Tentara Nasional Indonesia di usia
ke-68 menerima 38 taruna perempuan di akademi TNI Magelang, terdiri dari 16
orang AD, 10 AL, dan 12 AU.
Mereka kelak akan diwisuda bersama rekan-rekan
laki-laki-nya pada 2017 dengan pangkat letnan dua. Memang agak terlambat
dibandingkan West Point, Akademi
Militer AS yang 1976 telah menerima, taruna perempuan dalam akademi
militernya. Secara tradisional dinas militer masih dianggap simbol kewarganegaraan
paling khas, wilayah laki-laki dengan kultur militer kuat, meliputi disiplin,
etos profesional, kohesi unit, dan esprit
de corps (jiwa korsa) yang solid, juga norma, nilai, kebiasaan, ataupun
tradisi yang selalu dipegang teguh dalam struktur, organisasi yang padu. Namun,
mengesampingkan perempuan dari "status sipil rendah" telah lama
berakhir sejak perempuan "diperbolehkan" masuk dinas militer.
Di kalangan TNI, kita punya beberapa perwira tinggi
perempuan.TNI AL saat ini memiliki Perwira Tinggi Korps Perempuan AL (Kowal)
bintang dua, Laksamana Muda TNI Christina M Rantetana MPH, yang menjabat Staf
Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi Kemenko Polhukam RI. Di AD ada tiga
perempuan yang berhasil menjadi perwira tinggi: Brigjen (K) Herawati yang
menjadi perwira tinggi pertama di TNI AD serta Brigjen Kartini dan Brigjen Sri
Parmini, yang terakhir ini menjabat Perwira Staf Ahli Tingkat II Kawasan Eropa
dan AS. Lalu, Marsekal Pertama TNI Rukmini SIP MM, perwira tinggi perempuan pertama
di TNI AU yang kini Staf Ahli KSAU Bidang Hukum.Dari kepolisian ada Brigjen
Rumiah yang berhasil menjadi kapolda perempuan pertama Indonesia.
Dilihat dari jumlah, kesenjangan masih besar jika
dibandingkan jumlah prajurit TNI sekitar 475.000 orang.Menilik dari jabatan
yang ada, tentara perempuan masih menduduki jabatan khas perempuan, yaitu di
balik meja ataupun hal yang berkaitanurusan nontempur.
Perjuangan memasukkan perempuan dalam militer,
khususnya dalam tugas tempur, kerap diidentifikasi sebagai perjuangan
feminisme liberal. Sebagai upaya membukakan kesempatan .yang sama bagi perempuan
dalam semua bidang kehidupan, terutama di posisi yang sebelumnya hanya untuk
laki-laki. Namun, feminisme kultural, misalnya menentang etos pertempuran
yang diwakili oleh unit tempur militer, harus diidentifikasi sebagai aktivitas
antiperang dan kontribusinya terhadap resolusi konflik.Demikian juga pandangan
feminisme radikal yang mengkritik aspirasi untuk menjadikan perempuan bagian
dari lembaga patriarkal seperti militer.Namun, terlepas dari perdebatan yang
ada, memang harus diakui dinas militer perempuan dalam tugas tempur masih
dianggap pemenuhan makna simbolis.
Secara umum, masuknya perempuan dalam akademi militer
awal 1970-an menandai titik balik dalam pendaftaran tentara perempuan di
negara-negara Barat yang konsisten dengan agenda perjuangan kesetaraan saat
itu. Perubahan ini kemudian menyebabkan upaya yang difokuskan tak hanya pada
integrasi perempuan dalam angkatan bersenjata, tetapi juga mengamankan mereka
pada kesempatan yang sama untuk pendidikan militer dan tugas perang.
Kontroversi seputar dinas militer perempuan biasanya berasal dari latar
belakang hukum yang tak mewajibkan perempuan mendaftar seperti halnya
laki-laki. Hasilnya, dinas militer perempuan bersifat sukarela dan
mencerminkan pilihan karier. Berbeda dengan laki-laki sebuah kewajiban.
Hal ini akhirnya memang memiliki implikasi
terhadap arti kerja perempuan di dunia militer.Perempuan tak ditempatkan dalam
posisi strategis seperti mitranya yang laki-laki.Mereka biasanya berada di
belakang garis tempur, seperti urusan logistik, administrasi, petugas medis
atau mekanik, sebuah jabatan yang disesuaikan peran perempuan hasil
konstruksi masyarakat selamaini, melayani, merawat, dan mengasuh.Mereka dapat
perlakuan berbeda dalam jenjang jabatan dan karier, termasuk penghargaan yang
diterima.
Pengalaman
negara lain
Denmark menerima perempuan dalam angkatan
bersenjata sejak 1934, tetapi pendaftaran dalam dinas militer sebagai bintara
baru dibuka 1971, dan tiga tahun kemudian, perempuan baru boleh masuk akademi
militer. Secara bertahap keterlibatan perempuan di militer dipersiapkan
matang.Mulai 1978, perempuan boleh mendaftar di semua bidang angkatan
bersenjata. Tahun 1980-an dilakukan pengujian untuk eksplorasi kemampuan perempuan
dalam pertempuran. Tahun 1998 UU disahkan dan memungkinkan perempuan berpartisipasi
dalam wajib militer seperti laki-laki meski dalam praktiknya tak pernah
benar-benar terbuka untuk wajib militer.Perempuan dalam militer berada di
bawah komando chief of defence.
Hingga Januari 2010, militer perempuan 5 persen dari personel AD,; 6,9 persen
di AL, dan 8,6 persen di AU.
Di AS, perempuan yang bertugas aktif di militer AS
sekitar 14,5 persen atau 204.000 personel. Awal 2013, Menhan Leon Panetta
mengutarakan keinginan mencabut larangan bertempur dalam medan perang untuk perempuan.
Langkah ini dianggap strategis karena dapat membuka ratusan ribu posisi garis
depan dan pekerjaan komando elite pada perempuan. Kebijakan ini sekaligus
membatalkan peraturan 1994 yang melarang perempuan ditugaskan ke unit-unit
tempur darat. Namun, militer punya waktu hingga 2016 untuk menimbang posisi
apa yang mereka pikir harus tetap ditutup untuk perempuan. Pencabutan larangan
bagi perempuan terjun ke medan perang menjadi pemilahan besar setelah 10 tahun
tak satu pun perempuan boleh langsung terjun ke medan perang. Keputusan ini
juga menandai perubahan militer di bawah pemerintahan Obama, yang memimpin
dorongan mencabut larangan bagi tentara yang terang-terangan mengaku
homoseksual.
Kendati masih terlalu pagi menilai kehadiran taruna
perempuan di akademi TNI, melihat pengalaman negara lain, penting rencana
jangka panjang matang untuk melibatkan perempuan di militer melalui jabatan dan
jenjang karier terukur. Pertanyaan kritis para taruna perempuan, apa mereka
akan punya peluang sama dengan kolega laki-laki dalam pekerjaan,
pangkat/jabatan, dan karier di militer merupakan tantangan yang perlu dijawab.
Kehadiran perempuan di militer sebaiknya tak
sekadar mengada, atau hanya untuk memenuhi tuntutan jatah perempuan semata,
melainkan lahir dari sebuah kebutuhan bahwa perempuan juga punya keinginan
dan kemampuan sama untuk terlibat dalam militer sesuai hak dan kewajiban
sebagai warga negara Dalam konsep keamanan dan perang yang kian berubah dan
kompleks, melibatkan perempuan dalam berbagai ruang kehidupan adalah sebuah
keniscayaan.(JALESWARI PRAMODHAWARDANI/Peneliti
PMB LIPl-Studi Jender dan Pertahanan), Sumber Koran: Kompas (22 Oktober
2013/Selasa, Hal. 07)