Kamis, 24 Oktober 2013

Profesionalitas TNI_Berat, Sulit, dan Butuh Pengorbanan



Tuntutan TNI untuk profesional adalah kenis­cayaan.Tantangan kepe­mimpinan TNI saat ini adalah membangun TNI yang profesional, yaitu ahli di bidangnya, di­siplin, bertanggung jawab, dan berjiwa korsa yang tepat.Tentu saja semua itu tidak mudah.

Semangat seperti itu terlihat saat Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman berca­kap-cakap dengan para Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan perwira dari Bandung dan seki­tarnya, pertengahan Oktober la­lu. Di depan mereka, Budiman memulai dengan kebijakan poli­tik, yaitu UUD 1945 dan UU No 34/2004 tentang TNI.

Budiman lalu memaparkan mengenai cetak biru TNI AD sekitar 20 tahun lagi.Ada satu kebiasaan di TNI AD dari atas sampai ke bawah yang mengu­bah kebijakan begitu pimpinan berganti.Akibatnya, setiap pim­pinan membuat kebijakan sen­diri.Hasilnya, TNI AD yang warna-warni. "Ke depan, organi­sasi TNI AD harus berdasarkan sistem, bukan orang, dan trans­paran," ujarnya.

Dalam percakapan dengan beberapa perwira menengah yang menjadi komandan satuan di TNI AD, pernyataan Budiman diharapkan bisa dilaksanakan.Sebab, masih banyak masalah, misalnya dalam mobilitas verti­kal.Walau secara formal ada pa­rameter yang jelas untuk naik pangkat atau jabatan, jargon "si­apa kenal siapa" atau "siapa di­bawa siapa" masih terlalu domi­nan."Anak-anak jenderal atau purnawirawan jenderal punya jalur setan.Tahu-tahu sudah di atas saja," kata seorang tentara berpangkat mayor.

Namun, tentara yang berha­dapan langsung dengan masya­rakat justru tentara berpangkat rendah. Peristiwa menarik terjadi dalam pertemuan dengan pa­ra Babinsa sehingga KSAD pun membatalkan agenda lain demi bisa mendengar keluh kesah anggotanya yang rata-rata ber­pangkat sersan itu.

Budiman mengajukan sejum­lah pertanyaan, seperti "Berapa jumlah warga di desa kamu?", "Berapa jumlah perempuan dan laki-laki?", "Berapa banyak kelu­arga siswa Seskoad yang me­ngontrak?"Tentara yang dita­nya tak ada yang bisa menjawab secara benar. Sampai-sampai Budiman menyuruh mereka push up di ruangan.

Dalam dialog terlihat juga bahwa pemahaman Babinsa me­ngenai pelaksanaan Operasi Mi­liter Selain Perang (OMSP) be­lum cukup jelas. Hal itu terlihat dari belum jelasnya para bintara itu tentang pembagian tugas Polri dan TNI di lapangan.Keti­dakjelasan menimbulkan kega­mangan.Seorang prajurit bertanya, bagaimana jika ada masya­rakat yang meminta tolong soal keamanan."Harus dibantu.Ka­lau kamtibmas ajak ke polisi, kalau pemerintahan ajak ke ke­pala desa," kata Budiman.

Fenomena tentara profesio­nal tak lepas dari konteks ma­syarakatnya.Berpuluh-puluh tahun masyarakat Indonesia, ter­utama di desa, berharap pada tentara, mulai dari mengawin­kan anak sampai pada kambing hilang.Berpuluh-puluh tahun juga Babinsa menjadi alat po­litik Orde Baru.Hal ini harus diubah.Apalagi, saat ini terjadi perang generasi keempat yang kabur dan melibatkan politik serta aktor-aktor non negara bahkan nonmiliter.

Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan, profesiona­lisme seharusnya didahului ke­bijakan politik. Dalam militer berlaku adagium "politik tentara adalah politik negara", yang arti­nya TNI tidak bisa mengambil tindakan terlalu jauh.Yang jadi masalah adalah kalau pemerin­tahnya tidak kunjung peduli."Bayangkan, sampai sekarang UU TNI No 34/2004 itu belum ada turunan PP-nya," kata Ikrar.

Dengan turunan regulasi itu, TNI bisa membuat panduan yang lebih praktis.Untuk Babin­sa, misalnya, perlu diberi penge­tahuan mengenai komunikasi dan bagaimana relasi dengan aparat lain, yang bisa dicantum­kan dalam buku saku mereka.Demikian juga kebutuhan data yang harus dikuasai, seperti data demografis."Babinsa itu tugas­nya cukup berat dan rinci.Dia misalnya harus tahu, satu kelu­arga itu biasanya beli beras berapa banyak.Kalau ternyata bu­lan ini lebih, itu kenapa? Ada kondangan atau ada aktivitas la­in apa?" kata Ikrar.

Sebagai satuan paling rendah yang berhadapan dengan ma­syarakat, Babinsa adalah ujung tombak sistem pertahanan.Ja­lan menuju profesionalisme TNI ibarat jalan pedang samu­rai.Berat, sulit, dan butuh ba­nyak pengorbanan. Namun, pa­da akhirnya manis rasanya, un­tuk TNI dan terutama rakyat.(EDNA C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas (24 Oktober 2013/Kamis, Hal. 05)