YOGYAKARTA,
KOMPAS - Jajaran
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta
menghendaki petugas sipir dan tahanan bersaksi dengan nyaman tanpa tekanan di
persidangan kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan,
Sleman, DI Yogyakarta. Karena itu, fasilitas video telekonferensi untuk pemeriksaan
para saksi dinilai paling tepat. Menurut rencana, sidang digelar akhir Juni di
Pengadilan Militer II-11
Yogyakarta.
"Kalau pakai telekonferensi, pemeriksaan jauh
lebih bagus karena mereka tidak akan berada dalam tekanan, baik, fisik, psikologi,
maupun tekanan lingkungan," kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM (Kemenkumham) DI Yogyakarta Rusdianto, Senin (10/6), di Yogyakarta.
Menurut dia, berdasarkan pendampingan Kanwil Kemenkumham DI Yogyakarta selama ini, petugas sipir relatif
siap memberikan kesaksian di bandingkan tahanan yang berada dalam satu
sel dengan empat
korban pembunuhan. Pembunuhan dilakukan 12 anggota
Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura.
"Para tahanan menghadapi dua persoalan hukum,
pertama, persoalan hukum yang sedang dihadapi sendiri karena dia telah
melakukan pelanggaran hukum yang akan dibuktikan di pengadilan. Kedua, dia
juga menjadi saksi peristiwa hukum atau perbuatan hukum. Menghadapi dua
persoalan hukum bukanlah hal yang mudah," ujarnya.
Dari hasil dialog antara psikolog dan para saksi,
Rusdianto melihat persoalan-persoalan psikologis para tahanan yang perlu
dijernihkan. Melihat kondisi ini, penggunaan fasilitas telekonferensi tetap
dibutuhkan.
Kepastian dari MA
Menurut rencana, penyerahan hasil pendampingan tim
psikologi terhadap 42 saksi kasus Cebongan akan diserahkan kepada Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada pekan depan. Meskipun demikian,
hingga saat ini pihak Kanwil Kemenkumham DI Yogyakarta belum mendapat kepastian
dari Mahkamah Agung (MA) terkait penggunaan fasilitas telekonferensi.
Penanggung jawab Divisi Pemenuhan Hak
Saksi dan Korban LPSK Teguh Soedarsono mengatakan, pemanfaatan fasilitas telekonferensi
agar proses peradilan di Pengadilan Militer dapat dipercaya masyarakat tanpa
tekanan. "Sampai sekarang belum ada jawaban dari MA tentang pengajuan
fasilitas telekonferensi. Kami akan mengirim lagi surat kepada MA disertai
hasil analisis 18 psikolog terhadap 42 saksi kasus Cebongan," kata Teguh.
Sebelumnya, Komandan Resor Militer 072/Pamungkas
Brigadir Jenderal Adi Widjaja menyatakan, para saksi tidak mengalami stres
dan trauma berat. "LPSK jangan membuat argumen yang menyudutkan,"
ujarnya.
Selama persidangan
nanti, Adi menjamin keamanan dan keselamatan para saksi dan terdakwa. Karena
itu, pemakaian fasilitas telekonferensi untuk pemeriksaan saksi secara jarak
jauh, seperti diusulkan LPSK, menurut Adi, tidak perlu. (ABK), Sumber Koran: Kompas (11 Juni 2013/Selasa, Hal. 05)