangkan
Shinta yang hamil 8 bulan menderita 18 luka tusukan dan meninggal saat dibawa ke
Puskesmas Cikajang.
4. Isap Ganja
Terdakwa kasus pembunuhan terhadap warga Garut Opon
(39) dan Shinta Mustika (19), Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) ternyata juga
pengisap barang haram jenis ganja. Ia mengaku dua hari sebelum kejadian
mengisap ganja.
Hal itu terungkap dalam persidangan yang digelar di
Pengadilan Militer II-09 Bandung, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Senin
(8/4/2013). Saat itu Hakim membacakan hasil pengakuan terdakwa saat dimintai
keterangan oleh pihak POM.
"Dalam keterangan ini kamu bisa menerima
telepon, bisa naik motor. Kalau mabok mana bisa seperti itu. Kamu pakai cimeng
ganja malam Minggu, Senin sudah hilang efeknya. Kalau begitu kamu dengan sadar
melakukan perbuatan ini," ujar hakim ketua Letkol CHK Sugeng S.
Meski demikian, Prada Mart membantah jika dirinya
kerap mengisap ganja setiap malam Minggu. "Siap tidak. Hanya malam Minggu
itu saja," sanggah Mart.
Selain menilai terdakwa melakukan pembunuhan dalam
keadaan sadar, hakim juga melihat ada unsur perencanaan pembunuhan terjadap Opon
dan Shinta.
"Terdakwa melakukan ini sudah ada persiapan.
Apa maksud setelah bertemu korban, sempat kembali lagi membawa sangkur? Apa
tujuan terdakwa membawa korban jauh-jauh dari asrama? Ini kan sistematis, ada
awalan ada akhiran," cecar Sugeng.
Menurut Sugeng, dalam masa pendidikan, TNI
diajarkan untuk bertindak sistematis. Melihat kronologi pembunuhan yang
dilakukan salah satu anggotanya ini, itu dilakukan secara sistematis.
"Ini sistematis, sudah ada awalan dan
akhirannya. Ini yang selalu diajari TNI. Kalaupun seketika itu tidak ada niat
membunuh atau karena emosi. Tapi ada bukti visum. Kematian korban karena
ditusuk di daerah mematikan," ujarnya.
Sugeng menambahkan, selama perjalanan ke tempat
kejadian perkara (TKP), terdakwa sudah memikirkan akan membunuh korban.
"Jadi saya mengimbau supaya terdakwa berkata jujur," katanya.
Dengan sorot mata tajam, hakim terus mencecar
terdakwa dengan pertanyaan yang sama saat Mart diperiksa oleh POM. Nada bicara
hakim meninggi saat Mart menjawab tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan POM.
"Kamu jawab di sini, kamu mengambil sangkur
karena berniat menghabisi keduanya agar tidak melaporkan kepada atasan kamu.
Tapi kenapa tadi kamu bilang hanya untuk menakut-nakuti. Lalu ini jawaban
siapa," ujar Sugeng.
5. Nyaris Diamuk
Sidang pembunuhan Shinta dan ibunya, Opon, sempat
rusuh. Keluarga korban tak terima saat terdakwa dituntut 20 tahun. Mereka
merangsek dan nyaris 'mengamuk' terdakwa Prada Mart Azzanul Ikhwan (23).
Peristiwa itu terjadi saat oditur tengah membacakan
uraian tuntutan. Begitu oditur menyatakan meminta majelis hakim menuntut
terdakwa dengan hukuman 20 tahun penjara, keluarga dan kerabat serta
teman-teman korban ricuh.
"Harusnya hukuman mati!" teriak mereka.
Sejumlah pengunjung menuju pembatas ke kursi
terdakwa dan pengunjung. Personel TNI dan polisi cukup sigap. Mereka
membarikade jalan masuk ke kursi terdakwa itu.
Saat kericuhan berlangsung, Prada Mart berdiri
menjauhi pengunjung dan mendekati meja majelis hakim. Beberapa anggota TNI
mengapitnya.
Kericuhan berhenti saat ketua majelis hakim
menyatakan bahwa yang dibacakan hanya tuntutan. Bukan putusan. "Ini
tuntutan. Tolong tenang," katanya.
Sebelum sidang diakhiri, massa yang berjumlah
puluhan meninggalkan ruang sidang. Sebagian yang masih berada di ruangan,
ditemui pihak pengadilan.
6. Sidang Didemo
Sekitar 200-an massa gabungan dari Gerakan Anak
Sunda dan Forum Solidaritas Masyarakat (FSM) menggelar aksi di depan Pengadilan
Militer II-09 Bandung, Rabu (24/4/2013). Mereka menuntut supaya terdakwa
perkara pembunuhan ibu dan anak, Opon (39) dan Shinta (18), Prada Mart Azzanul
Ikhwan (23), dijatuhi hukuman mati dalam sidang putusan hari ini.
Dalam aksinya, massa membawa sejumlah bendera,
spanduk dan poster yang berisi tuntutan mereka. Di antaranya, sebuah spanduk
putih bertuliskan 'Menuntut Hukuman Mati Pelaku Pembunuhan Sadis terhadap Dua
Perempuan Yang Lagi Hamil'. Sementara poster lainnya bertuliskan 'Kami warga
Garut, terdakwa harus dihukum mati' dan 'Berikan keadilan untuk keluarga' serta
'Tegakkan hukum segera walaupun bumi dan langit sekalipun akan runtuh'.
Dalam orasinya, koordinator massa mengatakan bahwa
perbuatan terdakwa sangat kejam dan pantas untuk mendapatkan hukuman
seberat-beratnya yaitu hukuman mati. Karena TNI seharusnya melindungi
masyarakat, namun ini justru membunuh.
"Kami tidak menjamin apa yang akan terjadi jika
hakim tidak memberikan hukuman mati. Yang dibunuh itu 3 orang," ujar
orator melalui pengeras suara dalam aksi unjuk rasa di samping Pengadilan
Militer, tepatnya di persimpangan Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Parakansaat.
Massa meminta agar hakim bisa memberikan rasa
keadilan pada keluarga.
"Jika hakim hanya memberi putusan 20 tahun
atau lebih rendah dari itu, maka hakim tidak merasa lahir dari seorang
perempuan. Berarti hakim tidak melindungi rakyat," tuturnya.
Dalam aksinya, massa juga turut membawa foto korban
Shinta dan menunjukkannya pada warga sekitar dan pengguna jalan.
Warga pun terlihat ngeri melihat foto sadis
tersebut. Massa pun satu persatu memasuki pengadilan dengan diperiksa satu
persatu. Atribut berupa bendera dan spanduk tak boleh dibawa masuk. Saat ini
sidang baru berlangsung.
7. Pingsan Divonis Mati
Prada Mart Azzanul Ikhwan (23) mendadak lemas dan
hampir jatuh. Mukanya pucat, seolah tak menyangka apa yang baru saja ia dengar.
Majelis hakim menjatuhkan vonis mati untuk anggota TNI itu dalam kasus
pembunuhan ibu-anak Opon (39) dan Shinta (19).
Sesaat sebelum amar putusan dibacakan, Ketua
Majelis Hakim Letkol Chk Sugeng Sutrisno meminta dua petugas berdiri mengapit
terdakwa. Hakim mengantisipasi reaksi terdakwa atas putusan hakim.
Jika sebelumnya Mart berdiri tegap dengan seragam
loreng-lorengnya, usai mendengar ketokan palu, kakinya mulai menekuk. Dua
petugas di samping kiri dan kanannya langsung sigap memegangi tangan Mart
supaya tak jatuh.
Usai vonis dibacakan, Mart diminta duduk oleh
hakim. Saat melangkah menuju kursi yang ditunjuk hakim, kaki Mart seolah lemas
dan tak kuasa berpijak. Ia musti dipapah. Setelah duduk, ia dimintai
tanggapannya atas putusan tersebut.
"Apa kamu menolak, menerima atau pikir-pikir
atas putusan itu," tanya hakim, di Pengadilan Militer Bandung, Rabu
(24/4/2013).
Karena didampingi penasihat hukum, Mart pun diminta
berkonsultasi dengan penasehat hukumnya. Kembali saat melangkah menuju
penasehat hakim, Mart kembali tak kuasa.
"Kami pikir-pikir," ujar penasihat hukum
Mart.
Mart terus menunduk hingga kemudian melepaskan
baret hijau yang dipakainya. Sementara oditur langsung menyatakan menerima atas
putusan hakim. Pernyataan oditur pun kembali disambut riuh pengunjung sidang.
Selain mendapat hukuman mati, Mart juga dijatuhi
hukuman tambahan berupa pencopotan sebagai anggota TNI. (aan/nrl)