Kamis, 24 Oktober 2013

Membuat Seragam Militer untuk 30 Negara




KEMAJUAN industri tekstil dan garmen Indonesia tak se­batas di dunia fashion saja. Bahkan, Indonesia, dalam hal ini PT Sritex di Sukoharjo, dipercaya membuat seragam militer bagi 30 negara di dunia. Mulai dari Indonesia, Jerman, NATO hingga Kosovo pakaian militernya dibuat oleh PT Sritex. Tak hanya seragam militer, bahkan seragam tem­pur, jaket, cover all, rompi, tenda, sepatu, dan lain-lain.

"Sritex adalah perusahaan tekstil terpadu, produknya mulai dari benang sampai dengan pakaian jadi.Untuk fashion paling banyak ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Amerika Latin. Untuk pakaian militer sudah 30 negara yang pesan, Indonesia yang pertama, Jerman dan NATO yang kedua, ser­ta yang ke-30 adalah negara Kosovo," ungkap Manajer Dyeing & Finishing PT Sritex, Rinekso Agung Wibowo.

Untuk proses pengerjaan, dilakukan secara parsial atau per komponen. Artinya, satu tenaga kerja hanya bertugas membuat satu proses pengerjaan. Misalnya, satu tenaga kerja mengerjakan pola saja, memasang kancing baju saja, dan seterusnya. Mempro­duksi seragam harus lebih detail dan dise­suaikan dengan desain yang diminta masing-masing negara. Dengan demikian, satu kali proses perlu ada guality control.

'Team research and development yang mengembangkan desain sesuai dengan keinginan dan persyaratan pelanggan.Kelebihan pakaian Sritex adalah sesuai dengan persyaratan pelanggan sehingga mencapai tingkat kepuasan pelanggan.Spesifikasi un­tuk militer meliputi antiinfra merah, antiapi,antiair, antiinsect, antipeluru, antiradiasi, menyerap keringat, dan antibakteri," tutur Agung menjelaskan.

Secara umum, lanjut dia, proses produksi pakaian militer hampir sama dengan pro­duksi tekstil dan garmen, mulai dari pembu­atan benang, kain grey, kain greyfor print, lalu printing danfinishing menjadi garmen.

"Pada dasarnya, pakaian militer masing-masing negara mempunyai tingkat kesulitan tersendiri.Namun, sejauh ini dengan sem­boyan 'Pasti Bisa', kita pun bisa melakukan­nya.Resin atau zat kimia yang digunakan disesuaikan dengan spesifikasinya, misalnya, untuk antiair, kita gunakan fluorocarbon," ungkap Agung.

Enam desain pakaian militer buatan PT Sritex telah dipatenkan di Dirjen HAKI.Satu di antara enam desain yang dipatenkan itu adalah pakaian militer Indonesia. Negara-ne­gara yang kebutuhan tekstil baik benang, kain, maupun pakaian militernya dipasok oleh PT Sritex antara lain Indonesia, Ameri­ka Serikat, Jerman, Inggris, Turki, Australia, Singapura, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, Brunei Darussalam, Malaysia, Selan­dia Baru, Tunisia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan anggota NATO. Hebatnya, pa­kaian militer buatan Indonesia ini menjadi standar NATO.

Tekstil tahan api
Menurut dosen Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung, Nyimas Susyami Hitariyat atau yang akrab disapa Emi, untuk kain dari serat alam atau sintetik, tidak ada yang memenuhi syarat sebagai kain tahan api se­hingga perlu dilakukan penyempurnaan pa­da kain berupa fire resisstant atau fire retardant. "Namun, sekarang ada pengembangan serat seperti Kevlar, Aramid, atau Nomex yang memang dibuat tahan api," tuturnya.

Serat aramid adalah kelas dari serat sin­tetik yang kuat dan tahan panas.Nama aramid merupakan singkatan dari poliamida aromatik.Mereka adalah serat yang rantai molekulnya sangat berorientasi sepanjang sumbu serat sehingga kekuatan ikatan kimia dapat dimanfaatkan.Aramid umumnya dis­usun oleh reaksi antara gugus amina dan sekelompok halida asam karboksilat. Po­liamida aromatik pertama kali diperkenalkan dalam aplikasi komersial pada awal 1960-an, dengan serat aramid meta diproduksi oleh DuPont Nomex.

"Selain itu, agar kain bisa tahan api, bisa juga menggunakan THPC, amonium polifosfat, diamonium fosfat, metilol dimetil fosfonopropionmida atau pyrovatex. Kalau un­tuk tekstil antiinfra merah itu sifatnya kamu­flase dengan memanfaatkan teknologi warna, kebanyakan zat warna bejana." ungkap Emi.

Sementara itu, Agung mengatakan, dalam penyamaran pasukan, sering digu­nakan pakaian dengan teknologi kamuflase yang dengan kasat mata atau pencahayaan normal tidak akan terlihat musuh dan hanya bisa dilihat menggunakan infra mer­ah. "Oleh sebab itu, dikembangkan teknologi antiinfra merah dengan cara mencari reflektansi cahaya dalam panjang gelombang tertentu yang tidak bisa terde­teksi oleh infra merah," ungkapnya menje­laskan. (Feby Syarifah), Sumber Koran: Pikiran Rakyat (24 Oktober 2013/Kamis, Hal. 20)