Besok, TNI merayakan ulang
tahunnya ke-68.Negara masih menghadapi keprihatinan terkait TNI, seperti
penyerbuan LP Cebongan, Yogyakarta, atau konflik dengan polisi yang tak
berkesudahan.Ada juga vonis seorang purnawirawan perwira tinggi karena
korupsi saat menjadi panglima kodam Jatim.
Tak pelak, dalam situasi seperti itu, TNI masih
saja menjadi pemasok utama pemimpin nasional.Banyak calon presiden berlatar
belakang militer.Sebelum muncul figur Jokowi, figur militer unggul dalam
beberapa survei.
Sebagai sebuah institusi, TNI memiliki kapasitas
dan sumber daya yang sangat besar, termasuk meningkatkan harkat kemanusiaan,
membangun solidaritas sosial, dan keteladanan.
Di tengah arus zaman seperti sekarang, yang sangat
mengagungkan harta dan kekuasaan, ada pertanyaan tentang visi atau nilai
kejuangan prajurit TNI, khususnya perwira generasi baru.Dari waktu ke waktu,
selalu ada kekhawatiran tentang gejala penurunan semangat kejuangan
prajurit.Dinamika lingkungan turut andil dalam pasang-surut semangat
kejuangan.
Setiap zaman memiliki penanda dan semangatnya
sendiri-sendiri.Generasi sekarang mungkin sulit diajak berimajinasi romantika
perjuangan dulu (1945-1949).Perjalanan waktu ikut andil membentuk persepsi
generasi sekarang terhadap profesi kemiliteran.
Bagi generasi sekarang, menjadi tentara dengan
segala atribut dan kebanggaannya hanyalah salah satu pilihan di antara profesi
bergengsi lainnya.Sebab, ada pandangan, mengabdi pada bangsa tidak harus
melalui jalur militer.Namun, pandangan itu tidak mengurangi kebanggaan
generasi muda yang kebetulan memilih menjadi tentara sebagai panggilan
hidup.Pertanyaannya, adakah sesuatu yang istimewa dari generasi baru TNI
sehingga rakyat masih bisa berharap?Layakkah mereka diandalkan untuk kemajuan
bangsa?
Generasi baru, terutama perwira lulusan Akademi
TNI tahun 1990-an (1990, 1991, dan seterusnya), dibanding generasi sebelumnya,
bisa disebut dengan Orde Baru.Benar mereka lulus di saat Orba, namun saat
Soeharto tumbang (1998), jabatan tertinggi yang dicapai generasi ini baru
setingkat komandan kompi.Dengan demikian, akses mereka pada sumber kekuasaan
juga terbatas.Mereka relatif belum terlalu terpengaruh ideologi kekuasaan
tanpa batas, yang biasa dianut elite militer saat itu.
Belakangan, sebagian besar generasi tersebut masih
menduduki pos komandan batalyon.Lainnya sedang bersiap-siap ditempatkan sebagai
komandan kodim.Jelas generasi ini semakin matang. Mereka bisa memetik
pengalaman secara dingin dan memperbandingkan dua zaman: Orde Baru dan Era
Reformasi. Mereka juga lebihsiap bersinergi atau berkompetisi dengan tokoh-tokoh
muda potensial dari kalangan sipil.Generasi ini sadar sepenuhnya bahwa zaman
telah berubah.Tiada lagi privilese bagi kalangan militer seperti masa lalu.
Setelah berakhirnya perang Timtim dan Aceh dan
sebentar lagi Papua, palagan "pertempuran" kini telah beralih ke
wilayah perbatasan.Dalam persepsi para perwira muda, operasi pengamanan wilayah
perbatasan merupakan aktualisasi semangat nasionalisme mereka.Kawasan
perbatasan bukan sekadar patok atau penanda geografis lainnya, namun lebih dari
itu, merupakan manifestasi kedaulatan dan martabat bangsa.
Meski pengamanan perbatasan masuk kategori Operasi
Militer Selain Perang, dalam situasi genting, jaraknya hanya "sejengkal"
dengan perang yang sesungguhnya.
Amanat
Soedirman
Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah
menyampaikan pidato radio bagi taruna Akademi Militer Yogyakarta di tengah
operasi gerilya. Bunyinya, "Ingatlah, prajurit Indonesia bukan tentara
bayaran. Mereka bukan prajurit yang menjual tenaganya untuk memperoleh
segenggam beras.Mereka juga bukan prajurit yang mudah dipengaruhi kelicikan
maupun keinginan akan benda-benda materi."
Amanat Panglima Soedirman masih terasa aktual dalam
konteks sekarang.TNI memiliki kapasitas sebagai kekuatan moral untuk melawan
budaya konsumerisme, ambisi memburu jabatan, dan mencegah kemerosotan
nilai-nilai kemanusiaan.Di tengah realitas suram itu, kini diperlukan terobosan
signifikan agar bangsa kembalimenemukan martabat.
Dari praktik kecil sehari-hari, TNI bisa
berkontribusi cara berperilaku di tengah "zaman edan" sekarang.
Nilai-nilai kesetiakawanan atau kesederhanaan kesatuan bisa dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari.Perwira generasi baru harus memiliki komitmen kuat atas
tradisi hidup sederhana.Mereka juga harus siap menghadapi realitas seandainya
kurang dihormati lingkungan karena masih berpersepsi bahwa nilai kehormatan
seseorang diukur seberapa banyak harta atau jabatan yang dimiliki.
Kesediaan generasi baru TNI hidup sederhana dan
hemat menjadi semacam penemuan kembali jati diri. Ada banyak doktrin dalam TNI,
antara lain Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 8 Wajib TNI, dan 11 Asas
Kepemimpinan. Dalam 11 Asas Kepemimpinan, ada dua poin yang secara eksplisit
memberi pedoman ideal cara seorang perwira bersikap. Mereka harus hidup
sederhana dan hemat.Jadi, hidup sederhana dan hemat memiliki akar tradisi yang
panjang.
Banyak tokoh TNI hidup sederhana meski mereka
berpangkat tinggi, seperti Jenderal AHNasution, Letjen Basuki Rachmat, Jenderal
M Yusuf, Mayjen Mung Parhadimuljo (mantan Komandan Kopassus dan penyelamat
Panji Siliwangi), dan Brigjen Purn Ibrahim Saleh.
Brigjen Ibrahim Saleh (almarhum) yang sempat
dikenal karena aksi interupsinya pada SU MPR 1988 terbilang sangat eksentrik
dalam menjalani pola hidup sederhananya. Kalau bepergian, dia senantiasa naik
bus kota sambil membawa tas kain lusuh. Generasi baru TNI hendaklah menyimak
cara bersikap seperti dijalani jenderal-jenderal itu. (Aris Santoso), Sumber: Koran Jakarta (04 Oktober 2013/Jumat, Hal. 04)