Jumat, 04 Oktober 2013

Prajurit Sapta Marga



Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuh­an wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melin­dungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah In­donesia.

Dengan demikian, TNI tidak sekadar bertanggung jawab ter­hadap musuh atau ancaman mi­liter dari luar yang akan meng­ganggu keutuhan wilayah, me­langgar kedaulatan, atau mencuri kekayaan alam. TNI bertanggung jawab pula terhadap tegaknya Pancasila dan UUD 1945 (yang dijiwai oleh pembukaannya), ser­ta keselamatan bangsa.

Tugas pokok TNI itu didasar­kan pada amanah alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, serta Sapta Marga dan jati diri TNI sebagai tentara pejuang, tentara rakyat, tentara nasional, dan ten­tara profesional. Inilah sikap kejuangan TNI yang menegaskan posisinya sebagai alat negara, "bukan alat pemerintah atau go­longan".

Bahkan, ketika seorang pra­jurit TNI pensiun, jiwa Sapta Marga tak pernah ditanggalkan, tetap melekat sesuai jati dirinya sebagai prajurit pejuang.Tugas sebagai bayangkari bangsa & negara baru berakhir ketika salvo mengiringi kepergian untuk se­lama-lamanya.

Spektrum ancaman
Sikap kejuangan ini sejalan de­ngan apa yang dikatakan Elliot E Cohen, peran militer antara lain melindungi orde politik dan so­sial tanpa melibatkan diri dalam politik praktis. Peran ideal militer adalah sebagai "garda bangsa yang profesional". Namun, mili­ter di mana pun pasti akan ter­panggil masuk ke ranah politik (negara) manakala keutuhan bangsa-negara telah menjadi ta­ruhan dalam pertentangan politik-ideologis atau perseteruan antarkelompok yang amat mem­bahayakan. Itulah patisari makna "politik negara".

Tugas pokok TNI tidak bisa dijalankan secara berdiri sendiri.Karena sifatnya yang interdependen dan komplementer, maka  harus  terpadu dengan tugas penyelenggaraan   peme­rintahan   negara lainnya  di  bidang kesejahte­raan, pendidikan, penegakan hukum, diploma­si,  dan lain­nya.

Dunia   masih diwarnai konflik berkepanjangan.Berbagai konflik glo­bal itu tidak hanya mengancam negara yang   terlibat   langsung, tetapi juga menjadi ancaman pu­la bagi keamanan regional, bah­kan nasional. Konflik intranegara, seperti di Myanmar, Tha­iland, Filipina, dan Indonesia sendiri, juga belum akan ter­selesaikan dengan cepat. Hal lain yang tidak bisa dipandang remeh adalah "krisis energi dan pangan" yang kini membayangi umat ma­nusia dalam skala global.

Namun, ancaman paling me­matikan bersifat nonmiliter yang bersumber pada perilaku klasik kaum kolonial lewat tindakan he­gemoni politik, eksploitasi ekonomi/SDA, serta penetrasi bu­daya yang tidak pernah berhenti.Hanya bungkusnya yang bermetamorfosis menjadi neokoloni­alisme, dengan strategi yang jauh lebih canggih. Tak lagi menggu­nakan kekuatan militer model VOC, tetapi lewat cara perang generasi ke-4, seperti perang ekonomi, informasi, dan budaya. Bentuk tindakannya antara lain menyebar "virus" individualisme-liberalisme serta menggulir­kan program reformasi global ala "Musim Semi Arab", dengan da­gangan utamanya: demokrasi, HAM, dan lingkungan hidup.

Tanpa terasa—akibat sejumlah kelemahan dan kebebalan inter­nal—Indonesia telah menjadi sa­saran empuk neokolonialisme sehingga tanpa kehilangan se­jengkal tanah pun, kedaulatan politik, ekonomi, hukum, atau­pun budaya kita telah dipreteli. Secara derivatif terjadi proses pe­miskinan dan pembodohan rak­yat yang berkepanjangan karena sebagian besar "dollar" hasil ek­sploitasi SDA mengalir keluar, sebagian lagi dikorupsi, hinggayang menetes untuk kesejahte­raan, pendidikan, dan kesehatan rakyat sangat minim jumlahnya.

Akibat lainnya, bermunculan benih, separatisme di beberapa daerah.Bahkan di daerah ter­tentu, seperti Papua, sudah di­sertai aksi pemberontakan ber­senjata.Terorisme dan konflik komunal berlatar belakang ideologi, politik, ekonomi dan krisis budaya pun meningkat tajam.

Dengan demikian, spektrum ancaman yang dihadapi TNI dan segenap bangsa adalah perang terbatas (walaupun kecil ke­mungkinannya, tetapi tetap ha­rus diperhitungkan), kelompok separatis bersenjata, terorisme, pencurian/penjarahan kekayaan alam, krisis pangan dan energi, serta konflik komunal yang kian marak dan mengancam keutuh­an bangsa.Namun, sesungguh­nya, ancaman paling berbahaya adalah ulah neokolonialisme.

Kewaspadaan
Menjelang tahun 2014, atmos­fer politik pekat diwarnai per­saingan tak sehat, berbagai kampanye hitam, serta saling jerai bongkar borok hukum dan kasus korupsi. Pada sisi lain, persiapan Pemilu 2014 tampaknya lebih buruk ketimbang 2009. Data pe­milih masih bermasalah besar, perbedaan jumlah "daftar pemi­lih sementara" sebelum dan se­sudah perbaikan sangat menco­lok, ditemukan jutaan pemilih ganda, dan seterusnya.Hal ini menimbulkan potensi konflik cu­kup besar.

Negarawan Inggris, Edmund Burke, mengingatkan kita: "Ada­lah takdir seorang prajurit harus selalu menunggu dalam ketak­pastian dalam sebagian besar hi­dupnya, untuk suatu krisis yang mungkin tidak akan pernah datang. Merupakan fungsi dan tu­gasnya untuk mengetahui cara mengatasinya manakala krisis itu terjadi. Menjadi kode kehormat­annya untuk mengorbankan se­mua yang ia miliki."

Kini, krisis tersebut tengah membayangi kita, bahkan se­sungguhnya telah menghinggapi.Saatnya TNI meningkatkan ke­waspadaan dan komitmennya terhadap tugas pokok, dengan tetap berpegang pada Sapta Mar­ga dan jati dirinya.Harus siap dengan "rencana tindakan pe­nyelamatan".Meliputi tindakan preventif, persuasif, dan rencana kontingensi, manakala krisis ter­sebut bereskalasi dan memba­hayakan.Namun, potret ancam­an di atas memperingatkan, se­sungguhnya peran para politisi/penyelenggara negara yang lebih menentukan dalam menjaga ke­daulatan dan menegakkan de­mokrasi. Dirgahayu TNI....(KIKI SYAHNAKRI Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)), Sumber Koran: Kompas (04 Oktober 2013/Jumat, Hal. 07)